Penista Agama Minta Hapus 300 Ayat Al Qur'an: Mau Nantang Perang?


TintaSiyasi.com -- Penistaaan agama adalah kejahatan yang serius (serious crime), karenanya aparat penegak hukum wajib sigap untuk segera mengambil tindakan. Di samping itu MUI juga wajib segera bersidang untuk mengeluarkan fatwa keagamaan, sebagai dasar tindakan lebih lanjut untuk memproses secara hukum Saifudin yang membuat konten YouTube berisi penodaan terhadap Al-Qur'an dengan menuduh ayat-ayat penyebab intoleransi dan radikalisme di tanah air Indonesia dan oleh karenanya Saifudin meminta supaya 300 ayat terkait dihapus. 

Negara kita adalah negara hukum, karena itu kasus ini harus segera dibawa ke pengadilan. Biarlah hakim yang memutus perkara. Jika kasus ini diamputasi tidak sampai ke persidangan, dikhawatirkan akan timbul kemarahan umat dan bisa saja umat mengambil tindakan di luar hukum, hal ini tentu tidak kita harapkan. 

Jika dilihat dari sisi hukum formal, tindakan Saifudin diduga kuat memenuhi: 

Pertama, unsur tindak Pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dalam Dakwaan melanggar Pasal 45 A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU Republik Indonesia No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE. 

Kedua, unsur delik Penodaan Agama PNPS (UU) No. 1 Tahun 1965 dan dimasukkan Pasal 156a ke KUHP. 

Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.” 

Tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 156 KUHP mempunyai obyek golongan penduduk yang salah satu pembedaannya berdasarkan agama. Dengan demikian pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan ini merupakan tindak pidana. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara perdamaian di antara golongan agama yang berbeda-beda, sehingga ketertiban umum dapat tercapai dengan tidak terganggunya perdamaian tersebut. 

Ketentuan ini sepadan dengan letak Pasal 156 dan 156a yang merupakan Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, selain itu, apabila dihubungkan dengan teori tindak pidana terhadap agama termasuk dalam Friedensschutz Theorie, karena teori ini memandang ketertiban/ketenteraman umum sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi. 

Pasal 156a KUHP (dalam Penjelasan Pasal 4 UU Nomer 1/PNPS/1965) menjelaskan bahwa tindak pidana pada huruf a semata-mata (pada pokoknya) 
ditujukan pada niat untuk memusuhi atau menghina. 

Dengan demikian maka uraian-uraian tertulis yang dilakukan secara obyektif dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat bermusuhan atau 
penghinaan, bukanlah tindak pidana. 

Sedangkan huruf b dijelaskan bahwa orang yang melakukan tindak pidana tersebut di samping mengganggu ketenteraman orang yang beragama, pada dasarnya mengkhianati sila pertama dari dasar negara secara total, dan oleh karena itu sudah pada tempatnya perbuatannya dipidana. 

Namun, anehnya Laporan LBH Street Lawyer terhadap pendeta Saifuddin Ibrahim ditolak oleh Bareskrim Mabes Polri. Petugas Bareskrim tidak menerbitkan Laporan Polisi lantaran tidak ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap apa yang dikatakan Saifuddin. Saya kira tidak mutlak fatwa MUI sebagai syarat pelaporan tindak pidana penodaan agama, meskipun kalau sudah ada tentu lebih baik. 

Sementara itu, sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana, maka peran Polri sangat menentukan apakah suatu perkara dapat diteruskan atau "dipeti-es-kan" melalui surat sakti bernama SP3 atau dengan cara lainnya. Dalam kasus ini Saifudin dapat dijerat dengan Pasal 28 UU ITE (ujaran kebencian, hate speech berunsur SARA), dan Pasal 156a KUHP (penistaan agama). Dan sudah terang pula bahwa jenis delik penistaan agama bukan delik aduan, sehingga polisi sudah dapat bergerak tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat. 

Penanganan peristiwa pelecehan terhadap simbol keagamaan ini jika tidak segera ditangani sangat berpotensi mendorong masyarakat, ormas dan atau pihak yang merasa dihinakan melakukan tindakan main hakim sendiri seperti melakukan pencarian pelaku, mengancam pelaku, menyegel rumah pelaku, hingga menganiaya bahkan membunuh pelaku penistaan terhadap simbol-simbol agama, termasuk penistaan terhadap ulama. 

Riak-riak perlawanan umat Islam di beberapa daerah mulai terlihat. Masyarakat Islam di Pulau Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatra dll, misalnya sudah berikrar menuntut keadilan baik secara hukum atau secara eigenrichting

Umat Islam mulai teriak dan menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran. Bagi umat Islam, Al-Qur'an adalah pedoman hidup yang suci dan disucikan. Menghina dan menistakannya sama artinya menyakiti hati umat Islam pada umumnya. 

Hate speech terhadap Kitab Suci adalah salah satu bentuk penghinaan dan penistaan terhadap agama secara umum. Bahkan sekalipun ini bukan negara Islam, perbuatan itu tidak layak dilakukan di negeri yang rakyatnya mengaku ber-Pancasila ini. 

Menista Al-Qur'an sebagai sampah itu sungguh terlalu, apalagi Al-Qur'an adalah pedoman hidup umat Islam yang jumlahnya mencapai jutaan (87 persen) rakyat di negeri ini. Jika terjadi penodaan agama seperti ini pun aparat keamanan, harus segera sigap menyelesaikan perkara ini sebelum ekses peristiwa ini membesar tak terkendali. Penegakan hukum secara adil harus segera dilaksanakan. 

Saya ingatkan pernah ada kasus penodaan agama yang harus berakhir di pengadilan mengingat jika tidak diselesaikan di Pengadilan justru akan menimbulkan akibat yang sangat berbahaya bagi kehidupan antar umat beragama. Kasus ini terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada medio 2016. 

Berawal dari keluhan Meiliana atas suara pelantang masjid yang dianggap terlalu bising ketika melantunkan azan. Kejadian yang semula hanya kasak kusuk di lingkungan warga di sebuah kota kecil di Sumatera Utara itu kemudian menyebar luas. Bahkan kejadian ini disebarkan melalui perangkat gawai sehingga menghasilkan sentimen SARA hingga ke luar kota Tanjung Balai. 

Akibatnya pun tak tanggung-tanggung, massa mengamuk dan membakar tiga wihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Tak hanya itu, bahkan tiga mobil, dua motor dan satu becak juga dibakar oleh massa yang mengamuk tanpa tahu duduk perkaranya. 

Dalam hal ini, Saifudin patut segera menginsyafi tindakannya akan berakibat pada situasi yang tidak diinginkan pasti terjadi. Yakni, adanya perasaan keagamaan umat Islam yang tercederai oleh tindakannya. 

Sebagai orang yang dewasa, tidak gila, cakap hukum dan dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maka Saifudin memiliki kesadaran akan adanya kemungkinan tercederainya agama Islam atas tindakannya yang menilai buruk ayat-ayat Al-Qur'an dan menuntutnya untuk dihapus. Baik dengan teori sadar kepastian maupun sadar memungkinkan, Saifudin memiliki niat (sengaja) untuk melakukan perbuatan yang menistakan agama Islam. 

Pada kasus penistaan agama oleh Saifudin ini dapat ditegaskan bahwa hakim ketika nanti akan memutus perkara itu tidak harus berdasarkan aturan dan prosedur teknis saja melainkan wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Jadi rasa keadilan yang dialami oleh masyarakat setempat juga boleh dijadikan sebagai pertimbangan hukum (legal reasoning) hakim dalam proses memutus perkara. Menurut saya, hakim dalam kasus ini tidak hanya mempertimbangkan alat bukti apalagi barang bukti tetapi lebih pada alat bukti lain berupa keterangan ahli yang betul-betul berkompeten dan independen. 

Adapun tentang unsur ada tidaknya penodaan agama, secara objektif juga bukan dikembalikan pada pelaku yakni perbuatan Saifudin akan tetapi dikembalikan pada fatwa keagamaan yang selanjutnya akan dibuktikan di muka pengadilan. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah institusi yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan ada tidaknya 'unsur menista agama' bukan dikembalikan pada pengakuan atau pernyataan SAIFUDIN yang dengan ringan menunut supaya 300 ayat Al-Qur'an dihapus karena dinilainya sebagai biang dari intoleransi dan radikalisme di tanah air Indonesia. 

Prinsip kita umat Islam, jangankan kok 300 ayat yang dihapus, 1 ayat pun sudah cukup alasan untuk berperang! Lebih baik segera hentikan langkah Saifudin secara hukum ataukah akan menunggu reaksi keras umat Islam dengan melakukan masiroh kubro

Tabik...!!!
Semarang, Senin: 21 Maret 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar