Patroli Siber Presiden Jokowi pada GWA TNI-Polri: Ambiguitas Prinsip Demokrasi dalam Perintah "Tegak Lurus"


TintaSiyasi.com -- WA Grup TNI-Polri menjadi sorotan presiden. Dalam Rapim TNI-Polri 2022 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (1/3/2020), ia meminta percakapan para anggota TNI Polri di WA grup tersebut didisiplinkan. Presiden Jokowi mencontohkan, WA grup TNI Polri sempat membahas penolakan Ibu Kota Nusantara (IKN). Padahal pembahasan IKN sudah diputuskan oleh pemerintah dan disetujui DPR.

Jokowi menilai percakapan tersebut sebagai bentuk penyimpangan kecil yang jika terus dibiarkan mengakibatkan TNI-Polri kehilangan kedisiplinannya. Menurutnya, kepolisian dan militer di seluruh dunia punya aturan tersendiri. Kitab undang-undang hukum disiplin tentara mesti dijadikan acuan. Intinya, ia menyebut kesetiaan tegak lurus (detik.com, 2/3/2022).

Selain itu, Jokowi mengingatkan kepada para istri prajurit TNI-Polri untuk tidak sembarang mengundang penceramah radikal. Meskipun hanya keluarga, Jokowi mengingatkan kalau kedisiplinannya juga sama dengan para prajurit. Jokowi pun menegaskan jika tak ada yang namanya demokrasi di TNI dan Polri, karena semua prajurit harus mengikuti arahan atasan apa pun keputusannya (populis.id, 2/3/2022). 

Pernyataan presiden di atas seakan menjadi anomali di negara yang disebut Peneliti Mahkamah Konstitusi, Nallom Kurniawan, sebagai negara paling demokratis bahkan negara demokrasi terbesar di dunia. Kebebasan berpendapat adalah mantra kosong demokrasi. 

Penerapannya nampak berstandar ganda. Bebas bersuara hanya milik sekelompok orang (penguasa), bukan bagi kaum yang berdiri di seberang istana pemilik tahta. Bahkan bagi para penjaga negara (TNI-Polri), atas nama kesetiaan tegak lurus pada bangsa (program pemerintah), dinilai tak layak memiliki salah satu hak dasar manusia ini.    

Kedudukan TNI-Polri dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia

Dalam sistem ketatanegaraan, TNI adalah lembaga negara yang berkedudukan dibawah presiden dan berperan sebagai alat pertahanan negara. Tugas pokok TNI sebagai alat pertahanan negara diatur oleh pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 yang berbunyi, “Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. 

Sebagai alat pertahanan negara, TNI memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai kekuatan penangkal. TNI adalah instrumen militer yang mampu menangkal kekuatan militer dari luar maupun segala gangguan yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. 

Dengan kekuatan nyata ini akan memberikan dampak psikologi bagi pihak lawan, sehingga lawan akan memperhitungkan atau berpikir dua kali untuk melakukan serangan atau invansi ke wilayah Indonesia dan bahkan akan mengurungkan niatnya melawan Indonesia.

Kedua, sebagai kekuatan penindak. TNI berkemampuan menghancurkan kekuatan asing yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Sebagai instrumen yang berkemampuan untuk menindak ancaman lawan, diperlukan kekuatan tangguh untuk menghadapi lawan yang tak terduga kekuatan dan kedatangannya. 

Ketiga, sebagai pemulih. Apabila negara terjadi kekacauan dan keamanan karena perang, pemberontakan, konflik komunal, huru-hara, terorisme, dan bencana alam, TNI bersama-sama dengan instansi pemerintah lainnya membantu pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan tadi.

Contohnya, membantu pemerintah memulihkan keamanan atas pemberontakan yang terjadi di Aceh, konflik komunal di Ambon, di Poso, separatis di Papua, serta bantuan bencana alam besar yang pernah terjadi di Indonesia; tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta.

Adapun fungsi kepolisian di dalam Negara Republik Indonesia dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.2 tahun 2002 yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya kamdagri.

Rumusan fungsi kepolisian tersebut merupakan aktualisasi dari sumber hukum tertulis yang terdapat pada UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) yang menyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Sebagai alat negara, kedudukan dan posisi Polri ditempatkan langsung di bawah Presiden. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (2) TAP-MPR RI No. VII/MPR/2000 yang menyatakan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.“

Demikianlah kedudukan TNI dan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilakukan oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai pendukung.

Kesetiaan Tegak Lurus: Prinsip Tak Boleh Berbeda Pendapat Wujud Ambiguitas Demokrasi

Sebagai negara hukum, pembangunan dan pengembangan TNI-Polri juga harus berdasarkan hukum, khususnya UU TNI. Dalam UU TNI, yakni UU No. 34 Tahun 2004 ditegaskan bahwa politik hukum UU ini adalah juga unsur demokrasi. 

Pada bagian konsiderans UU ini disebutkan, "Bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel." 

Demikian pula jika kita perhatikan politik hukum UU Kepolisian RI No. 2 Tahun 2002, keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara  Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dari politik hukum UU TNI dan UU Kepolisian RI serta pernyataan Presiden Jokowi saat menyoroti WA Grup TNI-Polri, nampak adanya kesenjangan penerapan demokrasi sebagai dasar pengembangan TNI-Polri dengan penegasan Jokowi bahwa tak ada demokrasi di TNI dan Polri karena prajurit harus ikuti arahan atasan apa pun keputusannya. 

Secara aturan, TNI-Polri diharapkan berkembang dengan prinsip demokrasi –salah satunya kebebasan berpendapat—namun dalam implementasinya, demokrasi (perbedaan pendapat) ditiadakan berdalih kesetiaan tegak lurus pada negara (atasan).  
 
Dengan kata lain, di satu sisi kebebasan berpendapat difasilitasi, namun di sisi lain diberangus. Upaya memberangus kebebasan di kalangan TNI-Polri tak hanya menunjukkan bermuka duanya penguasa. Pun sekaligus menguak munafiknya demokrasi, sebagai sistem politik tumbuh dan berkembangnya rezim. Demokrasi munafik melahirkan rezim munafik adalah keniscayaan. Jargon kedaulatan rakyat hanyalah utopi. Ide kebebasan dan HAM yang diagung-agungkan pun sekadar mimpi.
 
Justru dengan ide kebebasan ala demokrasi inilah yang menjadi titik kritis untuk dimainkan pengembannya sesuka hati. Jadilah kebebasan berstandar ganda. Lahirlah penguasa SSK (Suka-Suka Kami). Pun karakter rezim yang anti kritik. Kebebasan hanya milik penguasa dan orang (kelompok) yang berada di lingkaran tahta. Bukan bagi kaum oposan yang berdiri di seberang kolam penguasa. 

Inilah wajah asli demokrasi dan rezim yang dibesarkannya. Sama-sama munafik. Buruknya karakter sistem dan sikap rezim ini –disadari atau tidak- telah mengantarkan pada gerbang keterpurukan. Salah satu gejalanya nampak dari hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik pada 1-3 Februari 2021.

Dalam survei tersebut, tingkat kepuasan publik terhadap presiden hanya 62,59 persen di mana turun sekitar 5 persen dari 2019. Bahkan ini merupakan titik terendah sejak 2016. Di survei yang sama, Indikator juga mengungkap tingkat kepuasan publik terhadap kinerja demokrasi sebagai sistem pemerintahan hanya sebesar 53 persen. 

Jika ‘pengkhianatan’ terhadap hak-hak manusia terus berlangsung, maka hakikatnya rezim dan demokrasi tengah bunuh diri yang pelan namun pasti akan mengantarkan pada kematiannya yang hakiki. Begitulah kerapuhan sistem hidup buatan manusia. Penuh kelemahan, keraguan dan ketidakjelasan dalam memberikan aturan. Jika telah terbukti keburukannya, akankah rezim dan sistem ini terus dibela dan dipertahankan?

Radikalisme, Alat Gebuk bagi Pihak yang Berseberangan dengan Penguasa

Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono menyatakan dari penolakan pemindahan IKN terbukti ada banyak anggota TNI-Polri yang terpapar paham radikalisme. 

Pernyataan Dave Laksono ini benar-benar “membunuh demokrasi” yang disebutkan dalam UU TNI sebagai aspek pembangun TNI. Hal ini diperparah dengan perintah Presiden Jokowi agar istri-istri TNI-Polri tidak mengundang ustad atau penceramah radikal atas nama demokrasi. Akhirnya muncul usulan, seperti dikatakan oleh Ruhut Sitompul agar Menteri Agama mengeluarkan sertifikat penceramah. 

Kalau kita perhatikan, narasi radikalisme ini memang dibangun rezim ini untuk "membunuh" karakter warga negara yang memiliki perbedaan pendapat dengan rezim penguasa, lebih tepatnya pemerintah. 

Apakah benar seorang anggota TNI-Polri bahkan istri-istrinya tidak boleh beda pendapat, berdiskusi sekalipun di WA Grup? Apakah ini negara komunis yang hanya mementingkan otoritarianisme-diktator dalam penyelenggaraan negara, termasuk dalam pembangunan tubuh TNI-Polri? 

Menjadikan program antiradikalisme sebagai core of the core Kabinet Indonesia Maju, “wajar” jika rezim gencar melontar narasi radikalisme, hingga merancang berbagai strategi dan program. Terlebih diduga dalam rangka menyukseskan 2022 sebagai Tahun Toleransi dan Moderasi Beragama. Hingga saat ini, khususnya di bidang politik, rezim terus mengangkat isu radikalisme. Politik kambing hitam pun terus dijalankan. 

Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure (kabur) dan lentur.  

Akibatnya, narasi ini justru dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah.  ASN, TNI-Polri, kampus, ulama, menjadi sasaran tembak isu radikalisme yang lebih empuk. 

Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot mempertanyakan definisi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah (Indonesia) karena definisi itu identik dengan orang-orang yang berseberangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah atau kepentingan pemerintah. 

Kemudian dilabeli dengan apa? Anti-Pancasila. Karena itu, ketika orang itu dikatakan anti-Pancasila, ini sudah sulit sekali untuk berkelit. Karena prinsipnya ‘Aku Pancasila’ jadi siapa saja yang menentang ‘Aku’, maka dia itu melawan atau anti-Pancasila. 

Terasa aneh, ketika Jokowi meminta istri-istri TNI-Polri tidak mengundang "penceramah radikal". Terkesan ada Islamofobia yang terus menjangkiti pemikiran para pemimpin di negeri ini yang sekarang dilanda banyak persoalan krisis. 

Apakah tidak lebih baik mengurusi saja minyak goreng yang langka dan mahal? Islamofobia rezim ini tercermin dari pernyataan-pernyataan pemimpin yang terkesan memusuhi umat Islam Indonesia dengan stempel radikal. Mau sampai kapan? 

Jika kita terus menarasikan perbedaan pendapat harus diberangus, dihancurkan, dibunuh karakternya dengan stempel radikal radikul, lalu sistem pemerintahan apa yang sebenarnya sedang berjalan di negeri ini? Demokrasi ataukah tyran-okhlokrasi? Inikah juga yang terjadi dalam pembangunan dan pengembangan TNI dan Polri? Kalau begitu, mari bersama-sama mengucapkan "Selamat tinggal Demokrasi!" 

Strategi Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Tubuh TNI-Polri

Sorotan sekaligus pesan politik Presiden Jokowi terhadap WA Grup TNI-Polri mendapat respons beragam dari berbagai pihak. Pejabat dari kalangan TNI dan Polri merespons positif dan menjadikannya pedoman dalam implementasi di lapangan. 

KSAD Dudung Abdurachman menegaskan pihaknya mendukung penuh pemerintah termasuk program pemindahan ibu kota di Kalimantan. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo memastikan secara berkala bakal mengawasinya WA Grup anggotanya ke depannya. Menurutnya, anggota yang terbukti melanggar bakal ditindak sesuai aturan yang berlaku. 

Sementara itu, kalangan lain memberikan masukan. Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, menyebut seharusnya Jokowi tidak perlu terganggu dengan proy kontra soal IKN karena itu hanya pendapat pribadi dan semacam obrolan warung kopi. Ia mengatakan, sepanjang perintah itu kemudian dilaksanakan, tak masalah pembicaraan di WA Grup. Toh pemindahan IKN sudah menjadi keputusan politik negara yang harus dijalankan para penyelenggara negara, baik suka atau tidak.

Adapun Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, mengatakan bahwa tiap orang berhak menyatakan pendapat dan WA Grup itu ranah privat sehingga Jokowi tidak layak mengomentari ranah privat di ruang publik. Senada, Pengamat Politik, Rocky Gerung berpendapat, tindakan Jokowi tersebut kepo, tanda parno, tidak sopan karena menguping pembicaraan, pun menilainya kepercayaan diri Jokowi sudah terganggu dan itu bahaya.

Lalu bagaimana strategi menyikapi perbedaan pendapat dalam tubuh TNI-Polri yang mencerminkan prinsip kebenaran dan keadilan serta tidak terkungkung dengan stigma radikalisme?

Pertama, menyadari bahwa perbedaan pendapat merupakan hal wajar sekalipun itu terjadi di kalangan TNI-Polri yang terpola menjalankan tugas dari atasan tanpa penolakan. Apalagi kita berada di negara demokrasi. Jika konsisten dengan salah satu pilar pelaksanaan demokrasi yaitu kebebasan berpendapat, mestinya beda bendapat dalam batas etika dan norma agama adalah tindakan yang ditoleransi.

Kedua, berpikir jernih (critical thinking) adalah kuncinya. Tidak merespons kritik atau perbedaan pendapat dengan mengedepankan prasangka buruk atau kekhawatiran berlebihan. Ada banyak alasan mengapa seseorang itu misalnya tak setuju dengan kebijakan pemerintah. Bisa alasan domestik, dan lain-lain. 

Ketiga, memberikan wadah untuk menampung aspirasi yang tak setuju. Profesionalitas dan loyalitas prajurit tidak serta-merta mematikan pemikiran kritis mereka terhadap kebijakan pemerintah. Maka, dialog menjadi sarana menemukan titik temu dan solusi permasalahan. Bisa jadi justru muncul ide-ide baru yang dapat membantu proses pembuatan kebijakan.

Keempat, menghindari cara-cara kekerasan. Keberadaan kritik/tanggapan mestinya dianggap sebagai cara seseorang untuk turut membangun, bukan diposisikan sebagai enemy (musuh) yang harus disingkirkan dan diperangi. Melainkan mitra membangun negara. Dirangkul, bukan dipukul. Tidak dipersekusi atau diberi tindakan kekerasan lainnya.

Kelima, tidak memberikan stempel negatif pada pihak berseberangan pendapat. Telah menjadi pengetahuan publik, stigma semacam radikal radikul disematkan oleh penguasa kepada pihak yang berseberangan pemikran dan kehendak politiknya. Dan publik pun menduga penggencaran narasi ini justru sebagai upaya menutupi kelemahan penguasa menyelesaikan berbagai masalah bangsa yang tak kunjung selesai.

Demikianlah beberapa strategi menyikapi perbedaan pendapat, khususnya di tubuh TNI-Polri, yang mengedepankan prinsip kebenaran keadilan tanpa terpaku pada stigmatisasi radikalisme. Realitasnya, radikalisme dan ekstremisme selama ini sering hadir sebagai isu politik, bukan isu hukum apalagi isu pertahanan dan keamanan nasional. 

Publik pun kian cerdas untuk bisa menilai bahwa radikalisme tak lebih sebagai sarana membungkam kritisme publik, menutupi kegagalan pemerintah sekaligus menutup borok para penyelenggara negara dan politisi korup, yang sejatinya justru menjadi ancaman keberlangsungan bangsa


Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar