Ibu Tega Membunuh Anaknya: Gila atau Karena Himpitan Ekonomi, di Mana Peran Negara?


TintaSiyasi.com -- Sungguh tragis, seorang ibu yang seharusnya bisa menyayangi buah hatinya telah tega menyiksa dan membunuh anaknya hingga tewas. Hati siapa yang tidak terhenyak mendengarnya. Tragedi Ahad (20/3/2022) di Brebes telah menyayat siapa saja yang mendengarnya. Bagaimana tidak? Seorang ibu bernama Kanti Utama telah menggorok ketiga anaknya. 

Anak kedua ARK (7) telah meninggal. Anak pertama itu inisial KSZ (10) dan ketiga E (5) dilarikan ke rumah sakit. Keduanya menjalani operasi karena luka sayat yang dialaminya. Kepolisian Resor Brebes menyatakan, pihaknya belum menetapkan ibu yang tega membunuh 3 anak kandungnya di Tonjong Brebes, Jawa tengah, sebagai tersangka.

Kapolres Brebes AKBP Faisal Febrianto mengatakan, pihak kepolisian hingga saat ini masih melakukan observasi karena pelaku, Kanti Utami, belum bisa dimintai keterangan dan dalam berkomunikasi pernyataannya selalu berubah-ubah. “Untuk sementara motif pelaku melakukan aksi nekatnya karena adanya bisikan gaib yang memerintahkan pelaku melakukan aksinya,” ungkap Faisal dikutip dari tvonenews.com, Selasa, 22 Maret 2022.

Dikutip dari Suara.com (22/3/2022), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menyampaikan, yang dilakukan Kanti Utami itu pasti ada pemicunya. Bisa jadi karena menyimpan tekanan luar biasa dan tidak ada tempat untuk menumpahkan perasaannya. 

Psikolog Ratih Ibrahim mengungkap adanya keputusasaan dan kemarahan sangat besar dari pelaku yang juga ibu kandung tiga anak tersebut. Sebelumnya Ahmad Latif suami Kanti Utami adalah karyawan swasta, karena diberhentikan saat pandemi, ia beralih menjadi wiraswasta. 

Mungkinkah ekonomi menjadi pemicu aksi Kunti Utami? Karena dalam sebuah unggahan video yang viral dia menyampaikan bingung mau bayar kontrakan dan tidak ingin anaknya menderita sepertinya. Ia pun sempat berkata, ingin disayang suami. Apakah ada konflik dengan suamianya? Sehingga ia tega melakukan perbuatan tersebut?

Sampai tulisan ini dibuat, motif pelaku masih dalam penyelidikan dan pendalaman. Harus ada penyelidikan kepada keluarga Kanti Utami, begitu juga setelah anaknya sudah membaik bisa dimintai keterangan. Karena mereka adalah saksi dalam tragedi peristiwa itu. Entah karena gangguan mental atau memang kejadian tersebut dilakukan secara sadar karena hawa nafsunya, hal ini sedang diselidiki. 

Hanya saja di dalam Islam jelas, kategori gila/hilang akal dan berakal. Jika benar mental terganggu, seharusnya pengasuhan anak tidak diberikan kepada ibunya. Atau jika diberikan didampingi dengan yang masih waras. Baik, selanjutnya akan dibahas dalam sub bab di bawah ini.

Menganalisis Ibu Tega Membunuh Anaknya Sendiri

Sadis, seorang ibu melakukan percobaan pembunuhan kepada tiga anaknya. Nahas sekali, satu anaknya tewas di tangan ibunya sendiri, dan dua lainnya terluka parah dan dilarikan di rumah sakit untuk dioperasi dan mendapatkan perawatan intensif. Ditelisik lebih dalam ada dua faktor utama yang menjadi pemicu seseorang melakukan kejadian tragis itu. Yakni, internal dan eksternal pelaku yang saling mempengaruhi.

Faktor internal yang memicu pelaku melakukan hal itu dapat diduga sebagai berikut. Pertama, stres dan depresi. Tekanan, stres, depresi dalam hidup bisa membuat seseorang melakukan tindakan di luar nalar sehat. Kedua, dendam. Luka sakit hati yang tidak terobati bisa menjadi penyebab seseorang melakukan hal sadis seperti itu. Bisa jadi luka dan dendam tersebut memang tidak dilampiaskan kepada orangnya, tetapi orang-orang terdekat, seperti anak-anaknya bisa jadi korban.

Ketiga, kemarahan yang tidak terkendali. Dalam Islam seorang Muslim diminta senantiasa menjaga amarahnya. Walaupun pemicu kemarahan senantiasa hadir di tengah-tengah perjalanan hidup kita. Kemarahan yang tak terkendali bisa jadi karena cemburu, terpukul, atau mendengar kabar yang menyakitkan dan tidak sesuai harapannya. 

Dalam hubungan rumah tangga kabar perselingkuhan sering menjadi pemantik percekcokan antara pasangan. Walhasil anak-anaknya jadi korban luapan emosi, kemarahan, ketidakpedulian dan sebagainya.

Keempat, lemahnya akidah Islam. Dalam menjalani lika-liku kehidupan, terkadang fakta yang diterima tidak selalu sejalan dengan apa yang diinginkan dan diharapkan. Terkadang kejadian menyakitkan, tidak adil, dan sebagainya sering menghampiri hidup. Belum lagi masalah yang datang, orang hidup pasti akan ada masalah. 

Andai manusia mau mengambil solusi Islam yang telah Allah SWT berikan, pastilah segala permasalahan dapat diatasi dengan baik. Lemahnya akidah juga bisa menjadi pendorong seseorang tidak mampu menerima qada dan qadar yang Allah SWT tetapkan. Seharusnya ia bisa ikhlas, tetapi malah ia menyikapinya dengan baik.

Kelima, lemahnya tsaqofah, khazanah, dan nafsiyah Islamiah. Bagaimana seorang bisa Muslim mampu menjalani hidupnya jika ia tidak memahami petunjuk yang Allah SWT turunkan? Ketidakpahaman akan hal itu, membuat manusia dikuasai hawa nafsunya ketimbang akalnya. Walhasil, banyak yang salah menyikapi masalah dengan syahwatnya yang terkadang dipanas-panasi dengan bisikan-bisikan setan. 

Selanjutnya, faktor eksternal yang patut diduga memicu tindakan sadis dan amoral tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, buruknya hubungan dengan keluarga. Kurang baiknya hubungan dengan keluarga, baik itu suami, anaknya, dan keluarga lainnya bisa memicu tindakan-tindakan yang sadis di luar nalar. 

Kedua, kurang kasih sayang keluarganya. Biasanya kurang terpenuhinya kebutuhan naluri (ghariza) yang sesuai syariat Islam. Lemahnya pemenuhan naluri yang sesuai dengan syariat Islam, ini bisa menjadi faktor pemicu kegelisahan yang mendalam hingga menyebabkan pelampiasan yang diluar kontrol. 

Contohnya, kesatu, ghariza tadayun, naluri menuhankan bisa terawat dengan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT dan meningkatkan tsaqofah kajian dengan menghadiri majelis-majelis ilmu. Kedua, ghariza baqa' (naluri mempertahankan diri) bisa diisi dengan berikhtiar memperbaiki diri dan keluarga. Ketiga, ghariza nauk (naluri seksual) terkait ini bisa dipenuhi dengan menjaga keharmonisan dengan suaminya dan melimpahkan kasih sayang yang sesuai syariat kepada keluarganya.

Ketiga, ekonomi susah. Sebagai makhluk hidup pasti butuh makan. Sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan primer manusia. Pemenuhan ekonomi erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan jasmani (hajatul udhuwiyah). Sebagaimana yang diketahui, jika pemenuhan tersebut tidak terpenuhi akan mengancam jiwa. Wajar masalah ekonomi ini sering membuat stres dan depresi tersendiri.

Terlebih jika kehidupan diatur dengan aturan yang bertentangan dengan ajaran dan hukum Islam. Sistem ekonomi yang diterapkan adalah kapitalisme sekuler yang jauh dari Islam. Kebutuhan pokok yang seharusnya dipenuhi negara dikuasai oleh mafia-mafia pasar. Mereka memainkan harga sehingga kebutuhan hidup semakin mahal. Sebenarnya ini adalah tekanan yang nyata. Cari uang susah, kerja pun gajinya tidak naik, justru malah siap-siap dipecat, mau usaha, tidak punya modal. Jika pun memaksa bermodal, utang ribawi. 

Sungguh kapitalisme berpotensi menciptakan stres dan depresi berlapis, sehingga memicu konflik keluarga yang berujung saling bunuh. Kapitalisme sekuler ini adalah biang kerok kesengsaraan dan konflik yang melanda manusia saat ini. 

Penting mengatur kebutuhan sesuai syariat Islam. Mengapa pemenuhan kebutuhan naluri harus sesuai Islam? Karena hanya Islam yang mampu mengarahkan solusi pemenuhan dengan jawaban yang menentramkan hati, sesuai fitrah manusia, dan memuaskan akal. 

Akar masalah terciptanya manusia-manusia berperilaku sadis juga diakibatkan penerapan kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah menciptakan kesengsaraan dan kejahatan yang berdampak pada rusaknya tatanan sosial. Jadi, kerusakan yang ditimbulkan adalah kerusakan multidimensi.

Dampak Orang Tua Melakukan Aksi Sadis kepada Anaknya hingga Berujung Kematiannya

Aksi menyayat hati yang dilakukan Kunti Utami telah menghantam nurani. Secara tidak langsung apa yang dilakukan Kunti entah sadar atau tidak akan membawa dampak kepada anak-anaknya. Dampak dari sikap sadis berujung kematian tersebut ada beberapa hal berikut. Pertama, trauma. Jelas, anaknya akan trauma akan kejadian itu. Trauma ini bisa coba disembuhkan tetapi kenangan itu akan masih ada. Kedua, luka pengasuhan. Seharusnya orang tua memberikan asuh yang baik dan menyenangkan. Ini justru pengasuhan yang menyiksa hingga pembunuhan. Ini jelas akan menyebabkan luka.

Trauma masa kecil tidak bisa dianggap sepele dan akan mudah hilang begitu saja. Dampak yang ditimbulkan bisa berujung pada perilaku destruktif saat dewasa, seperti menyabotase dan memusuhi diri sendiri, agresi menggunakan kekerasan, hingga melakukan perbuatan jahat. 

Selain itu, sifat mudah tersinggung, marah dan berteriak, serta mudah memutus relasi sosial,  juga merupakan dampak dari luka batin saat kecil. Inilah yang disebut “inner child.” Hal itu juga bisa memicu dendam. Anak yang mengalami hal tersebut, jangan sampai jadi dendam kepada ibunya atau orang tuanya. Karena ini akan menciptakan konflik tidak berujung.

Sebenarnya hal itu bukan sepele, harus ada bangunan akidah yang kokoh dalam diri anak agar bisa hidup ke depan semakin baik lagi. Karena tanpa bangunan akidah yang kuat anak bisa mengalami luka pengasuhan yang sulit hilang. Selain itu, jika orang tua tidak bertobat, hal itu mengundang murka Allah SWT. 

Oleh karena itu, dalam Islam setiap nyawa yang hilang tanpa haq, seharusnya pelakunya juga harus diqisas. Karena hanya dengan qisas, sang pelaku terbebas dari siksa di akhirat. Tetapi, jika tidak diqisas, sungguh Allah SWT akan menuntutnya di pengadilan akhirat nanti. Hal itu lebih menakutkan lagi. Oleh karena itu, sebagai insan Muslim, haruslah melalukan sesuatu berdasar syariat dan yang terpenting mampu mengkondisikan amarah dan perasaannya.

Strategi Islam Mengasuh Anak yang Membahagiakan

Anak adalah amanah Illahi, rezeki yang tak ternilai. Mengasuhnya mendatangkan keberkahan dunia akhirat. Mendidiknya bisa menjadi jariyah kebaikan. Sungguh malang, jika sebagai orang tua, menyia-nyiakan anak dengan pola asuhan yang tidak sesuai syariat Islam. 

Sekalipun ketika telah baligh anak akan memiliki pertanggungjawaban sendiri, alangkah indahnya jika anak memiliki pemahaman Islam yang benar dan akidah Islam yang kokoh. Oleh sebab itu, mendidik anak pun butuh ilmu dan tsaqofah Islam.

Berikut strategi Islam dalam pengasuhan anak. Pertama, sebagi orang tua, harus menyadari, anak adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban. Sehingga, sebagai orang tua harus benar-benar dan sungguh-sungguh dalam melakukan pendidikan tersebut. Kedua, orang tua harus menancapkan akidah Islam yang kuat kepada anaknya. 

Ini penting, akidah kuat tidak bisa tertancap tanpa pengasuhan yang masih dan sistematis. Orang tua harus terus mendampingi anak, agar akidahnya semakin kuat, sekalipun anak ketika memahami sesuatu itu belum secepat orang dewasa. Perlahan tetapi pasti. 

Ketiga, orang tua harus mampu menjadi teladan anaknya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitu pun anak, anak itu butuh teladan kebaikan. Teladan kebaikan, yang pertama dilihat anak adalah orang tuanya. Karenanya, orang tua harus mampu menjadi teladannya. 

Selain itu orang tua harus menjadikan anak mampu meneladani Rasulullah Muhammad SAW, sahabat, dan orang-orang yang shalih. Agar anak memahami teladan utama Muslim adalah Nabi Muhammad SAW, kalau anak melihat orang tuanya tidak sempurna dan melakukan kesalahan-kesalahan, anak mampu mengambil sikap, mana yang harus dicontoh dan tidak.

Keempat, memberikan tsaqofah Islam kepada anaknya. Tugas orang tua memberikan tsaqofah Islam kepada anaknya, bisa dengan mengajarinya dan mengajaknya dalam kajian kids. Hal ini penting untuk menumbuhkan haus ilmu sejak dini pada anak. Kelima, pola pengasuhan anak akan berhasil jika didukung oleh sistem dan negara. Karena melalui otoritas negara, anak-anak bisa terlindungi dari konten-konten sekuler yang merusak. Karena itu, butuh peran negara agar pendidikan anak sukses. Yakni, sukses di keluarga dan sukses di tengah-tengah masyarakat. 

Memahami hal tersebut, selain orang tua, masyarakat dan negara memiliki peran penting untuk mendukung pengasuhan anak dengan baik. Karena sejatinya, anak shalih-shalihah adalah aset berharga pembangun peradaban Islam, penerus tonggak perjuangan negara. Di sini negara memiliki kewajiban penuh dalam mendidik dan menyelenggarakan pendidikan yang Islami dan melahirkan generasi emas. 

Selain itu, negara wajib melakukan pengawasan, apakah orang tua telah menjalankan peranannya dalam menjadi sekolah pertama anak? Tidak hanya itu, negara pun menyelenggarakan pendidikan yang bisa dijangkau semua lapisan masyarakat dengan sistem Islam demi mendapatkan bibit unggul. 

Dari situlah sesungguhnya menyadarkan bahwa hidup dalam naungan khilafah Islam adalah kewajiban dan kebutuhan sebagai Muslim. Karena, sumber malapetaka multidimensi yang terjadi hari ini dikarenakan sistem yang tidak Islami, yakni kapitalisme sekuler.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Sungguh kapitalisme berpotensi menciptakan stres dan depresi berlapis, sehingga memicu konflik keluarga yang berujung saling bunuh. Kapitalisme sekuler ini adalah biang kerok kesengsaraan dan konflik yang melanda manusia saat ini. Penting mengatur kebutuhan sesuai syariat Islam. 

Mengapa pemenuhan kebutuhan naluri harus sesuai Islam? Karena hanya Islam yang mampu mengarahkan solusi pemenuhan dengan jawaban yang menentramkan hati, sesuai fitrah manusia, dan memuaskan akal. Akar masalah terciptanya manusia-manusia berperilaku sadis juga diakibatkan penerapan kapitalisme sekuler. Kapitalisme telah menciptakan kesengsaraan dan kejahatan yang berdampak pada rusaknya tatanan sosial. Jadi, kerusakan yang ditimbulkan adalah kerusakan multidimensi.

2. Trauma masa kecil tidak bisa dianggap sepele dan akan mudah hilang begitu saja. Dampak yang ditimbulkan bisa berujung pada perilaku destruktif saat dewasa, seperti menyabotase dan memusuhi diri sendiri, agresi menggunakan kekerasan, hingga melakukan perbuatan jahat. 

Selain itu, sifat mudah tersinggung, marah dan berteriak, serta mudah memutus relasi sosial,  juga merupakan dampak dari luka batin saat kecil. Inilah yang disebut “inner child.” Hal itu juga bisa memicu dendam. Anak yang mengalami hal tersebut, jangan sampai jadi dendam kepada ibunya atau orang tuanya. Karena ini akan menciptakan konflik tidak berujung. Dampak lebih jauh lagi adalah dosa dan balasan di akhirat kepada pelakunya.

3. Strategi Islam dalam mengasuh anak adalah sebagai berikut. Orang tua memiliki kesadaran yang benar, orang tua menancapkan akidah Islam dan menjadi teladan. Selain itu, membekali anak dengan tsaqofah Islam dan perlu dukungan negara dalam menyelenggarakan pola pengasuhan yang komprehensif.


Oleh: Ika Mawarningtyas
Mutiara Umat Institute dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar