Mengatasi Stunting dengan Stop Rokok, Bisakah?


TintaSiyasi.com -- Pertumbuhan emas generasi faktor penting bagi jaminan keberlangsungan peradaban bangsa. Selain mengalami pandemi Covid-19 dunia anak juga terhimpit masalah stunting yang belum terpecahkan hingga saat ini. Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai. Apabila seorang anak memiliki tinggi badan lebih dari -2 standar deviasi median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO, maka ia dikatakan mengalami stunting (Mkumparan, 25/12/2020).

Masalah stunting di Indonesia adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, prevelensi stunting di Indonesia mencapai 27,7%. Artinya, sekitar satu dari empat anak balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting. Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%. Dalam upaya penanganan stunting di Indonesia, pemerintah sendiri sudah menargetkan Program Penurunan Stunting menjadi 14% pada tahun 2024 mendatang. Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono menyampaikan "Bahkan, seandainyapun sudah tercapai 14 persen, bukan berarti Indonesia sudah bebas stunting.." (Republika, 28/12/2021). 

Media massa online bulan Desember 2021 banyak mengulas turunnya prosentase stunting. Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6 persen per tahun dari 27.7 persen tahun 2019 menjadi 24,4 persen tahun 2021 (Rokom kemenkes, 27/12/2021). Tapi angka stunting masih terhitung tinggi. Karena daerah-daerah yang mengalami stunting dari 34 propinsi hanya 5 propinsi yang mengalami kenaikan. 

Pengamat Anak dan Generasi, dr Arum Harjati mengungkapkan “Hingga saat ini, cukai rokok masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan negara dari cukai, sebesar 96%. Tahun 2022 ini, Pemerintah bahkan memutuskan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12%,” ungkapnya, ia menambahkan bahwa ini jelas menunjukkan Pemerintah seolah lebih mengutamakan besarnya penerimaan negara dibandingkan kualitas generasi (MNews, 26/1/2022). 



Korelasi Konsumsi Rokok dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Data global menunjukkan prevalensi stunting Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 132 negara. Penelitian terbaru menunjukkan tingginya angka stunting di Indonesia disebabkan oleh rokok. Merokok dan paparan asap rokok saat hamil dapat menyebabkan anak mengalami stunting. Tingginya angka stunting di Indonesia sejalan dengan tingginya angka merokok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) bersama Imperial College London di Inggris, prevalensi perokok pasif dalam rumah tangga Indonesia mencapai 78,4 persen, lebih tinggi ketimbang China di angka 48,4 persen, Bangladesh 46,7 persen dan Thailand 46,7 persen (CNNIndonesia, 20/1/2022).

Hasil studi yang dilakukan Siti Rahayu N sebagai Ketua Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga terhadap 163 ibu hamil, berlanjut hingga bayi lahir dan berusia 6 bulan di DKI Jakarta tahun 2017–2019, juga mengungkap fakta bahwa 71,2 persen bayi tinggal dengan perokok. Dan ayah adalah kontributor utama paparan asap rokok terhadap bayi. Hasil studi tersebut tak berbeda jauh dengan studi oleh peneliti lain belasan tahun silam di mana prevalensi ayah perokok saat itu mencapai kisaran 73 persen dari ratusan ribu rumah tangga miskin perkotaan di Indonesia (Jawapos, 25/1/2022).

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) - Senin 25 Juni 2018 meluncurkan hasil penelitiannya yang membuktikan bahwa konsumsi rokok pada orang tua mengakibatkan anak stunting, di Jakarta. Kejadian yang paling banyak ditemui di keluarga miskin ini merupakan temuan yang mengejutkan dan penting untuk segera ditindaklanjuti. Perilaku merokok pada orangtua diperkirakan berpengaruh pada anak stunting melalui asap rokok. Orang tua perokok yang memberi efek langsung pada tumbuh kembang anak. Ketua Satuan Tugas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH, mengungkapkan “Asap rokok mengganggu penyerapan gizi pada anak, yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya".

Dalam penelitian ini diperlihatkan, konsumsi rokok sekitar 3,6% pada 1997 telah melonjak 5,6% pada 2014, sedangkan konsumsi lainnya menurun secara signifikan selama 1997-2014. Artinya, peningkatan konsumsi rokok sekitar dua persen telah digantikan oleh penurunan pengeluaran beras, protein, dan sumber lemak, serta pendidikan. Pengeluaran rumah tangga untuk daging dan ikan menurun sekitar 2,3 persen selama 1997 – 2014.  Padahal, seperti yang ditunjukkan dalam banyak penelitian, jenis pengeluaran ini akan sangat mempengaruhi perkembangan masa depan anak-anak dalam hal berat badan, tinggi badan, dan kemampuan kognitif. 

Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Muhammad Rizal M. Damanik menjelaskan rokok mengganggu nutrisi dari ibu ke janin. Meskipun ibu tidak merokok di masa kehamilan, paparan asap rokok yang berasal dari suami atau lingkungan sekitar menyebabkan ibu menjadi seorang perokok pasif. Perokok pasif berbahaya untuk janin karena bisa menyebabkan bayi lahir dalam kondisi meninggal, prematur, keguguran, dan berat badan lahir rendah (BBLR). "Bahkan, memiliki peluang 51 persen lebih tinggi bayi lahir lebih kecil daripada rata-rata," kata Damanik (CNNIndonesia, 20/1/2022). 

Ada berbagai mekanisme potensial terkait bagaimana paparan asap rokok memengaruhi pertumbuhan anak. Asap rokok berisi lebih dari 4.000 zat kimia yang beberapa di antaranya merupakan bahan karsinogenik utama yang dapat melintasi plasenta dan secara langsung memengaruhi pusat hipotalamus anak. Sehingga hal itu dapat mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan badan. Peneliti lainnya menyebutkan bahwa pertumbuhan panjang badan yang lebih rendah pada bayi yang terpapar asap rokok mungkin disebabkan kadmium dalam asap rokok, yang mengakibatkan hambatan pembentukan tulang dan memperlambat pertumbuhan panjang badan.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), DR (H.C). dr. Hasto Wardoyo, SpOG (K) mengatakan bahwa “Rokok itu toxic dan bisa mempengaruhi stunting dan mempengaruhi prenatal dan postnatal". Menurut Hasto “Paparan asap rokok meningkatkan risiko stunting pada anak berusia 25-59 bulan sebesar 13.49 kali. Selain itu, paparan asap rokok meningkatkan terjadinya ectopic pregnancy dan sudden infant death syndrome” (bkkbn.go.id, 29/7/2021).

Melihat berbagai pendapat di atas dan penelitian yang dilakukan terasa sekali bahaya asap rokok. Pada orang dewasa juga berpengaruh besar apalagi kepada janin dan anak. Menarik untuk dikaji lebih lanjut adanya ungkapan diatas "penelitian terbaru menunjukkan stunting disebabkan oleh rokok", benarkah? Meski tidak bisa dipungkiri adanya dampak buruk tapi benarkah stunting disebabkan oleh rokok? Apalagi jika dilihat angka bea cukai rokok yang 96% kepada negara. Ini angka yang tinggi untuk ukuran negara. Mengingat adanya sebutan "Indonesia sebagai syurga perokok". Tapi menjadikan rokok sebagai penyebab stunting jelas harusnya membawa langkah nyata jika memang tahun 2024 prosentase stunting Indonesia 14% ingin tercapai. 

Pernyataan yang keluar dari penelitian demi penelitian yang disebutkan di atas tampak menebalkan korelasi signifikan pada stunting yang tiada kunjung selesai. Terlebih lagi ketika rokok menjadi penyumbang devisa besar bagi negara ini. Secara kesehatan tidak memungkiri adanya dampak negatif rokok baik itu perokok aktif dan perokok pasif. Bahkan peringatan konsumsi rokok tertera dibungkus rokok dan berbagai baliho di penjuru jalan negara ini. Tapi hal itu tidak juga membuat perokok jera atau menilik ulang konsumsinya. Pelarangan itu bagaikan black marketing yang membawa tantangan tersendiri. Meski demikian untuk menjadikannya penyebab utama stunting membutuhkan perangkat bukti yang lain, bukan?


Menganalisa Penyebab Utama Stunting, Apakah hanya Rokok?

Stunting (tubuh pendek) pada balita merupakan kondisi gagal tumbuh akibat dari kekurangan gizi kronis baik pada saat berada dalam kandungan maupun setelah kelahiran (Zogara & Pantaleon, 2020). Berbagai dampak negatif timbul akibat stunting pada anak, seperti kognitif lemah dan psikomotor terhambat, kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olahraga, rentan terkena penyakit degeneratif (penyakit yang muncul seiring bertambahnya usia), dan sumber daya manusia yang berkualitas rendah (Dasman, 2019).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting adalah pendidikan ayah dan ibu, jumlah anggota keluarga, pengetahuan gizi ibu, dan asupan gizi (Zogara & Pantaleon, 2020). Namun menariknya, menurut P2PTM Kemenkes RI (2018) konsumsi rokok pada orang tua ternyata  juga diperkirakan dapat mempengaruhi kejadian stunting.

Sementara, dalam penelitian lain disebutkan tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi rokok orang tua dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di Yogyakarta di mana kejadian stunting lebih didominasi oleh faktor prenatal (Sari, 2017). Namun, hal ini lantas tidak boleh disepelekan bahwa rokok tidak akan memberi dampak pada anak. 

Stunting menurut WHO adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Menurut WHO, anak-anak dapat didefinisikan terkena stunting jika tinggi badan anak untuk rata-rata normal usianya lebih dari dua deviasi standar di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO atau jika tinggi badannya hanya sekitar 8,5-11,75 cm pada awal kehidupan, terutama pada 1000 hari atau sampai anak berusia dua tahun (mkumparan, 25/12/2020).

Stunting sendiri sebenarnya tak hanya terjadi karena rokok semata. Banyak faktor lainnya yang membuat seorang anak mengidap stunting. Mulai dari kekurangan gizi saat masa kehamilan dan 1000 hari pertama, faktor kebersihan seperti sanitasi yang bersih dan sehat, faktor literasi ibu, serta beragam faktor lainnya. Karena terkait ketersediaan makanan bergizi maka berpengaruh juga pendidikan orang tua dan kedekatannya dengan info fakes, kondisi pandemi seperti sekarang adanya pekerjaan kepala keluarga, tingkat stress keluarga dst (Tribunnews, 28/2/2020).

Pernyataan bahwa rokok adalah penyebab utama stunting jika melihat penelitian PKJS UI pada tahun 2018 yang akhirnya menjadi arah pandang penelitian tahun berikutnya hingga awal 2022 ini sebenarnya bisa dilihat dari daerah sampling itu diambil. Jakarta ada di kota besar dan ibukota negara sehingga kemajuan dan pemerataan kekayaan terbagi sesuai kelas sosial dan profesi. Obyek sampling juga mengklasifikasi keluarga miskin karena stunting yang pada dasarnya kekurangan gizi atau terkena gizi buruk diindikasi berasal dari keluarga miskin. Jadi rokok memang dapat menghantarkan pada stunting tapi salah satu faktor, utamanya adalah defiensi (kurang) gizi. 


Upaya yang Telah Dilakukan Pemerintah untuk Mengatasi dan Menanggulangi Stunting Anak

Stunting di negeri ini masih merupakan masalah yang belum terurai. Bahkan ketika Desember 2021 dikatakan prevalensinya turun apakah data valid ataukah ada gangguan teknis karena pandemi covid-19 masih berlangsung. Upaya yang perlu dilakukan dirumuskan para ahli. Sinteisa Sunarjo selaku Group Business Unit Head Woman Nutrition Kalbe Nutritionals mengatakan, kondisi kasus stunting yang memprihatinkan ini perlu penanganan intensif dan kolaboratif (Kompas, 19/5/2021).

Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) dengan dukungan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia melakukan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) (Republika, 28/12/2021). Hal ini dilakukan untuk memantau pendataan status gizi, meliputi stunting, wasting, overweight, severe acute malnutrition, serta faktor determinannya seperti pola makan, penyakit infeksi pada balita, perilaku imunisasi, sosial ekonomi, lingkungan, dan akses ke pelayanan kesehatan balita. Efektivitas pengisian data juga menjadi kunci keberhasilan yang harus dicapai. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG(K) mengatakan, "Stunting harus ditekan dari hulu ke hilir, mulai dari program edukasi hingga intervensi gizi untuk mencegah anak gagal tumbuh," ujarnya. Program edukasi penting agar anak tidak salah gizi. Selain itu, juga harus diperhatikan pengamatan terhadap kondisi gizi anak" (Kompas, 19/5/2021) 

Masalahnya, pandemi telah mengakibatkan kegiatan posyandu di banyak daerah terhenti. Padahal, selama ini posyandu berperan besar sebagai langkah awal pengawasan gizi anak. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang diwakili Direktur Bina Akses Pelayanan Keluarga Berencana BKKBN dr Zamhir Setiawan, M.Epid mengatakan bahwa program smart sharing yang dimulai pada April 2021 bertujuan memberikan edukasi seluas-luasnya kepada masyarakat (Kompas, 19/5/2021). Maksud dari program smart sharing ini adalah edukasi berbasis digital. Sehingga masyarakat luas bisa tetap diberikan pengetahuan untuk mengatasi stunting. Tapi yang mengakses hal ini tentu saja tetaplah masyarakat menengah ke atas dan melupakan grassroot yang mayoritas. Jangankan untuk membuka info-info digital, kuota untuk sekolah anak saat pandemi masih menuai masalah tak terurai meskipun ada kuota bantuan pendidikan.

Selain itu juga adanya penunjukan duta stunting di setiap daerah yang dipantau langsung oleh Kemenkes melalui puskesmas. Diharapkan keberadaan duta ini sebagai perpanjangan tangan edukasi dan pengawalan di masyarakat. Faktanya penunjukan duta konseling stunting ini juga tidak menyelesaikan masalah yang ada. Juga ketergantungan pemerintah dengan posyandu sebagai wadah edukasi dan perbaikan gizi masyarakat yang sempat terhenti karena pandemi. Penyuluhan dan supplai makanan bergizi oleh posyandu juga ditopang dengan dana minimalis. Terkadang di berbagai daerah itu dilakukan dengan dana swadaya pengurus posyandu atau masyarakat sekitar. 

Target capaian penurunan menjadi 14% pada tahun 2024 mungkinkah bisa dicapai hanya dengan studi demi studi. Penelitian demi penelitian lalu membuat gugus tugas untuk mengawal saja. Jika masalah stunting ini adalah masalah individual maka solusi sederhana bisa dilakukan misal pendampingan ahli gizi puskesmas ke masyarakat yang memiliki anak kecil dan pemberian supplemen terjangkau, tapi sampai kapan hal ini harus dilakukan?? 


Solusi Stunting Butuh Pemikiran Sistemik yang Terintegral

Masalah stunting yang seolah tak kunjung usai bagi bangsa ini adalah karena memang pada dasarnya solusi yang ditawarkan hanya menyentuh permukaan saja. Sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan, baik itu berupa rencana pembentukan badan khusus maupun dengan mendesak Undang-undang pembangunan keluarga, semua hanya retorika yang tak ada wujudnya bagi penyelesaian kasus stunting (Tintasiyasi, 18/1/2022). 

Penelitian demi penelitian pun seolah sebagai dalil pengalih dari akar masalah stunting yaitu kemiskinan sistemik dan ketidakpedulian pemerintah pada kualitas generasi. Bagaimana mungkin asap rokok yang notabene sebagai salah satu faktor yang ada, jika ayah perokok atau ibu dan bayi terpapar rokok. Faktanya berapa persen perokok memiliki anak stunting itu hanya permainan pengambilan sampling. Karena adanya penelitian PKJS UI maka sampling keluarga miskin dengan perokok menjadi prioritas target. Lalu bagaimana jika tidak masuk kriteria perokok, tampaknya target penelitian belum menyentuh mereka.

Padahal jika diamati dengan teliti stunting terjadi karena kekurangan gizi, baik prenatal maupun post natal (sebelum atau setelah dilahirkan bayi). Dan akses gizi di negeri ini kemans keberpihakan tersebut? Bahkan untuk ketahanan pangan yaitu ketersediaan tempe, para pembuat tempe bergulat mana kedelai import dan lokal. Untuk menyuport keluarga miskin dengan pembelian berapapun harga telur akan dibeli membuat harga telur melambung tak terkendali nyaris diatas 30.000. Bukankah terlihat bagaimana kebijakan tidak serius negeri ini bahkan untuk menjamin gizi anak-anak negeri. Malah sempat menetapkan cukai rokok daripada menjamin ketersediaan minyak dengan distribusi tanpa merugikan rakyat bawah yang rugi dengan pemangkasan harga minyak 14.000 rupiah.

Inilah salah satu watak kebijakan yang berdasarkan kepada kapitalisme yang mengutamakan berjalannya kegiatan ekonomi, menguntungkan para pengusaha, namun melalaikan keselamatan dan kualitas generasi. Kapitalisme berbeda berbeda dengan Islam. Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan setiap individu rakyat, termasuk balita, agar tumbuh kembangnya sempurna dan kebutuhan gizinya tercukupi sehingga terhindar dari stunting. Salah satunya adalah pengadaan dana dengan mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara, yang saat ini justru dikelola oleh asing dan hasilnya juga dikuasai oleh asing.

Dana tetaplah menjadi masalah yang harus terpecahkan. Karena kebijakan penyelesaian stunting ini pada dasarnya butuh support dana besar, bukan hanya untuk penelitian dan pembentukan gugus tugas tapi untuk menyupport masyarakat miskin dengan ketersediaan pangan yang memadai. 


Kesimpulan

Penggunaan rokok yang mengakibatkan terpaparnya ibu, anak dan bayi memiliki korelasi positif dengan stunting karena dampak negatif bahan yang terkandung dalam rokok itu sendiri.

Penyebab stunting sejatinya bukan hanya rokok yang diduga mampu menjadi penghalang aliran gizi dalam tubuh anak tapi adalah kekurangan pasokan gizi yang diterima baik pre maupun post natal. Maka ini terkait dengan kondisi ekonomi keluarga dan ketersediaan pangan yang dimiliki.

Upaya pemerintah dengan membentuk gugus tugas, pengukuran digital dan edukasi yang saat ini bertumpu pada duta stunting dan posyandu pada dasarnya kurang efektif untuk menyelesaikan masalah stunting. Jika bicara SSGI saja maka hal ini juga tergantung pada sumber data terakses.

Masalah stunting yang itu berkaitan dengan ketersediaan gizi dan pasokan konsumsi gizi anak pre dan post natal seharusnya tidak akan selesai dengan pendampingan dan penyuluhan. Karena kunci utama program pengentasan stunting ini kembali pada kondisi ekonomi keluarga yang saat ini morat marit dengan atau tanpa pandemi. Juga ketersediaan pangan bergizi yang harganya bahkan membuat masyarakat miskin berat mengetatkan ikat pinggang. Hanya dengan pengaturan serius sebagaimana sistem Islamlah stunting teratasi dengan sempurna. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Retno Asri Titisari
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Referensi:
- https://kabar.muslimahnews.net/2022/01/26/229/
- https://www.jawapos.com/opini/25/01/2022/stunting-dalam-kepulan-asap-rokok/?amp
- https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220120170704-255-749226/merokok-dan-paparan-asap-rokok-saat-hamil-bisa-buat-anak-stunting/amp
- https://www.bkkbn.go.id/detailpost/cegah-stunting-bisa-dimulai-dari-rumah-tanpa-asap-rokok
- http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/konsumsi-rokok-akibatkan-anak-stunting
- https://www.topswara.com/2022/01/zero-stunting-di-tengah-kesulitan.html?m=1
- https://www.tintasiyasi.com/2022/01/stunting-masalah-sistemik-yang-makin.html?m=1
- https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/19/090300723/kasus-stunting-terbanyak-indonesia-tempati-urutan-keempat-dunia?page=all#page2
- https://yoursay.suara.com/amp/health/2020/08/03/101559/benarkah-rokok-mempengaruhi-kejadian-stunting
- Dasman, H. (2019, Januari 22). Kesehatan: Empat dampak stunting bagi anak dan negara Indonesia. Retrieved from The Conversation: https://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104
- Sari, S. P. (2017). Konsumsi Rokok dan Tinggi Badan Orang Tua sebagai Faktor Risiko Stunting Anak Usia 6-24 Bulan di Perkotaan. Ilmu Gizi Indonesia, 1-9.
- P2PTM Kemenkes RI. (2018, Juni 25). Konsumsi Rokok Akibatkan Anak Stunting. Retrieved from Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: https://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/konsumsi-rokok-akibatkan-anak-stunting
- Zogara, A. U., & Pantaleon, M. G. (2020). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 85-92

Posting Komentar

0 Komentar