Apa yang Dimaksud dengan Zat Allah?


TintaSiyasi.com -- Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Syaikhuna dan amiruna al-‘alim al-jalil semoga Allah menjaga dan memelihara Anda, melimpahkan nikmat sehat dan afiat kepada Anda serta membukakan melalui kedua tangan Anda kemenangan dan peneguhan kekuasaan.

Pertanyaan: kita katakan di Nizham al-Islâm dalam topik Tharîq al-Îmân: “sesungguhnya Zat Allah berada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan”, apa makna ucapan ini?! Dan apakah Allah SWT memiliki zat, apa makna kata dzât dan apa hukum orang yang mengingkari keberadaannya dan cukup dengan ucapan “saya beriman kepada Allah dan sifat-sifatnya tanpa meyakini bahwa Allah punya zat” (Ummu Salma al-‘Amiriy – al-Yaman).


Jawab:

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. 

Di awal, semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami. Dan kami mendoakan kebaikan untuk Anda. Dan berikut jawaban untuk Anda:

Saya ulangi teks yang darinya dikutip kalimat yang ditanyakan dari kitab Nizhâm al-Islâm halaman 10, yaitu:

[Meski wajibnya penggunaan akal oleh manusia dalam sampai kepada keimanan kepada Allah SWT maka tidak mungkin mengindera apa yang berada di atas penginderaan dan di atas akalnya. Hal itu karena akal manusia itu betapapun meningkat dan tumbuh adalah terbatas dan kekuatannya terbatas dengan batas-batas yang tidak dapat dilampauinya. Oleh karena itu, akal manusia itu terbatas pikirannya. Dari sini maka akal harus dibatasi tanpa memikirkan zat Allah dan bahwa akal tidak mampu memahami hakikat zat Allah. Sebab Allah itu berada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan. Akal pada manusia tidak mampu memahami hakikat apa yang ada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan. Oleh karena itu, maka akal tidak mampu memahami zat Allah. Di sini tidak dikatakan: bagaimana manusia mengimani Allah secara akal padahal akalnya tidak mampu memahami Zat Allah? Sebab keimanan itu tidak lain adalah keimanan kepada eksistensi Allah, dan eksistensi Allah itu dapat diindera dari eksistensi makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Makhluk-makhluk ini masuk dalam batas-batas yang dapat diindera maka akal dapat menginderanya. Dan dari penginderaan terhadap makhluk itu, akal dapat mengindera eksistensi Pencipta makhluk-makhluk itu, yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, keimanan kepada eksistensi Allah itu secara akal dan berada dalam batas-batas akal. Berbeda dengan penginderaan zat Allah, maka itu mustahil. Sebab Zat Allah berada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, jadi berada di belakang akal. Dan akal tidak mungkin mengindera hakikat apa yang berada di balik akal dikarenakan kekurangan akal dari penginderaan ini. Kekurangan ini sendiri wajib merupakan bagian dari pilar-pilar keimanan ...].

Dan untuk menjelaskan makna zat Allah (dzâtullâh) maka sebelum menjawab, saya jelaskan bagaimana memahami madlûl (makna) lafal:

Pertama: dalam mengetahui madlûl lafal adalah bersandar kepada makna secara bahasa yakni al-haqîqah (secara bahasa -al-haqîqah al-lughawiyah- kemudian ‘urf –al-haqîqah ‘urfiyah- baik apakah pada orang arab secara umum atau secara khusus -al-ishthilâh-). Dan jika makna hakikat itu terhalang maka disengaja kepada majaz. Dan dengan menelusuri makna-makna berkaitan untuk makna dzât maka menjadi jelas hal berikut:

Pertama- Makna secara bahasa -al-ma’nâ al-lughawiy-:

a- Di dalam Mukhtâr ash-Shihâh halaman 109 karya Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir ar-Razi (w. 660 H) dinyatakan: [dzû dengan makna pemilik, dan tidak ada kecuali dalam bentuk disandarkan -mudhâf-. Jika dengannya Anda mensifati nakirah, Anda sandarkan (idhâfahkan) kepada nakirah. Dan jika dengannya Anda mensifati makrifat maka Anda sandarkan (idhâfahkan) kepada alif dan lam.  Dan tidak boleh diidhafahkan kepada mudhmar dan tidak pula kepada Zaid dan semacamnya. Anda katakan marartu birajulin dzî mâlin wa bi imra`atin dzâti mâlin wa bi rajulayn dzaway mâlin dengan fathah wawu -saya melewati seorang laki-laki pemilik harta dan melewati seorang wanita pemilik harta dan melewati dua orang laki-laki yang memiliki harta-. Allah SWT berfirman:

﴿وأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ﴾...

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (TQS ath-Thalaq [65]: 2).

Dan adapun ucapan mereka dzâta marratin wa dzâ shabâhin -suatu kali dan suatu pagi- maka itu merupakan zharaf zaman ..]. Begitulah, kata dzâ dalam bahasa tidak datang diidhafahkan kepada isim ‘alam, jadi tidak dikatakan dzâtu zayd, misalnya. Tetapi mungkin dikatakan dzû Zayd dan maknanya hadzâ Zayd -Zaid ini- sebagaimana yang ada di Lisân al-‘Arab: [ucapannya “dan idhafah kepadanya dzawway. Demikian pada asal dan ungkapan ash-Shahâh seandainya dinisbatkan kepadanya niscaya saya katakan dzawawiyy semisal ‘ashawiy ...). Ahmad bin Ibrahim gurunya Tsa’lab meriwayatkan dari orang arab “hadzâ dzû zayd” dan maknanya hadzâ zayd, yakni ini pemilik nama ini yang dia adalah Zayd ...].

b- Kata dzâta datang dengan makna min ajli (karena): dinyatakan di Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî: [... al-Baihaqi menjelaskan di dalam al-Asmâ` wa ash-Shifât apa yang ada tentang adz-dzât ... Dan hadis Abu ad-Darda’ “lâ tafqahu kulla al-fiqhi hattâ tamquta an-nâsa fî dzâtillâh -kamu tidak memahami semua fikih sampai kamu bisa membungkam manusia tentang zat Allah-, dan para perawinya tsiqah, hanya saja munqathi’ dan lafal dzât dalam hadis-hadis yang disebutkan itu dengan makna min ajli (karena) atau dengan makna haqq dan contohnya ucapan Hassan: wa inna akhâ al-ahqâfi idz qâma fîhim yujâhidu fî dzâti al-ilahi wa ya’dilu ... -dan sungguh saudara al-ahqaf jika dia berdiri di tengah mereka, dia bersunggu-sungguh karena Allah dan berlaku adil- ... ]. Kata dzât dalam ucapan Hassan yakni li ajlillâh (karena Allah) atau min ajlillâh (karena Allah).

c- Dan kata dzât datang dengan makna jihatu (arah/aspek) atau jânib (sisi) sebagaimana di dalam berbagai at-tafsir:
- Tafsîr ath-Thabarî (w. 310 H) dari kitabnya Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl ayyi al-Qur`ân.
[Dan firman Allah SWT:
﴿وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ﴾ [الكهف: 18]
“Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri” (TQS al-Kahfi [18]: 18).
Allah berfirman: dan kami bolak-balikkan para pemuda itu dalam tidur mereka sekali untuk sisi kanan dan sekali untuk sisi kiri...].
- Kitab at-Tahrîr wa at-Tanwîr “Tahrîr al-Ma’nâ as-Sadîd wa Tanwîr al-‘Aqli al-Jadîd min Tafsîr al-Kitâb al-Majîd” karya Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahir bin ‘Asyur at-Tunisi (w. 1393 H):
(Ada dalam ucapan mereka menyandarakan kepada jihât (arah) dan kepada az-zamân (waktu) dan yang lainnya, mereka berlakukan seperti ash-shifat untuk mawshûf (yang disifati) ditunjukkan oleh konteks, seperti firman Allah SWT:

﴿وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ﴾ [الكهف: 18]

“Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri” (TQS al-Kahfi [18]: 18).
Terhadap takwil jihatu (sisi)...).

d- Kata dzât datang dengan makna thâ’atullâh: al-Hakim meriwayatkan di al-Mustadrak: dari Sulaiman bin Muhammad bin Ka’ab bin ‘Ujrah dari Zainab binti Abiy Sa’id dari Abu Sa’id al-Khudzri ra, ia berkata: orang-orang mengadukan Ali bin Abiy Thalib kepada Rasulullah saw, lalu Nabi saw berdiri di tengah kami dan berpidato maka aku mendengar beliau bersabda:

أَيُّهَا النَّاسَ لَا تَشْكُوْ عَلِيًّا فَوَاللهِ إِنَّهُ لَأَخْشَنُ فِيْ ذَاتِ اللهِ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ

"Wahai orang-orang jangan mengeluhkan Ali, sebab demi Allah sungguh dia sangat keras dalam ketaatan kepada Allah dan di jalan Allah”.

Ini adalah hadis shahih al-isnâd meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya ... Komentar al-hafizh adz-Dzahabi di at-Talkhîsh: shahih.
Dan jelas dari makna-makna secara bahasa bahwa makna-makna itu tidak sesuai (berlaku) terhadap topik-topik yang disebutkan di dalam teks Nizhâm al-Islâm yang disebutkan di pertanyaan. Dan haqiqah ‘urfiyah menurut orang arab berkaitan untuk kata ini hampir tidak jauh darinya. Dan dengan begitu, disengaja ke al-haqîqah al-‘urfiyah al-khashshah yakni al-ishthilâh (istilah) ...

Kedua- Makna istilah: sungguh dengan penelaahan perkara ini menjadi jelas bahwa makna istilah sesuai (berlaku) di sini. Kata dzât secara istilah bermakna an-nafsu “merupakan makna al-haqiqah -maksudnya bukan majaz-”:

a- Al-Bukhari menggunakannya dengan makna ini ... Al-Bukhari di dalam Shahîhnya membuat bab yang ia namai Bâb mâ yudzkaru fî adz-dzâti wa an-nu’ût wa asâmîllâh ... Dinyatakan dalam bab ini di Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî karya Ibnu Hajar sebagai berikut:

[Fathu al-Bârî (ucapan al-Bukhari “Bâb mâ yudzkaru fî adz-dzâti wa an-nu’ût wa asâmîllâh yakni apa yang disebutkan tentang dzat Allah dan sifat-sifatnya berupa pembolehan pemutlakan itu seperti nama-nama Allah atau penghalangannya karena tidak adanya pernyataan nas dengannya. Adapun adz-dzât maka ar-Raghib mengatakan: itu adalah bentuk muanats dari dzû dan itu adalah kata yang dengannya sampai (mengantarkan) kepada sifat dengan nama-nama jenis dan kategori dan diidhafahkan kepada zhahir tanpa al-mudhmar dan dibentuk mutsanna dan jamak dan tidak digunakan sesuatu darinya kecuali diidhafahkan dan mereka meminjam lafal adz-dzât untuk zat sesuatu dan mereka gunakan secara mufrad (tunggal) dan diidhafahkan dan mereka memasukkan terhadapnya alif dan lam dan mereka memperlakukannya seperti an-nafsu (diri) dan al-khâshah dan hal itu bukan dari ucapan orang arab), selesai.

‘Iyadh mengatakan (dzâtu asy-syay`i nafsuhu wa haqîqatuhu -zat sesuatu adalah dirinya dan hakikatnya- dan ahli kalam menggunakan kata adz-dzât dengan alif dan lam, dan banyak ahli nahwu menilai mereka rancu dan sebagian ahli nahwu memperbolehkannya karena itu dinyatakan dengan makna an-nafsu wa haqîqatu asy-syay`i -diri dan hakikat sesuatu- ...).

b- Perlu diketahui bahwa apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar tentang ucapan para fukaha di atas (ar-Raghib, Iyadh) adalah disebutkan di kitab-kitab mereka sebagai berikut:

- Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân karya al-Qasim al-Husain bin Muhammad yang dikenal dengan ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H):
(dzû menurut dua aspek: digunakan untuk sampai ke sifat dengan isim jenis dan kategori (asmâ`u al-ajnâs wa al-anwâ’). Dan diidhafahkan kepada azh-zhâhir tanpa kepada al-mudhmar, para ahlu al-ma’ânî meminjam kata adz-dzât dan menjadikannya ungkapan tentang zat sesuatu, baik berupa substansi atau aksiden, dan mereka menggunakannya secara mufrad dan diidhafahkan kepada al-mudhmâr dengan al-alîf dan al-lâm, dan mereka memperlakukannya seperti an-nafsu wa al-khâshah, mereka mengatakan: dzâtuhu, nafsuhu wa khâshshatuhu -dirinya dan kekhususannya- dan hal itu bukan dari ucapan orang arab ... dan yang kedua dalam lafal dzû: bahasa Thayyi`, mereka menggunakannya seperti penggunaan al-ladzî, dan digunakan dalam rafa’, nashab dan jar, jamak, dan muannats menurut lafal satu (wâhid), semisal: wa bi`rî dzû hafratin wa dzû thawîtin yakni al-latî hufirat (yang digali) wa al-latî thuwiyat (yang ditimbun)...).
- Kitab Masyâriq al-Anwâr ‘alâ Shahâh al-Âtsâr karya al-Qadhi Abi al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin Iyadh al-Yahshabiy as-Sabti al-Maliki (w. 544 H), dan dikatakan di dalamnya: (adz-dzâl dan al-yâ`, fasal tentang dzî, dzâ, dzît, dzât, dzah, dzâka dan ucapan al-Bukhari bâ mâ jâ`a fî adz-dzât dan di dalam hadis dzâta yawmin aw dzâta laylatin dan yushlihû dzâta baynahum jadi dzât asy-syay` (zat sesuatu) adalah nafsûhu (dirinya) dan itu kembali kepada apa yang telah terdahulu yakni al-ladzî huwa kadzâ (yang dia begini) ... Para fukaha dan mutakalim menggunakan kata adz-dzât dengan alif dan lam dan banyak ahli anhwu menilai mereka rancu dalam yang demikian itu, tidak boleh masuk terhadapnya alif dan lam karena itu termasuk al-mubhamât (kesamaran) dan sebagian ahli nahwu memperbolehkannya. Ucapan mereka adz-dzât dan bahwa itu merupakan kiasan dari an-nafsu (diri) dan haqîqah asy-syay`i (hakikat sesuatu) ... Adapun penggunaan oleh al-Bukhari untuknya maka itu menurut yang terdahulu dari tafsir bahwa yang dimaksudkan dengannya adalah sesuatu yang sama yang digunakan oleh para mutakalim tentang Allah SWT. Tidakkah Anda lihat bagaimana ia berkata mâ jâ`a fî adz-dzâti wa an-nu’ût (apa yang datang tentang zat dan sifat) yang dia inginkan adalah sifat, jadi ia memisahkan dalam ungkapan di antara keduanya menurut cara para mutakalim ...), selesai.

Kedua: dari apa yang terdahulu menjadi jelas bahwa kata dzâtu dalam istilah bermakna an-nafsu (diri). Makna ini bukan hakikat bahasa yakni bukan dari ucapan orang arab sebagaimana yang ada dalam ucapan ar-Raghib di atas, melainkan adalah hakikat urfiyah khusus yakni istilah (al-ishthilah) artinya bahwa adz-dzâtu dengan makna an-nafsu (diri) adalah istilah dan bukan makna bahasa. Dan penyandaran -idhâfah- an-nafsu kepada Allah SWT merupaka perkara yang dinyatakan:

- Di dalam Tafsîr ath-Thabarî berkaitan dengan ayat yang mulia:

﴿وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ﴾

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya” (TQs Ali Imran [3]: 28 dan 30).
Bahwa itu bermakna: (dan Allah menakut-nakuti kamu dari diri-Nya (jika) kamu melakukan kemaksiyatan kepada-Nya). Jadi penisbatan kata an-nafsu kepada Allah dinyatakan di dalam nas-nas syar’iyah. Maka digunakannya dzâtullah ... 
dengan makna nafsullâh adalah boleh ...

- Begitulah, makna bahasa tidak sesuai terhadap makna dzâtullâh yang dinyatakan di teks yang disebutkan di atas di kitab kami (Nizhâm al-Islâm). Melainkan digunakan makna secara istilah ... yakni dengan makna nafsun “yang merupakan makna haqîqah” sebagaimana yang ada di Fathu al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî yang disebutkan di atas.

- Atas dasar itu makna ungkapan dzâtullâh di dua tempat dari kitab kami Nizhâm al-Islâm dengan makna istilahnya nafsullâh “yang merupakan makna haqîqah”, tetapi kita tidak dapat mengindera zat Allah dengan makna nafsuhu (diri-Nya) SWT dalam “makna hakikatnya”. Zat Allah dengan makna ini adalah berada di balik alam semesta, manusia dan kehidupan, artinya bahwa Allah SWT itu nafsuhu (diri-Nya) berada di luar tiga perkara yang terindera dan terjangkau ini sehingga tidak berada dalam wilayah pemikiran akal manusia yakni tidak berada di dalam wilayah penginderaan indera kita.

﴿لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ﴾...

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (TQS al-An’am [6]: 103).

Ketiga: adapun pertanyaan Anda: apa hukum orang yang mengingkari eksistensinya dan cukup dengan ucapan “saya mengimani Allah dan sifat-sifatnya tanpa meyakini bahwa Dia punya dzât”, maka tampak bahwa di situ ada kerancuan pada orang yang mengatakan ucapan ini. Hal itu karena istilah terhadap lafal dzâtullah dengan makna nafsuhu “yang merupakan makna haqîqah”, tidak ada masalah di dalamnya. Jadi pengingkaran bahwa Allah SWT memiliki dzât dengan makna ini yakni bahwa Allah memiliki nafsun dan merupakan makna haqîqah, tidak mungkin dikatakan oleh orang yang memahami makna menurut ketentuannya, khususnya bahwa makna ini ada di dalam nas-nas syar’iyah semisal

﴿وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ﴾

Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.” (TQs Ali Imran [3]: 28 dan 30).

Tetapi, di dalam definisi-definisi syar’iyah, harus berpegang kepada definisi itu tanpa dimasukkan perkara-perkara lain terhadapnya. Misalnya, hadis Rasul saw yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari di dalam Shahîhnya dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah ra, ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ بَارِزاً يَوْماً لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ؟ قَالَ: «الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ...»

Nabi SAW pada satu hari berada di depan orang-orang lalu Jibril datang kepada beliau dan berkata: “apa iman itu?” Beliau bersabda: “iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, para rasul-Nya dan engkau mengimani kebangkitan ...”.
Imam Muslim juga mengeluarkannya.

Berdasarkan itu, Anda jika ditanya tentang iman, Anda katakan apa yang disebutkan di dalam hadis tersebut. Begitulah makna-makna syar’iyah yang dinyatakan seperti hadis tentang al-Islâm dalam hadis Jibril terdahulu, dan demikian juga tentang al-ihsân. Semisal itulah semua definisi syar’iyah.

Saya berharap di dalam jawaban ini ada kecukupan. Wallâhu a’lam wa ahkam. []


Oleh: Syekh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah

Posting Komentar

0 Komentar