Kawin Beda Agama: Bukan Hanya Tidak Sah Tetapi juga Haram


TintaSiyasi.com -- Viral Pernikahan Beda Agama di Semarang, Wamenag: Tidak Tercatat di KUA. Detik.com Pernikahan beda agama yang berlangsung di sebuah gereja di Semarang viral. Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan pernikahan beda agama yang viral itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). "Peristiwa pernikahan beda agama yang viral di media sosial itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau KUA," ujar Zainut dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/3/2022). 

Bagaimana sebenarnya dalam pandangan hukum, pernikahan beda agama itu seperti apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 hal yang perlu diakukan sebagai argumen yang melatarbelakanginya, sebagai berikut: 

Pertama, kita lihat dari UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat 1 berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Kedua, kita nilai dari Fatwa MUI. Fatwa MUI bahwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 

Ketiga, Putusan MK. Aturan soal menikah beda agama beberapa kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK hingga kini belum mengabulkan. Nikah beda agama tetap tidak diperbolehkan sesuai UU Perkawinan. 

Upaya uji materi UU pernikahan sempat diajukan ke MK tahun 2014 yang lalu oleh sejumlah nama, yakni Damian Agata Yuvens, dkk. Fokus gugatannya pada pasal 2 ayat (1) UU ini, yang mengatur keabsahan pernikahan harus berdasarkan agama.  Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan konstitusi karena membatasi ruang untuk mempraktikkan pernikahan beda agama yang oleh mereka dinyatakan sebagai hak asasi. 

Melalui putusan No. 68/PUU/XII/2014, MK menolak permohonan tersebut. Pasal ini kembali digugat ke MK awal Februari lalu oleh E. Ramos Petege, pria Katolik yang ingin menikahi pacarnya yang muslimah. 

Keempat, berdasar UU Adminduk No. 23 2006 jo UU 24 2013. Ada terbuka utk mencacatkan perkawainan beda agama di Kantor Catatan Sipil dengan syarat sdh ada penetapan Pengadilan. Kantor Catatan sipil akan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. 

Intinya kedua mempelai, hingga konselor pernikahan mengikuti aturan hukum hingga agama yang berlaku di Indonesia. Jadi kalau kita masih ada di Indonesia harusnya semua pihak mengikuti aturan hukum yang ada di Indonesia. 

Fenomena kawin beda agama semakin marak, tercatat pengakuan sang pemosting, ini merupakan pasangan ke 1424. Atas fakta ini yang jelas saya merasa prihatin menyaksikan fakta makin rusaknya tatanan hidup manusia lantaran makin menjauh dari syariat Pencipta manusia. Tampak sekali manusia makin tidak mempunyai visi akherat, yang dikejar persoalan duniawi. Aturan yang haq tidak lagi diindahkan. Manusia lebih mengagungkan soal Hak Asasi tanpa memperhatkkan batas hukum dan agama. 

Proyek lama untuk deislamisasi dan liberalisasi tampak makin marak dengan mengatasnamakan HAM.  Di sisi lain pluralisme agama juga makin terlihat dengan pernikahan beda agama ini. 

Pluralisme ini dpt dipastikan terkait dengan program moderasi beragama. Jangan lupa Tahun 2022 adalah tahun moderasi, saya kira hal semacam ini akan banyak dilakukan. Hal ini akan berjalan mulus ketika negara memfasilitasi keabsahan perkawinan beda agama melalui penetapan perkawinan oleh PN, dan penerbitan kutipan akte nikah oleh kantor catatan sipil sebagi perkawinan yang tercatat  dan dengan demikian sah terkait dengan anak, harta bersama, warisan dan lain-lain. 

Di sisi lain, ada artikel dari Hidayatulloh: Polemik Nikah Beda Agama, MUI Jatim: Bagian dari Proyek Liberalisme dan Deislamisasi. Liberalisme sebagai idelogi sekuler bukanlah semata-mata memyangkut aspek intelektual, tetapi sebuah gerakan ideoligis bahkan sudah menjadi proyek yang mengancam sendi dasar ajaran Islam. Proyek dan gerakan liberalisme secara sistimatis berusaha mempengaruhi rumusan kebijakan publik. 

Sebut saja terkait inisiasi RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Juga adanya upaya uji materi (judicial riview) terhadap peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan. 

Ada yang menyatakan bahwa gencarnya wacana pernikahan beda agama mempunyai benang merah dengan ‘gerakan kristenisasi’ dan proyek deislamisasi.  Bahkan hal ini dapat dicermati dari dinamika politik menjelang kelahiran UU Pernikahan itu sendiri yaitu UU No. 1 tahun 1974. 

Pada 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU Pernikahan. Ada sejumlah pasal bermasalah dalam RUU ini, yang kemudian diketahui bahwa Draft RUU pernikahan ini dibuat oleh orang-orang di sekitar Ali Murtopo yang kebanyakan dari kalangan Kristen sekular. 

Berdasarkan penelitian majalah Tempo, sedikitnya terdapat sembilan pasal bermasalah yang berlawanan secara prinsipil dengan ajaran Islam.  Diantara pasal bermasalah tersebut adalah  pasal 11 ayat 2 yang menyatakan: 

“Perbedaan dikarenakan kebangsan, kesukuan, tanah asal, agama,  kepercayaan dan keturunan, bukan merupakan halangan untuk pernikahan”. 

Proteslah Tokoh Islam..! 

Para tokoh Islam dari berbagai unsur secara serempak memberikan respon keras terhadap RUU terserbut. KH Yusuf Hasyim tokoh NU anggota DPR RI fraksi PPP dengan lantang mengatakan bahwa RUU ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 

Senada dengan itu, KH Badruddin Rusli anggota fraksi Karya Pembangunan juga berkomentar keras menolak RUU ini. Buya Hamka secara tegas menyatakan, RUU ini adalah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas untuk meninggalkan syari’at agamanya sendiri. 

Organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi untuk mendesak supaya pasal-pasal bermasalah dalam RUU diganti. Tak kurang di sini termasuk organisasi Pergerakan Mahasisiwa Islam Indonesia (PMII). KH. Bisri Sansuri dan KH. Masykur dari Nahdlatul Ulama berusaha meloby pemerintah agar melakukan perbaikan RUU ini.

Di balik ini ada proyek deislamisasi yang bersenyawa dengan liberalisme. Tentu di dalamya termasuk kalangan missionaris yang sudah sejak lama menyimpan rasa kecewa terhadap keberadaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan ini. 

Anehnya, para aktivis liberal dalam berbagai kesempatan secara giat mengopinikan bahwa pernikahan beda agama tidak ada masalah dari perspektif ajaran agama (Islam). Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL dalam artikelnya di koran Kompas (Senin, 18/11/2002) mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, Al-Qur'an tidak pernah secara tegas melarang hal itu, karena Al-Qur'an menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. 

Maka, menurut Ulil segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan. 

Senada dengan Ulil, Abdul Moqsith Ghazali dalam sebuah paparan diskusi di  Universitas Wahid Hasyim Semarang, Sabtu, 18 Desember 2004  mengatakan: 

“Yidak ada dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Bagi saya, tidak ada dalil itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan di antara mereka. Itu yang dimaksud dengan kaidah, ‘adam al-dalil huwa al-dalil. Kalau sudah tidak ada dalil Al-Qur`an yang melarang, maka berarti sudah tidak ada dalil, sehingga pernikahan perempuan Musimah dengan laki-laki non-Muslim mesti diperbolehkan”. 

Menjadi paradoks di sini, karena meskipun kaum liberal mengatakan bahwa pernikahan beda agama sah, tapi mereka risau dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974.

Ada yang menyebutkan jika pernikahan beda agama itu upaya pelegalan perzinahan. Apakah penyebutan ini dibenarkan? Sistem Islam sangatlah berbeda dengan demokrasi, di mana perkataan dan perbuatan seorang Muslim  wajib terikat dengan hukum syarak, dia tidak bebas melakukan semaunya begitu juga terkait dengan hukum pernikahan beda agama bahwa kaum Muslim maupun Muslimah haram menikah dengan kaum musyrik, Allah SWT berfirman: 

﴿وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … ﴾ 

“Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya…” (QS: al-Baqarah [2]: 221). 

Dengan demikian, perkawinan wanita mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) juga haram. 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menanggapi fenomena pernikahan beda agama. Sekitar tahun 1980-an banyak media massa memberitakan kasus pernikahan beda agama, terutama antara pemeluk Islam dan Kristen.

Majelis Ulama Indonesia akhirnya mengeluarkan fatwa tertanggal 1 Juni 1980 yang isinya larangan pernikahan campuran, baik antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim atau sebaliknya. Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab pun dinyatakan haram, setelah mempertimbangkan mafsadahnya yang lebih besar dari maslahahnya. 

Beberapa tahun kemudian, tanggal 30 September 1986, MUI mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan agar orang Islam tidak menikah dengan orang yang berlainan agama dalam kondisi apapun. Surat terbuka ini merupakan jawaban dari surat yang dikirim Nasimul Falah, yang menanyakan status pernikahan antara bintang film Lydia Kandou yang beragama Kristen dengan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Surat tersebut juga merespon beberapa artikel di media, seperti Kompas, Pelita, dan Pandji Masyarakat. 

MUI kembali mengeluarkan fatwa larangan pernikahan beda agama pada Musyawarah Nasional tahun 2005 dengan  fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Fatwa ini dikeluarkan untuk mempertegas fatwa sebelumnya dan merupakan jawaban atas opini yang secara gencar digulirkan oleh para aktivis liberal. Pada fatwa ini dinyatakan, pernikahan beda agama tidak hanya haram, tetapi juga tidak sah. Konsekuensinya, orang yang menjalaninya akan dinilai zina ketika melakukan hubungan suami istri. 

Tabik...!!!
Semarang, Sabtu: 19 Maret 2022


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar