Mencandra Polemik Lahan di Wadas: Warga versus Pemerintah, Adakah Titik Temu yang Mendamaikan?


TintaSiyasi.com -- Viral! Tagar #WadasMelawan menduduki puncak trending topic di Twitter, Selasa, 8 Februari 2022. Selain itu ada tagar lain seperti, #WadasRaDidol, #WadasMemanggil, #StopPengukuranDiWadas, #StopAparatMasukDesa. Twitter panas karena unggahan video-video pendek terkait datangnya aparat ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Dalam unggahan video yang viral, aparat terlihat mengepung warga yang ada di masjid dan mencopot spanduk penolakan Bendungan Bener. Beberapa warga juga ada yang ditangkap. Dilansir dari CNN Indonesia (8/2/2022), ada 60 warga yang ditangkap oleh aparat dalam kejadian hari ini.

Kedatangan aparat kepolisian ke Desa Wadas, Jawa Tengah, pada Selasa (8/2) pagi, bermula untuk mengawal pengukuran tanah untuk kepentingan proyek dan berakhir konflik serta penangkapan sejumlah warga. Di desa tersebut, aparat kepolisian dilaporkan melakukan pengukuran hutan terkait rencana penambangan batu andesit pada proyek Bendungan Bener.

Kendati demikian, sejumlah aparat justru dikabarkan melakukan penyisiran desa (sweeping) dan menurunkan banner penolakan warga atas tambang batu andesit. Selain itu, aparat juga mengejar beberapa warga Wadas, melakukan penangkapan, serta mengepung sejumlah rumah warga dan juga kawasan masjid.

Sementara itu YLBHI mengatakan internet di Wadas sempat down. Sehingga, warga warga kesulitan untuk mengabarkan kondisi di sana. "Kondisi saat ini, internet di Wadas juga sedang down, sehingga menyulitkan untuk berkabar melalui sosial media. Selain itu ribuan aparat sudah berkumpul di lapangan belakang Polsek Bener, bersenjata lengkap dengan tameng beserta anjing," kata YLBHI dalam twitter @YayasanLBHIndonesia, Selasa (8/2). CNNIndonesia.com sudah diizinkan mengutip. Warga Desa Wadas kemudian meneriakkan 'Alerta' atau alarm genting usai diserbu polisi. Alarm genting tersebut disuarakan lewat media sosial sejak Selasa (8/2) dini hari.

Kejadian tersebut telah menghebohkan jagat Twitter, dari akun Twitter Greenpeace, JATAM, Wadas Melawan, dan warganet ramai-ramai menaikkan tagar #WadasMelawan hal itu ditengarai menolak rencana pemerintah untuk proyek pembangunan bendungan yang dilakukan pemerintah menggunakan batuan andesit. Batuan tersebut ada banyak di Wadas.

Mencandra Polemik Warga Wadas Bergejolak Melawan Proyek yang Akan Dilakukan Pemerintah

Sebenarnya polemik tersebut bermula sejak tahun 2016. Proyek Bendungan Bener adalah salah satu proyek strategis nasional yang telah di tetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018. Proyek tersebut akan berdiri di atas lokasi 2 Kabupaten (Purworejo dan Wonosobo), 3 Kecamatan (Bener, Kepil, dan Gebang), 11 Desa (Guntur, Nglaris, Limbangan, Karangsari, Kedung Loteng, Wadas, Bener, Kemiri, Burat, Gadingrejo, dan Bener).

Tapi, jalannya wacana hingga proyek tersebut tidak semulus yang direncanakan. Warga Wadas menolak proyek yang dicanangkan pemerintah tersebut. Pertama, karena proyek tersebut tidak sesuai amanaj konsitusi. LBH Yogyakarta (25/1/2019) mengatakan, pada prosesnya proyek Bendungan Bener yang memiliki investasi proyek kurang lebih 4 triliun rupiah dari APBN nyatanya berjalan tidak sesuai dengan amanah konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta mengalami penolakan khususnya di daerah  Desa Wadas.

Kedua, warga menolak pembangunan wilayah quary di Wadas. Quary adalah wilayah yang akan di ambil tanahnya untuk mambangun bendungan. Desa Wadas memiliki masyarakat yang membentuk paguyuban yang bernama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas atau disingkat dengan Gempa Dewa menolak rencana pembangunan wilayah quary, karena mereka tidak dilibatkan ketika menyusun AMDAL. Padahal Desa Wadas adalah salah satu desa yang terkena dampak dengan adanya pembangunan bendungan tersebut. Luas wilayah yang bakal di ambil batu andesit untuk pembangunan bendungan sekitar 145 hektar yang di miliki lebih dari 500 pemilik.

Ketiga, masyarakat Wadas menganggap rencana pemerintah tersebut merenggut mata pencaharian mereka sebagai petani. Masyarakat Desa Wadas, kurang lebih 95 persen adalah petani yang masih sangat bergantung pada tanah. Di atas lahan yang mereka miliki sekarang telah tumbuh berbagai tanaman perdagangan seperti durian, karet, aren, rempah-rempah, umbi-umbian, kayu keras dan berbagai tumbuhan lainnya yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama.

Pengambilan lahan pertanian, meskipun dengan sistem ganti rugi akan berdampak kemiskinan warga dalam masa mendatang. Pemerintah hanya mengganti uang, lantas bagaimana mata pencaharian para petani yang direnggut? Seharusnya jika memang niat mengganti, bukan hanya uang, terapi juga mata pencaharian baru yang bisa menghidupi mereka selanjutnya. Lumrah jika mereka menolak, karena yang diminta adalah tanah aktif yang selama ini mereka gunakan untuk mengais rezeki. 

Keempat, pemerintah Jawa Tengah dianggap lalai karena mengabaikan aspirasi warga yang akan diambil lahannya untuk proyek tersebut. LBH Yogyakarta mengatakan, pemerintah Jawa Tengah dalam hal ini telah lalai dalam mengeluarkan izin lingkungan karena tidak melibatkan warga. Pemerintah pun telah lalai karena tidak menggambarkan secara terang benderang bagaimana dampak yang timbul akibat pengambilan quary tersebut, serta tidak melihat secara objektif dan mempertimbangkan tingkat pendidikan dan kebiasaan masyarakat Desa Wadas.

LBH Yogyakarta menjelaskan, pemerintah sama sekali tidak memberikan sosialisasi kepada Warga Wadas yang akan terkena dampak dari quary. Padahal seharusnya, rencana kegiatan tidak mengganggu nilai-nilai masyarakat sosial terutama masyarakat yang terkena dampak, rencana kegiatan tidak mengganggu elektifitas ekologis, rencana kegiatan tidak mengganggu kegiatan sejenis yang ada disekitar, tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Fakta di atas dianggap LBH Yogyakarta telah bertentangan dengan Undang-UndangNo 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Permen Lingkungan Hidup nomor 17 tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan izin lingkungan.

Oleh karena itu, pertama, warga Wadas mendesak pemerintah mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 tentang Izin Penetapan Lokasi Bendungan. Kedua, mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/20 Tahun 2018 tentang Izin Lingkungan Rencana Pembangunan Bener. Ketiga, menolak segala bentuk eksploitasi alam terkhusus di Desa Wadas. Keempat, menolak segala bentuk Intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terkhusus warga masyarakat Desa Wadas.

Dampak Proyek Penambangan dan Pembangunan Bendungan Bener, jika Tetap Dijalankan

Sudah menjadi rahasia umum, pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan korporasi merugikan rakyat dan berpotensi besar merusak lingkungan. Asas kapitalisme yaitu dengan modal sekecil-kecilnya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sering melalaikan para pemilik modal untuk memenuhi tanggung jawabnya menjaga lingkungan. Inilah yang menjadi kekhawatiran bersama dan yang mendasari para aktivis lingkungan untuk terus bersuara.

Menyingkap dampak jika rencana pemerintah membangun bendungan di Wadas dengan membuka tambang andesit di sana sebagai berikut. Pertama, berpotensi menguntungkan pihak korporasi yang kemungkinan akan dipilih menjalankan proyek tersebut. Menjadi tanda tanya besar, mengapa proyek ini begitu digetolkan oleh pemerintah? Selain itu, kebiasaan kerjasama pemerintah dengan pihak swasta ini dikhawatirkan adanya kongsi-kongsi yang menguntungkan segelintir golongan tanpa memikirkan kepentingan warga sekitar.

Kedua, penambangan dan pembangunan yang direncanakan pemerintah dikhawatirkan menghilangkan mata pencaharian warga setempat. Sekalipun pemerintah akan mengganti kerugian warga, tapi untuk mendapatkan pengganti lahan yang sepadan dan bisa digunakan mata pencaharian tak semudah itu. Apalagi kondisi ekonomi sedang lesu, belum tentu uang yang digantikan oleh pemerintah kepada warga Wadas yang dibeli lahannya mendapatkan ganti yang sesuai.  

Ketiga, pembangunan tambang yang direncanakan untuk membangun Bendungan Bener dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Memang pemerintah akan mengambil alih pengelolaan tanah, tapi fakta yang ditemui, pengelolaan tersebut biasanya akan bekerja sama dengan para pemilik modal (kapitalis). Walhasil pengelolaan dikhawatirkan merusak lingkungan di Wadas. Sudah banyak fakta yang diungkap oleh Walhi, Greenpeace, Jatam, atau LSM-LSM yang bergerak di bidang lingkungan. Yakni, kerusakan alam yang diakibatkan oleh tangan-tangan korporasi yang tidak bertanggung jawab. Mereka dengan bebas dan semaunya mengeruk sumber daya alam, tetapi mereka sering abai dengan analisis dampak lingkungan (amdal). Inilah yang diresahkan warga dan banyak LSM yang bergerak di lingkungan.

Keempat, melukai hati rakyat. Sikap yang dilakukan aparat terkesan terlalu intimidatif. Amnesty International Indonesia (AII) menilai pengerahan pasukan aparat bersenjata lengkap dalam rangka pengukuran lahan untuk proyek Bendungan Bener sebagai bentuk intimidasi terhadap warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Begitu pun Walhi menganggap sikap aparat juga tidak humanis. Komnas HAM pun meminta agar proses pengukuran di Wadas yang ditolak warga ditunda.

Sebagai negara yang mengurusi urusan umat, seharusnya lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan. Dengan wajah sistem kapitalisme sekuler yang kebijakan banyak diputuskan berdasarkan bisikan-bisikan oligarki, bagaimana mungkin proyek tersebut menguntungkan rakyat? Apalagi banyaknya bencana alam, banjir, tanah longsor, dan sebagainya akibat ulah tangan manusia juga terjadi di mana-mana. Banjir bukan karena curah hujan tinggi, tapi karena lahan banyak yang diubah bangunan dan kehilangan resapan alami. Walaupun dalih mereka akan membuat bendungan. Tapi, aktivitas penambangan yang kurang bertanggung jawab dikhawatirkan membuat lingkungan rusak parah.

Strategi Islam dalam Menyikapi Polemik Sengketa Lahan antara Negara dan Umat

Cacat pengelolaan lahan dalam sistem kapitalisme adalah tidak adanya pengaturan kepemilikan. Sebagaimana apa saja yang boleh dimiliki secara pribadi dan mana saja yang wajib dan harus menjadi kepemilikan umum. Sehingga, menjadi lumrah, gontok-gontokan, eker-ekeran masalah lahan selalu dimenangkan oleh mereka para pemilik kuasa dan modal. Sedangkan hak milik rakyat sering ditindas atas nama kebijakan yang telah diketok palu.

Pemerintah dianggap tidak mendengar pendapat rakyat, ketika lebih memihak korporasi dalam menjalankan proyek-proyek tersebut. Selain itu, ganti rugi kepada rakyat terkadang tidak mampu menyelesaikan akar masalah yang dikhawatirkan rakyat. Berbeda dalam pandangan Islam. Dalam Islam ada pengaturan kepemilikan. Ada hal-hal yang harus dikuasai negara untuk digunakan kemaslahatan umat.

Karena, tanah sebagai bagian dari kehidupan kaum Muslim menyimpan berbagai potensi sekaligus berimplikasi pada hukum syarak. Tanah bisa menjadi sarana bercocok tanam seperti tanah di persawahan dan perkebunan. Tanah pun jika digali potensinya banyak yang mengandung potensi sumber daya alam karena kandungan mineral, batu bara dan gas alamnya. Pada bahasan yang akhir inilah tepat seperti potensi yang ada di wilayah Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah yang menjadi wilayah konflik agraria yang panas saat ini.

Tanah secara tinjuan hukum syarak bisa menjadi hak kepemilikan pribadi. Pemiliknya bisa mentashorufkan untuk berbagai keperluan. Bisa ditanami atau dibuat bangunan di atasnya. Terkhusus untuk jenis tanah pertanian, maka Islam memandang bahwa tanah harus dikelola oleh pemiliknya dengan ditanami sendiri. Jika tanah tersebut dibiarkan terbengkalai selama 3 tahun berturut-turut, maka negara (khilafah) berhak untuk mengambil kepemilikan atasnya. 

Tanah pertanian pun tidak boleh disewakan oleh pemiliknya kepada orang lain. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Nidhom Iqtishodi fil Islam. Adapun tanah yang di dalamnya mengandung sumber daya alam, maka negara bisa memilikinya atau mengubah statusnya menjadi barang kepemilikan umat dengan membeli tanah tersebut dari pemilik sebelumnya.

Namun, perlu dicermati bahwa tatkala berubah menjadi tanah pertambangan, maka tanah pertambangan tersebut menjadi barang milik umat (milkiyah ummat), wajib dikelola negara dan haram diserahkan konsesinya ke swasta bahkan asing.

Dalam Islam jika ada konflik antara rakyat dan negara, ada Mahkamah Mazalim yang menyelesaikannya. Hanya saja konflik di Wadas jika diselesaikan dengan Islam ada beberapa poin. Pertama, sebagaimana soal tanah di Wadas, sebenarnya yang dibutuhkan warga Wadas bukan hanya soal ganti rugi pembelian tanah, tetapi juga mata pencaharian yang hilang akibat tanahnya dibeli negara. Oleh karena itu, dalam Islam, jika hal itu terjadi. Pemerintah harus memberikan pemahaman, tanah yang semula halal dikelola pribadi dan ternyata ditemukan barang tambang atau sumber daya alam atau energi harus dikembalikan kepada negara untuk dikelola demi kemaslahatan umat.

Kedua, jika tanah sebagai mata pencaharian warga, negara dalam pandangan Islam wajib menggantinya dengan memberi lahan untuk bercocok tanam lagi. Karena mereka sudah terbiasa bekerja demikian. Ketiga, dalam pengelolaan sumber daya alam, negara tidak boleh merusak lingkungan dan meminimalisir mudarat yang terjadi dalam pengelolaan tersebut. Tetap mengedepankan kemaslahatan umat, bukan untung rugi seperti yang ada dalam sistem kapitalisme sekuler.

Sudah saatnya pemerintah mendengar dan mau menerapkan sistem Islam, karena dengan Islam tidak hanya umat yang mendapatkan maslahat, tapi makhluk hidup lainnya, baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan, dan alam mendapatkan kebermanfaatannya. Apabila manusia abai terhadap hukum-hukum Islam, wajar yang terjadi ada kerusakan baik di darat, laut, dan udara.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Warga Wadas mendesak pemerintah mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41/2018 tentang Izin Penetapan Lokasi Bendungan. Kedua, mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/20 Tahun 2018 tentang Izin Lingkungan Rencana Pembangunan Bener. Ketiga, menolak segala bentuk eksploitasi alam terkhusus di Desa Wadas. Keempat, menolak segala bentuk Intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terkhusus warga masyarakat Desa Wadas.

Kedua. Dampak yang ditimbulkan oleh pengaturan sistem kapitalisme sekuler membuat keuntungan dan kemaslahatan hanya berputar pada rantai oligarki dan korporasi. Hal inilah yang dikhawatirkan karena mengakibatkan, mata pencaharian warga hilang dan rusaknya lingkungan. Rusaknya lingkungan ini mengundang bencana yang datang tan diundang.

Ketiga. Dalam Islam, ada pengaturan kepemilikan individu dan umum. Terkait lahan pertanian jika mengandung barang tambang, memang akan dikelola pemerintah, hanya saja tetap ganti rugi yang diberikan tidak hanya soal uang, tetapi mata pencaharian yang hilang. Selain itu, haram hukumnya menyerahkan kepemilikan umum untuk dikelola dengan swasta maupun asing.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice dan 4.0 Dosol Uniol Diponorogo

MATERI KULIAH ONLINE
UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 9 Februari 2021
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar