Bentuk, Definisi, serta Tujuan Negara Islam di Dalam Al-Qur'an

TintaSiyasi.com -- Al-Qur’an adalah kitab suci yang terpelihara kesuciannya sampai diangkat lagi ke langit, dan dalil nomor wahid dalam hukum-hukum syariat Islam, lalu Sunnah Nabi Muhammad SAW yang kedalilannya telah diperintahkan oleh Al-Qur’an adalah penjelasan (tafsir) bagi Al-Qur’an dan menjadi dalil kedua, lalu ijmak dan qiyas syar’i yang kedalilan keduanya telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dalil ketiga dan keempat. Dan empat dalil tersebut kedalilannya telah disepakati oleh ulama mujtahidin ahlussunnah waljamaah.

Ketika perintah Al-Qur’an masih global dan umum (mujmal dan ‘aam), maka As-Sunnah diperlukan untuk menjelaskan dan menentukannya. Ketika As-Sunnah masih global dan umum, maka ijmak diperlukan untuk menjelaskan dan menentukannya. Dan qiyas syar’i diperlukan sebagai penyempurna atau pelengkap bagi tiga dalil sebelumnya. Oleh karenanya, qiyas yang diakui kedalilannya hanyalah qiyas syar’i, yaitu qiyas yang sejalan dengan tiga dalil sebelumnya, bukan qiyas aqli atau qiyas manthiqi dalam ilmu falsafah, karena qiyas semacam ini justru akan merusak tatanan hukum yang telah ditetapkan melalui tiga dalil tersebut. Dan qiyas semacam inilah yang selama ini dipakai oleh kelompok liberal untuk mengacak-acak hukum-hukum syariat Islam yang telah final.

Kelompok liberal selalu berkicau laksana burung cucak rowo dan menggonggong laksana anjing untuk menyenangkan majikan yang selalu memberinya sangkar, makanan dan minuman, bahwa “Di dalam Al-Qur’an itu tidak ada perintah mendirikan negara Islam (darul Islam)”, “Di dalam Al-Qur’an tidak ada negara Islam”, bahkan “Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendirikan negara Islam di Madinah”, “Di dalam Al-Qur’an hanya ada ‘Daarus Salam’ seperti NKRI dengan UUD ’45 dan Pancasilanya”, dan seterusnya.

Mereka terlalu bodoh (jahil) atau pura-pura bodoh (tajahhul), sehingga tidak mengerti bahwa di dalam Al-Qur’an juga tidak ada perintah menegakkan shalat lima waktu secara jelas dan terperinci. Padahal shalat adalah tiang agama yang siapa saja menegakkannya maka ia menegakkan agama, dan siapa saja merobohkan (meninggalkan)nya, maka ia merobohkan agama. Juga dengan zakat, puasa, dan haji, Al-Qur’an tidak mewajibkannya secara jelas dan terperinci. Akan tetapi tiga dalil setelah Al-Qur’an-lah yang berfungsi untuk menjelaskan dan memerincinya, juga menyempurnakannya.


Cukup Satu Ayat

Menyatunya bentuk, definisi, dan tujuan negara Islam dalam satu ayat, Allah SWT berfirman:

ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ليستخلفنهم ﻓِﻲ ﺍﻷﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﺨْﻠَﻒَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ، ﻭَﻟَﻴُﻤَﻜِّﻨَﻦَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰ ﻟَﻬُﻢْ، وليبدلنهم ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﻬِﻢْ ﺃَﻣْﻨًﺎ، ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻧَﻨِﻲ ﻻ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻲ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﻔَﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ.

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. an-Nuur [24]: 55).

Pertama. Bentuk negara Islam.

Firman Allah SWT:

ﻭَﻋَﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻤِﻠُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ﻟَﻴَﺴْﺘَﺨْﻠِﻔَﻦْﻢُﻫَّ ﻓِﻲ ﺍﻷﺭْﺽِ ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﺨْﻠَﻒَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻬِﻢْ ,

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”, adalah pangkal (ashlun/ushul) dari bentuk negara Islam, yaitu khilafah. Karena dalam ilmu sharaf, juga disinggung dalam ilmu nahwu kata “[la]yastakhlifa[nnahum]” dan “istakhlafa” adalah bentuk fi’il mudlari’ dan fi’il madli sudatsi (kalimat fi’il yang terdiri dari enam huruf), yang berkembang dari fi’il tsulatsi (kalimat fi’il yang terdiri dari tiga huruf) “khalafa”, dimana dari kata khalafa inilah terbentuknya kata “khilafah” dan “khalifah” yang urutan sharofnya adalah,

خلف يخلف خلافة ومخلفا فهو خليفة... 

Khalafa, yakhlufu, khilaafatan, wamakhlafan, fahuwa khaliifatun…”. Kata khalifah sebagai isim shifat jatuh setelah kata khilafah sebagai mashdar ghairu miim. Di mana kedua kata itu saling terkait, tidak ada kata khalifah kecuali jatuh setelah kata khilafah. Khalifah adalah penguasanya, sedang khilafah adalah jabatan dan sistem kekuasaannya. Allah juga tidak menggunakan kata “yastawliy” dan “istawlaa” yang maknanya juga sama, yaitu berkuasa.

Jadi Allah berjanji akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi dengan negara khilafah dan khalifah sebagai kepala negaranya, bukan dengan bentuk negara dan kepala negara yang lain. Oleh karenanya, terkait tafsir ayat tersebut Ibnu Katsir berkata:

ﻫﺬﺍ ﻭﻋﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﺮﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺄﻧﻪ ﺳﻴﺠﻌﻞ ﺃﻣﺘﻪ ﺧﻠﻔﺎﺀ ﺍﻷﺭﺽ، ﺃﻱ : ﺃﺋﻤﺔَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺍﻟﻮﻻﺓَ ﻋﻠﻴﻬﻢ، ﻭﺑﻬﻢ ﺗﺼﻠﺢ ﺍﻟﺒﻼﺩ، ﻭﺗﺨﻀﻊ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ،

Ini adalah janji Allah kepada Rasulullah SAW bahwa Dia benar-benar akan menjadikan umatnya khalifah-khalifah di bumi, yakni para imam dan para wali (penguasa setingkat gubernur dibawah khalifah) bagi manusia, yang dengan mereka negeri-negeri menjadi baik, dan bangsa-bangsa menjadi tunduk….” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/77, Maktabah Syamilah).

Kesimpulan ini juga telah dijelaskan oleh As-Sunnah. Nabi SAW bersabda:

ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓُ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺛُﻢَّ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻓَﻌَﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ...  ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ﺛُﻢَّ ﺳَﻜَﺖَ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ

Di tengah kalian sedang ada daulah kenabian, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan daulah kenabian, … Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan daulah kenabian". Kemudian Nabi diam." (HR Ahmad Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra). 

Dan sabdanya:

ﺍﻟﺨﻼﻓﺔ ﻓﻰ ﺃﻣﺘﻲ ﺛﻼﺛﻮﻥ ﻋﺎﻣﺎ ﺛﻢ ﻣﻠﻚ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ 

"Khilafah (‘ala minhajin nubuwwah) pada umatku adalah tiga puluh tahun, kemudian setelah itu kerajaan (khilafah ‘ala minhajil muluk)." (HR Ahmad dari Safinah).

Dalam riwayat lain;

ﺧﻼﻓﺔ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ ﺛﻼﺛﻮﻥ ﺳﻨﺔ ﺛﻢ ﻳﺆﺗﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺃﻭ ﻣﻠﻜﻪ ﻣﻦ ﻳﺸﺎﺀ .

"Khilafah Nubuwah itu tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kekuasaan (khilafah mulkiyyah), atau kekuasaan-Nya kepada orang yang dikehendaki." (HR. Abu Daud dari Safinah).

Dan terkait khalifah Allah SWT berfirman:

ﺇِﻧِّﻲ ﺟَﺎﻋِﻞٌ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً ...

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…" (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Dan firman-Nya:

ﻳَﺎ ﺩَﺍﻭُﺩُ ﺇِﻧَّﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ...

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,…” (QS. Shad [38]: 26).

Pada dua ayat di atas, Allah lebih menekankan subyeknya yaitu isim shifat khalifah, daripada predikat atau sistemnya yaitu mashdar khilafah. 

Dan Nabi SAW bersabda:

ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ ﺍﺛﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﺃﻣﻴﺮﺍً، ﻗﺎﻝ : ﺛﻢ ﺗﻜﻠﻢ ﺑﺸﻴﺊ ﻟﻢ ﺃﻓﻬﻤﻪ ﻓﺴﺄﻟﺖُ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻠﻴﻨﻲ ﻓﻘﺎﻝ : ﻗﺎﻝ : ﻛﻠﻬﻢ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ . ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺇﻻ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻠﺘﺮﻣﻴﺬﻱ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺳﻤﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ .

"Setelahku akan ada dua belas amir (khalifah sebagai amiirul mu’miniin)", kemudian beliau membicarakan sesuatu yang tidak aku pahami, lalu aku bertanya kepada orang yang ada di sampingku, lalu ia berkata; Beliau bersabda; "Semuanya dari Quraisy."

ﻭﻓﻰ ﻟﻔﻆ ﻷﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ : ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻗﺎﺋﻤﺎً ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﺛﻨﺎ ﻋﺸﺮ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻛﻠﻬﻢ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﻷﻣﺔ .

Dalam lafadz Abu Daud (Nabi SAW bersabda); "Agama ini akan selalu tegak sampai ada dua belas khalifah memimpin kalian, dimana semuanya dapat menyatukan umat".

Dan sabdanya:

ﻛﺎﻧﺖ ﺑﻨﻮ ﺇﺳﺮﺍﺋﻴﻞ ﺗﺴﻮﺳﻬﻢ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ، ﻛﻠﻤﺎ ﻫﻠﻚ ﻧﺒﻲ ﺧﻠﻔﻪ ﻧﺒﻲ، ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻧﺒﻲ ﺑﻌﺪﻱ، ﻭﺳﺘﻜﻮﻥ ﺧﻠﻔﺎﺀ ﻓﺘﻜﺜﺮ ، ...

Dahulu Bani Israel urusan politiknya selalu dipimpin oleh para nabi, dimana ketika ada nabi yang wafat, maka digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi lagi setelahku, dan akan ada banyak khalifah, …” (HR. Muslim dari Abu Hurairoh ra).

Dan sabdanya:

ﺇﺫﺍ ﺑﻮﻳﻊ ﻟﺨﻠﻴﻔﺘﻴﻦ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﺍ ﺍﻵﺧﺮ ﻣﻨﻬﻤﺎ .

Ketika telah dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri ra).

Dan sahabat telah ijmak mengajukan Abu Bakar Shiddiq setelah terjadi perselisihan di antara sahabat Muhajirin dan Anshar di saqifah Bani Saidah dalam pengangkatan khalifah. Sehingga sahabat Anshar berkata: “Dari kami ada amir (pemimpin) dan dari kalian ada amir”. Lalu Abu Bakar, Umar dan sahabat Muhajirin menolak hal itu dan berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang Arab itu tidak tunduk kecuali kepada perkampungan Quraisy ini”, dan meriwayatkan khabar tentang itu kepada mereka. Lalu mereka kembali dan taat kepada orang Quraisy. (Tafsir al-Qurthubi ayat terkait). Dan para imam madzhab juga telah sepakat akan kewajiban menegakkan khilafah sebagai bentuk negara Islam, juga kewajiban mengangkat serta membaiat khalifah sebagai kepala negaranya.

Kedua. Definisi negara Islam.

Definisi negara Islam itu digali dan diambil dari mafhum firman Allah SWT:

ﻭَﻟَﻴُﻤَﻜِّﻨَﻦَّ ﻟَﻬُﻢْ ﺩِﻳﻨَﻬُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰ ﻟَﻬُﻢْ، ﻭَﻟَﻴُﺒَﺪِّﻟَﻦّْﻢُﻫَ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﺧَﻮْﻓِﻬِﻢْ ﺃَﻣْﻨًﺎ ،

Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa.

Firman ini adalah mengenai dua syarat dari definisi negara Islam (Darul Islam) yang berbentuk negara khilafah:

Syarat pertama: Hukum-hukum yang diterapkan oleh negara adalah hukum-hukum Islam. Syarat ini diambil dari mafhum firman Allah, “Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka”. Karena agama yang dimaksud adalah agama Islam. Sedang pengertian agama yang diteguhkan adalah agama yang hukum-hukumnya diterapkan secara sempurna dalam semua lini kehidupan, masyarakat, dan negara. Lebih dari itu, menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna adalah fardlu/wajib atas kaum Muslim. Sama saja hukum-hukum yang penerapannya tidak membutuhkan negara atau yang membutuhkan negara. Sedang terkait hukum-hukum yang penerapannya membutuhkan negara, maka di sinilah fungsi serta urgensi negara Islam.

Dan terkait syarat pertama Allah SWT berfirman:

ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺤْﻜُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﺄُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮُﻭْﻥَ .

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maaidah [5]: 44).

Dan firman-Nya:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮْﺍ ﺍﺩْﺧُﻠُﻮْﺍ ﻓِﻰ ﺍﻟﺴِّﻠْﻢِ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮْﺍ ﺧُﻄُﻮَﺍﺕِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ﻋَﺪُﻭٌّ ﻣُﺒِﻴْﻦٌ .

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 208).

Dan firman-Nya:

ﻓﺎﺣﻜﻢ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻻ ﺗﺘﺒﻊ ﺃﻫﻮﺍﺀﻫﻢ ﻋﻤﺎ ﺟﺂﺀﻙ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻖ ، ...

Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu, …” (QS al-Maaidah [5]: 48).

Dan firman-Nya:

ﻭﺃﻥ ﺍﺣﻜﻢ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﺗﺘﺒﻊ ﺃﻫﻮﺍﺀﻫﻢ ﻭﺍﺣﺬﺭﻫﻢ ﺃﻥ ﻳﻔﺘﻨﻮﻙ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﻣﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻚ ، ...

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS al-Maaidah [5]: 49). 

Syarat kedua: Keamanan negara itu adalah dengan keamanan Islam, yakni dengan kekuasaan dan keamanan kaum Muslim, baik di dalam maupun di luar negerinya. Syarat ini diambil dari mafhum firman Allah, “Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa”. Karena kaum Muslim itu tidak akan mendapatkan keamanan dalam segala hal, ketika mereka berada di dalam negara kafir (Darul Kufri), kecuali dengan tunduk kepada hukum dan sistem kafir yang diterapkan yang nyata-nyata menyalahi dan kontradiksi dengan hukum dan sistem Islam.

Dan terkait syarat kedua ini, Allah SWT berfirman:

ﻭﻟﻦ ﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺳﺒﻴﻼ 

Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir atas orang-orang yang beriman.” (QS an-Nisa [4]: 141).

Maksudnya orang-orang kafir itu tidak boleh memiliki kekuasaan atas orang-orang Muslim, karena menjadikan kekuasaan kepada orang-orang kafir itu sama halnya dengan menjadikan keamanan kaum Muslim berada di bawah keamanan kafir, tidak berada di bawah keamanan Islam.

Jadi penilaian suatu negara sebagai negara Islam (Daarul Islaam) atau negara kafir (Daarul Kufri) itu tidak dengan negeri (tempat, wilayah) dan penduduknya, tetapi hanya dengan hukum-hukum dan keamanannya. Apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum Islam dan keamanannya dengan keamanan Islam, maka negara itu adalah negara Islam meskipun mayoritas penduduknya terdiri dari orang-orang non-Muslim. Dan apabila hukum-hukumnya adalah hukum-hukum kafir dan keamanannya dengan keamanan kafir, maka negara itu adalah negara kafir meskipun mayoritas penduduknya terdiri dari kaum Muslim.

Dan itulah definisi negara Islam yang telah ditabanni dan ditetapkan oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh dan yang ditabanni dan diemban oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia.

Ketiga. Tujuan negara Islam.

Tujuan dan fungsi negara Islam itu diambil dari mafhum firman Allah SWT;

ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻧَﻨِﻲ ﻻ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻲ ﺷَﻴْﺌًﺎ ،

Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.

Jadi tujuan dan fungsi dari berdirinya negara Islam yang berbentuk khilafah adalah supaya kaum Muslim dapat menyembah (beribadah kepada) Allah SWT dengan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya.

Menyembah Allah secara umum adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sama saja menyembah secara ritual, spiritual, moral, dan sosial, seperti shalat dan puasa, berzikir dan berpikir, bershalawat dan bertilawah, menolong, bersedekah dan berzakat; maupun secara bermasyarakat dan bernegara, seperti bergaul, berpendidikan, berekonomi, berpolitik, berhukum, dan bersistem. Semuanya harus mengacu pada syariat Islam dalam hal perintah dan larangan Allah SWT.

Tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah, artinya bukan hanya menyekutukan-Nya dengan berhala, patung, setan, jin, bebatuan, jimat dan keris, kuburan, malaikat, nabi dan rasul, dan orang-orang saleh yang telah mati, tetapi termasuk menyekutukan (syirik/musyrik) adalah menyekutukan hukum produk hawa nafsu manusia sebagai thaghut dengan hukum Allah SWT. Karena memasukkan (menyejajarkan) hukum Islam ke dalam hukum positif buatan manusia yang diselimuti hawa nafsu adalah perbuatan syirik yang dosanya kelak pada hari kiamat tidak dimaafkan, meskipun sudah ditahlili dan dihauli ratusan kali, kecuali ketika di dunianya sudah bertaubat dan sudah meninggalkan syirik itu.

Dalam hal ini Allah swt berfirman:

ﻗُﻞِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﺒِﺜُﻮْﺍ، ﻟَﻪُ ﻏَﻴْﺐُ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ ﻭَ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ، ﺃَﺑْﺼِﺮْ ﺑِﻪِ ﻭَﺃَﺳْﻤِﻊْ، ﻣَﺎ ﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩُﻭْﻧِﻪِ ﻣِﻦْ ﻭَﻟِﻲٍّ ﻭَﻻَ ﻳُﺸْﺮِﻙُ ﻓِﻲ ﺣُﻜْﻤِﻪِ ﺃَﺣَﺪﺍً 

"Katakanlah: “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutuNya dalam menetapkan hukum (keputusan).” (QS al-Kahfi [18]: 26).

Dan firman-Nya:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻَ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺃَﻥْ ﻳُﺸْﺮَﻙَ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮُ ﻣَﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﻓْﺘَﺮَﻯ ﺇِﺛْﻤﺎً ﻋَﻈِﻴْﻤﺎً .

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS al-Nisa’ [4]: 48).

Dan firman-Nya:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻻَ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺃَﻥْ ﻳُﺸْﺮَﻙَ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮُ ﻣَﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﺸْﺮِﻙْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺿَﻞَّ ﺿَﻼَﻻً ﺑَﻌِﻴْﺪﺍً .

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS al-Nisa’ [4]: 117).

Karena tugas khalifah sebagai kepala negara khilafah adalah memutuskan perkara di antara manusia dengan/sesuai hukum yang telah diturunkan Alloh SWT, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

ﻳَﺎ ﺩَﺍﻭُﺩُ ﺇِﻧَّﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔً ﻓِﻲ ﺍﻷﺭْﺽِ ﻓَﺎﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﺎﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻻ ﺗَﺘَّﺒِﻊِ ﺍﻟْﻬَﻮَﻯ ﻓَﻴُﻀِﻠَّﻚَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻀِﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺷَﺪِﻳﺪٌ ﺑِﻤَﺎ ﻧَﺴُﻮﺍ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺤِﺴَﺎﺏِ .

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shaad [38]: 26).

Memutuskan perkara dengan hak (adil), artinya dengan hukum Allah, karena Allah telah melarang mengikuti hawa nafsu, yakni mengikuti hukum produk manusia yang mengikuti hawa nafsunya. Seruan Allah kepada nabi Daud as sebagai khalifah adalah juga seruan kepada semua khalifah dari umat nabi Muhammad SAW, karena Al-Qur’an itu diturunkan kepada mereka.

Oleh karenanya, Ibnu Katsir berkata:

ﻫﺬﻩ ﻭﺻﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻟﻮﻻﺓ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺃﻥ ﻳﺤﻜﻤﻮﺍ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﺍﻟﻤﻨﺰﻝ ﻣﻦ ﻋﻨﺪﻩ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻻ ﻳﻌﺪﻟﻮﺍ ﻋﻨﻪ ﻓﻴﻀﻠﻮﺍ ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﻭﻗﺪ ﺗﻮﻋﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺿﻞ ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻠﻪ، ﻭﺗﻨﺎﺳﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ، ﺑﺎﻟﻮﻋﻴﺪ ﺍﻷﻛﻴﺪ ﻭﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪ .

Ayat ini adalah wasiat dari Allah azza wajalla kepada para ulil amri (pemerintah) supaya memutuskan perkara diantara manusia dengan hak yang diturunkan oleh Allah SWT, dan supaya tidak menyimpang dari hak, sehingga mereka tersesat dari jalan-Nya. Dan Allah benar-benar telah mengancam orang yang tersesat dari jalan-Nya dan melupakan hari perhitungan dengan ancaman yang kuat dan siksa yang berat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/62-63, Maktabah Syamilah).

Jadi kalau nabi Daud as saja yang telah mengumpulkan nubuwwah dan khilafah telah diperintah dan diancam oleh Allah dengan siksa yang berat ketika menyimpang dari hak dan tersesat dari jalan-Nya, maka bagaimana dengan para khalifah yang bukan nabi, dan lebih bagaimana dengan para penguasa yang bukan khalifah, dan lebih-lebih bagaimana dengan para penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah dalam pemerintahannya?!

Keempat. Orang yang mengingkari janji Allah SWT.

ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﻔَﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮﻥَ .

Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Firman tersebut diawali dengan kata sifat “yang kafir” dan diakhiri dengan kata sifat “yang fasik”. Dan saya berasumsi bahwa ditengahnya terdapat kata sifat “yang zalim”. Karena semua yang kafir, yang zalim, dan yang fasik, adalah mereka yang tidak memutuskan perkara sesuai dengan hukum yang telah diturunkan Allah SWT.

Lebih tepatnya firman tersebut telah mengumpulkan tiga firman berikut yang juga diawali dengan kata “yang kafir” dan diakhiri dengan kata “yang fasik” bagi orang yang tidak memutuskan perkara sesuai hukum Allah:

ﻭَﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺤْﻜُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﺄُﻭْﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮُﻭْﻥَ .

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maaidah [5]: 44).

ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﻫُﻢُ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤُﻮْﻥَ .

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS al-Maaidah [5]: 45).

ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻜﻢ ﺑﻤﺎ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻔَﺎﺳِﻘُﻮْﻥَ .

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS al-Maaidah [5]: 47).

Faktanya juga membuktikan bahwa mereka yang selama ini selalu menolak formalisasi syariat Islam dengan berbagai dalih ngawur dan murahan produk hawa nafsu, mereka juga selalu menolak penegakkan negara Islam, apalagi negara Islam berbentuk khilafah. Jadi pada dasarnya mereka telah kafir terhadap janji Allah bahwa negara yang sudah dan akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh adalah negara Islam berbentuk khilafah, bukan negara Islam dengan bentuk yang lain.

Oleh karena itu, siapa saja di antara kaum Muslim yang merindukan tegaknya syariat Islam dalam kehidupan, masyarakat dan negara, maka hendaknya ia berjuang untuk menegakkan negara Islam. Dan siapa saja yang merindukan tegaknya syariat Islam melalui negara Islam, maka hendaklah ia berjuang untuk menegakkan negara Islam berbentuk khilafah. Karena negara Islam dan khilafah itu tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya laksana dua sisi mata uang. Dan khilafah yang dimaksud adalah khilafah rasyidah mahdiyyah, yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Wallahu a’lam. []


Oleh: Ustaz Abulwafa Romli
M.T. Darul Hijrah Pasuruan

Posting Komentar

0 Komentar