Klenik dalam Politik


TintaSiyasi.com -- Zaman boleh berubah. Katanya dunia akan bersatu dalam metaverse. Sebuah ruang jumpa tanpa harus bertatap muka. Cukup avatar sebagai wakil dalam dunia digital. Sayangnya, meski dunia sedang melaju menuju 5.0, terdapat hal ganjil yang mengikuti. Tak terkecuali dalam dunia politik. Apa itu? Klenik.

Tidak asing lagi cerita Firaun yang dapat bisikan dari orang terdekatnya. Jika akan ada bayi laki-laki yang akan menggoncang kekuasaannya. Sontak, Firaun memerintahkan membunuh semua bayi laki-laki. Tidak perlu jauh ke negeri Piramida. Indonesia pun dikenal masih memegang nilai klenik dalam politik. 

Lihatlah bagaimana pada pemilu ketika tiba. Calon legislatif (caleg) melakukan ritual di luar nalar. Rela berendam di sumber mata air suci, hingga mempersembahkan sesaji. Dukun terbaik didatangi. Berharap memperoleh azimat untuk kemenangan diri. Memang tidak semua, tapi ada beberapa yang lazim mempraktikannya.

Pertanyaan besar yang muncul. Mengapa klenik juga masuk ke ranah politik? Bukankah politik sekadar untuk bisa berkuasa dan mengatur urusan negara? Lantas bagaimana bisa memahami lebih dari sekadar politik an sich? Kesemua itu tidak bisa dilepaskan dari belief system (sistem keyakinan).

Secara garis besar dalam koridor politik demokrasi tidak dikenal halal atau haram. Tidak dikenal iman atau syirik. Tidak dikenal logic atau unlogic. Sebab, demokrasi berpijak pada liberalisme. Kebebasan individu mutlak ditentukan sendiri. Tanpa perlu kaidah agama. Demokrasi juga bisa menjadi jalan menuju kesyirikan dan pengabain penghambaan.

Jika diamati dari sosiologi politik, klenik politik termasuk dalam tataran nilai kehidupan masyarakat. Dianut oleh individu yang meyakini ada cara untuk lepas dari segala tipu daya. Meski individu tadi meyakini adanya Allah, tapi syariah-Nya dianggap tidak mengatur kehidupan. Alhasil, klenik masih menjadi ikonik untuk bisa mendapatkan perlindungan, kekuatan, dan kesuksesan. Seolah ada kekuatan di luar diri manusia yang bisa membantu dan mewujudkan segala asa dan cita-cita.

Ada beberapa hal yang bisa dianalisis terkait klenik politik:

Pertama, tata kehidupan yang sekularisme berupa memisahkan agama dari kehidupan meniscayakan agama sekadar ritual. Aspek faktual kehidupan tidak diatur dengan agama. Politik demokrasi yang juga mengadopsi sekularisme tak menganggap masalah praktik klenik. 

Kedua, mindset yang masih lekat dengan model politik yang ada sebelumnya. Beberapa pelaku politik memiliki guru spiritual. Jika yang dimaksud guru spiritual itu orang pintar dalam kacamata perdukunan, maka bisa jadi malah salah jalan. 

Ketiga, secara individu bergantung pada keimanan yang melekat dalam dadanya. Jika meyakini bahwa Allah sebagai Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mudabbir (Pengatur) maka keimanan seseorang sempurna. Sebaliknya, jika Allah hanya dianggap sebagai Sesembahan dan syariah diabaikan alhasil melakukan kesyirikan tak dianggap keharaman. 

Keempat, klenik politik dianggap lazim. Mungkin yang dianggap guru spiritual tidak menapatkan posisi jabatan. Berbeda dengan oligarki, pendukung, dan kelompoknya yang memang mendapatkan langsung keuntungan. Biasanya, guru spiritual mendapatkan harta yang berkelimpahan. Dicukupi segala kebutuhannya.

Kelima, hilangnya rasionalitas dan maraknya kebodohan berpikir. Tak bisa dipungkiri meski survey sudah digelar dan menggiring opini publik, klenik jadi senjata penyempurna. Tidak afdhol rasanya jika tak menggunakannya. 

Jika klenik politik masih dijadikan praktik, maka bagaimana bisa suatu negeri ini bisa diatur dengan syariah Allah. Bukan malah keberkahan yang didapat. Bisa jadi muncul kegilaan berlebihan dalam mencintai kekuasaan dan keduniawian. Selama politik demokrasi yang dianut, selama itu pula klenik masih dipilih.

Sesungguhnya manusia tidak butuh diatur dengan klenikisasi baik dalam politik atau lainnya. Manusia ini hidup di dunia butuh aturan dari Allah Yang Maha Kuasa. Ingatlah, kekuasaan untuk bisa menjabat dan memimpin hanya titipan Allah sementara. Lantas, kenapa tidak digunakan untuk mengabdi kepada-Nya?  Stop klenik politik. Mari bermain politik yang estetik.


Oleh: Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media dan Founder Creator Nulis)

Posting Komentar

0 Komentar