Oligarki Partai Politik Merusak Sistem Politik yang Sehat dan Demokratis


TintaSiyasi.com -- Partai politik memiliki peran fundamental dalam masyarakat demokrasi. Mereka menjadi salah satu pilar bagi bangunan demokrasi. Tanpa mereka, demokrasi dan negara rapuh. Namun, ada persoalan genting yang dialami oleh partai politik, yaitu masalah pendanaan partai. 

Menurut undang-undang, sumber keuangan partai politik ialah iuran anggota, penyumbang, dan bantuan negara. Celakanya, belum ada satu pun partai yang berhasil menjadikan iuran anggota sebagai tulang punggung pendanaan. 

Tampaknya, negara perlu memberi bantuan dana karena sekali lagi, parpol ialah lembaga penopang demokrasi. Namun, bantuan negara selama ini senilai Rp13,7 miliar per tahun untuk 10 parpol dinilai jauh dari cukup. Parpol akhirnya mengandalkan pendanaan dari ketua umum dan atau pengurus inti partai serta sumbangan pihak luar. 

Celakanya, sumbangan dari pihak luar sering tidak gratis. Mereka berharap imbalan ketika parpol yang mereka sumbang menang dan menduduki banyak posisi, baik legislatif maupun eksekutif. Dari sinilah dimulainya oligarki penguasa dan pengusaha terjadi. Jika sudah demikian, masihkah kita berharap bahwa keselamatan rakyat, kesejahteraan rakyat itu menjadi perkara yang diutamakan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara? 

Para pembaca mungkin tidak asing dengan Marcus Tullius Cicero. Dialah yang pertama kali berdalil tentang Ubi Societas Ibi Ius (di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Ada satu lagi dalil yang terkenal bahkan akhir-akhir ini "disesorahkan" di mana-mana, yakni dia pernah berujar: “salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. 

Jika dalil tersebut dihubungkan dengan konsep negara modern, maka sebuah keniscayaan jika negara dengan organ-organ yang dimiliki, mempunyai peran melalui tugas dan fungsinya masing-masing untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan mengusahakan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Melalui upaya ini berarti adalah benar jika keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara. 

Tujuan nasional bangsa Indonesia mendirikan negara telah termaktub dalam Alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia NRI 1945 yakni “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Tujuan nasional tersebut seharusnya menjadi visi setiap kegiatan pemerintah negara. 

Keberadaan partai politik dalam mementukan kegiatan pemerintahan yang dapat menjamin sistem politik yang sehat dan demokratis sangat diperlukan. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah betulkah pada tataran implementasi atau secara realitas asas “salus populi suprema lex esto” telah sepenuhnya direalisasikan oleh kegiatan pemerintahan yang didukung oleh kiprah partai politik? Bagaimana membangun partai politik yang mampu mewujudkan sistem politik yang sehat dan demokratis? 

Pasca merdeka dari penjahahan, suatu negara biasanya hendak membangun sebuah sistem pemerintahan yang mampu menjamin kesejahteraan dan kebebasan rakyatnya. Kemerdekaan suatu bangsa menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa. 

Kemerdekaan juga berarti kemampuan secara mandiri untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia demokratis yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Demokrasi berarti government of the people, by the people and for the people. Ada kemerdekaan dalam berpolitik yang artinya juga partai politik plus anggotanya seharusnya juga merdeka, bebas dari pengaruh pihak manapun dalam mengikuti kontestasi politik melalui Pemilu baik dalam memilih anggota DPD, DPR, Presiden maupun Kepala Daerah. Sesungguhnya peran partai politik untuk menciptakan Pemilu yang demokratis, jujur dan adil sangat besar karena mereka adalah pelaku juga. 

Ada hal yang patut disayangkan dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia, yakni adopsi terhadap ideologi liberalisme, baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Keduanya saling berkelindan. Liberalisme ekonomi meniscayakan perampokan alat dan faktor produksi sebagai asas industri barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat, oleh sekumpulan kaum kapital berdalih investasi. Negara, justru menempatkan diri sebagai pelayan kaum kapital dan memfasilitasi konversi kepemilikan harta milik rakyat menjadi milik swasta, asing maupun aseng. 

Secara politik, kemerdekaan politik berupa kemandirian untuk menentukan arah cita bangsa, membentuk visi dan misi politik negara, juga telah dikangkangi oleh kekuatan kapital melalui sistem demokrasi liberal. Demokrasi, telah merampok kedaulatan rakyat dan diberikan kepada kaum kapital. 

Demokrasi hanya an sich berjalan secara prosedural, hanya seremoni kontestasi politik. Sementara kedaulatan, sejatinya tidak lagi berada ditangan rakyat melainkan ditangan para pemodal. Oligarki Kekuasaan yang merupakan kolusi antara partai politik dan para pemodal, benar-benar telah menguasai altar kontestasi secara mutlak. Sementara rakyat, hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan yang 'dipaksa' untuk memilih calon pemimpin melalui pemilu yang telah disediakan dalam etalase politik hasil kolusi partai politik dan kaum kapital. 

Setelah menjadi penguasa, kader partai politik wajib mengabdi kepada partai dan melayani kepentingan para pemodal yang membiayainya. Oleh karena itu suara bisa dibeli dan diarahkan kepada pemenangan calon tertentu. Sistem pemilu dan Pilkada langsung, telah berpotensi menegasikan substansi suara rakyat sekaligus mengkhianati amanat sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 

Akibat oligarki kekuasaan dalam proses penyelenggaraan negara, maka akan muncul anomali Demokrasi Politik. Dalam konteks kepemimpinan Nasional, sila keempat Pancasila secara substansi telah diabaikan. Filosofi kepemimpinan yang bersumber dari nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, telah diganti dengan sistem politik Demokrasi liberal. 

Tak ada lagi konsensus, tak ada lagi musyarawah, semua keputusan termasuk soal pengisian jabatan kekuasaan baik tingkat nasional maupun daerah, ditentukan melalui mekanisme demokrasi liberal yang berasaskan 'one man one vote'. Padahal, yang digali dari rakyat bukan sekedar suaranya, namun substansi yang lebih penting adalah menggali kebenarannya, menggali kebijakannya, menggali kearifannya. Di sini telah terjadi distorsi kedaulatan rakyat dan pemilu terjebak dalam prinsip "numeric democracy", demokrasi angka-angka, bukan demokrasi substansial. 

Dengan sistem pemilu langsung, Pilpres dan Pilkada, suara rakyat diambil bukan lagi untuk menggali kebenaran, kebijakan, dan kearifan rakyat. Pemilu, Pilpres dan Pilkada hanya mengambil legitimasi rakyat dalam bentuk "numeric", yang seolah-olah telah dilibatkan dalam menentukan kepemimpinan yang menduduki jabatan kekuasaan. 

Sementara itu, Demokrasi liberal justru melegalkan kapital untuk membeli suara dan legitimasi dari rakyat dalam Pemilu yang diikuti oleh Partai Politik. Yang dihitung bukan kebenarannya, kebijakannya, atau kearifannya. Yang dipedulikan, hanyalah jumlah suara yang akan menentukan kemenangan dan melegitimasi kekuasaan. Akankah dihasilkan wakil-wakil rakyat berkualitas dari Partai Politik peserta Pemilu? 

Kemerdekaan hakiki hanya mewujud jika Indonesia mampu menerapkan hukum dan menyelenggarakan pemerintahan bebas dari pengaruh asing dan aseng. Independensi di bidang hukum dan pemerintahan, menjadi parameter penting apakah suatu negara berdaulat atau masih terjajah. Termasuk di dalamnya, partai politik tidak boleh menggantungkan penyelenggaraan kegiatannya pada "bantuan" oligarki baik swasta nasional maupun asing. 

Dalam konteks hukum, baik perancangan hukum dan perundangan juga penerapannya, rasanya dengan sangat sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia betul-betul sudah mandiri. Dalam kenyataannya, hukum merupakan produk politik, sedangkan kita mengetahui kehidupan politik kita sangat ditentukan kiprah partai politik. 

Padahal, pendanaan kiprah partai politik dalam pemilu sangat ditentukan oleh para cukong politik. Infiltrasi kekuatan swasta bahkan asing terutama kelompok pemodal dalam dunia politik, menyebabkan pruduk legislasi tak berorientasi merdeka untuk melayani rakyat, namun terpenjara untuk melayani kepentingan asing, kepentingan kaum pemodal. 

Cita ideal Bangsa, berupa mewujudnya pemerintahan yang demokratis dan mandiri serta memmwujudka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. Namun demikian, kemerdekaan secara formal yang hingga hari ini telah memasuki usia 77 tahun patut kita syukuri dan kita apresiasi. Sebab, para pendahulu kita telah berjuang, berkorban, baik harta, jiwa dan raga, untuk memperoleh dan berhasil mendeklarasikan kemerdekaan. 

Tugas dan tanggung jawab pemerintah negara adalah mewujudkan sistem politik yang sehat dan demokratis. Tujuan dan tanggung jawab tersebut dapat dimulai dengan memberdayakan partai politik dengan kiprahnya dalam sistem pemerintahan negara mengingat pengisian jabatan-jabatan pemerintah negara juga ditentukan oleh kiprah partai politik tersebut. 

Tugas dan tanggung jawab itu berupa usaha untuk mengupayakan terwujudnya kemerdekaan yang substansial, yakni kemandirian dibidang pertahanan dan keamanan (militer) dan kemandirian secara politik dan penerapan hukum, sehingga cita ideal bangsa yang termaktub dalam Konstitusi UUD 45 dapat mewujud nyata, menghasilkan generasi anak bangsa yang berketuhanan yang maha esa, memiliki karakter manusia yang adil dan berkeadaban, bersatu dalam ikatan Negara Indonesia, mewujudkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta terwujudlah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Partai politik harus mandiri, tidak bergantung pada bantuan oligarki pengusaha karena akan berujung pada proses demokratisasi yang mandul melalui rezim Pemilu dan sulit diharapkan terpilih wakil rakyat yang berkualitas. Tanpa kemandirian partai politik, maka sangat sulit dihasilkan sistem politik yang sehat dan demokratis. 

Parpol yang oligarkis dan korup tentu tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Kita membutuhkan partai yang mandiri dari segi pendanaan demi menghadirkan penguatan demokrasi. Salah satu upaya melahirkan parpol yang tidak oligarkis dan tidak korup ialah negara menambah anggaran buat parpol. Oleh karena itu, usul Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo---sewaktu menjabat sebagai Mendagri---- untuk menambah anggaran buat parpol layak dipertimbangkan. 

Namun, sampai berapa besar penaikannya dan bagaimana metode menentukan besarannya merupakan masalah penting yang memerlukan jawaban saksama. Tambahan anggaran parpol menjadi Rp1 triliun seperti diusulkan Mendagri waktu itu bisa jumlah yang pas, bisa pula terlalu besar. Yang terpenting ialah transparansi dan akuntabilitas peruntukan atau penggunaan dana itu. 

Akuntabilitas dana partai tetap harus diutamakan. Badan Pemeriksa Keuangan harus mengauditnya. Dengan begitu, kita berharap parpol sungguh-sungguh menjadi pilar demokrasi. Parpol bisa berfungsi sebagai penopang demokrasi bila kepemimpinan dan kepengurusannya juga demokratis, tidak elitis. Pula, parpol bisa menjadi penyangga demokrasi bila ia bersih, transparan, dan akuntabel dalam penggunaan anggaran negara. 

Sungguh keterlaluan bila kelak negara menambah dana bantuan, tetapi parpol tetap oligarkis dan korup. Parpol yang korup, selain kadernya harus berhadapan dengan hukum, tak akan laku di pasar politik dan ini berarti sistem politik yang dibangun tidak sehat dan tidak demokratis. 

Tabik...!!!
Semarang, Ahad: 20 Maret 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar