TintaSiyasi.com -- Dunia perdapuran masih suram. Kepulan asap dapur beberapa waktu belakangan nampaknya tidak disertai aksi goreng-menggoreng. Tersebab harga minyak yang merangkak atau meski sudah diturunkan lewat skema satu harga, si minyak justru menghilang dari peredaran.
Kisah tentang minyak goreng satu harga telah berakhir. Mulai 1 Februari Harga Minyak Goreng Pakai HET. Dikutip dari liputan6.com (27/1/20220) Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengubah kebijakan Satu Harga kemasan minyak goreng. Mendag menerapkan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) bagi eksportir bahan baku minyak goreng.
Ini akan berlaku bagi seluruh produsen minyak goreng di dalam negeri. Melalui aturan ini, produsen minyak yang juga pelaku ekspor ‘dipaksa’ menyalurkan setidaknya 20 persen dari total volume ekspor di 2022 untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri.
Kemudian, Mendag Lutfi mengatakan, dengan adanya kebijakan DPO ini, Kementerian Perdagangan akan menetapkan harga maksimal dari bahan baku. Dengan begitu, diharapkan terjadi kestabilan harga minyak goreng di sektor pasaran. Langkah ini pula disebut sebagai pengembalian kestabilan harga kepada mekanisme pasar.
Rincian HET minyak goreng diantaranya, minyak goreng curah dipatok Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Mampukah kebijakan ini menjadi solusi?
Salah Cara Pandang
Kenaikan harga bahan pangan yang fantastis seperti minyak goreng beberapa bulan terakhir bukanlah kejadian semata wayang. Sebelumnya ada gandum, jagung, dan kedelai yang berulangkali mengalami kenaikan gila-gilaan sejak satu dekade. Meski berulang, nyatanya solusi dari pemerintah tak jua tuntas menyelesaikan.
Pemerintah seolah gagap menghadapi kenyataan. Rakyat yang tak kunjung menemukan logika atas lonjakan harga, dibuat panik dengan lahirnya kebijakan satu harga kemasan. Panic buying pun tak terhindarkan.
Hal ini memberikan setidaknya dua gambaran. Pertama, kesalahan paradigma pemerintah dalam tata kelola pangan. Kedua, lemahnya pemahaman masyarakat terkait cara pemenuhan kebutuhan.
Diakui atau tidak, Pemerintah mengadopsi paradigma kapitalistik sekuler dalam tata kelola pangan. Di mata pemerintah, bahan pangan termasuk minyak goreng adalah komoditas perdagangan. Kehadirannya tak lain sekadar demi income guna mengejar pertumbuhan perekonomian dalam angka-angka fiktif yang kadang tak masuk akal.
Itu pun hanya segelintir orang yang merasakan. Fungsi negara tak lebih sekadar regulator dan fasilitator, sementara pelaku utama pengelolaan bahan pangan dikuasai korporasi besar. Mulai dari penguasaan lahan di bagian hulu, rantai distribusi, hingga suplay pasokan ke konsumen di bagian hiirnya mereka kuasai. Mekanisme dalam kapitalisme sekuler menghasilkan sifat tamak yang tak bisa dielak.
Pada tataran individu, sistem kapitalisme sekuler juga telah menumpulkan empati masyarakat. Kepanikan yang memicu aksi borong minyak ‘murah’ menjadi wajar karena sistem hidup sekuler mengikis solidaritas terhadap sesama. Masyarakat dibentuk menjadi egosentris individualistis.
Ada satu kondisi yang memicu fenomena panic buying, yaitu distrust masyarakat terhadap pemerintah. Meski pemerinth koar-koar menjamin kestabilan harga, nyatanya rakyat susah percaya.
Ubah Tatanan
Jika saja paradigma diubah, tentu akan lain ceritanya. Sebagai gambaran, Islam memiliki cara pandang istimewa terhadap bahan pangan, yakni sebagai komoditas poitik. Karenanya, Khalifah sebagai kepala Negara Islam akan memastikan, kebutuhan rakyat tercukupi bukan sekadar memproduksi atau menarget pertumbuhan ekonomi. Bukankah ini salah satu wujud ketahanan pangan yang kita inginkan?
Ada beberapa konsep pengaturan oleh negara. Pengaturan itu bersifat integratif bukan segregatif, yakni memiliki keterpaduan pada kebijakan mulai dari hulunya, tidak terpisah-pisah atau sepotong-sepotong.
Terkait dengan penyediaan suplai bahan pangan misalnya, agar tidak terjadi penguasaan pasokan pangan oleh korporasi untuk kasus minyak goreng ini, kuncinya ada di pengaturan tanah atau lahan. Jika hari ini, sebagian besar korporasi sawit itu membabat hutan untuk dijadikan perkebunan sawit, hal itu tidak akan terjadi pada sistem islam. Di mata islam, hutan adalah bagian dari kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai oleh satu pihak tertentu. Otomatis, hal ini akan menghilangkan dominasi korporasi terhadap suplay bahan pangan. Para petani pemilik lahanlah produsennya, biarpun skala kecil. Sehingga produksi bahan pangan tidak terkonsentrasi pada korporasi. Hutan pun aman dari alih fungsi yang di luar kendali.
Negara sebagai aktor utama pengelolaan politik pangan akan menempuh dua kebijakan, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Pertama, intensifikasi pertanian dilakukan misalnya dengan memberikan subsidi kepada para petani agar bisa optimal mengelola lahan pertaniannya sehingga mencegah terjadinya alih fungsi lahan sebagaimana marak terjadi saat ini. Bukannya dicegah, hal itu terkesan dibiarkan. Padahal, lahan adalah asas dari usaha pertanian. Program intensifikasi ini ditujukan untuk melejitkan produksi sehingga suplay bahan pangan cukup bagi masyarakat.
Kedua, ekstensifikasi. Jika dengan lahan yang ada kebutuhan masyarakat belum tercukupi, negara akan menambah lahan pertanian. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara menghidupkan lahan-lahan yang mati atau tandus. Masyarakat akan didorong untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati agar kembali produktif. Selain itu, negara juga bisa memberikan tanah milik negara kepada para petani yang memang tidak memiliki lahan namun memiliki kemauan dan kemampuan bercocok tanam.
Hari ini kita melihat begitu banyaknya lahan mati tidak produktif dengan berbagai sebab, sementara banyak buruh tani yang begitu antusias bertani namun mereka tidak memiliki lahan. Ironis. Dari sini maka ada baiknya kita merujuk kepada islam untuk menyelesaikan.
Menariknya, islam memiliki mekanisme pengambilalihan tanah-tanah mati, yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama lebih dari tiga tahun. Tanah tersebut kemudian diberikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Ini merupakan bentuk kepedulian negara terhadap usaha pertanian agar tetap berlangsung, sustainable.
Perlu kita ingat, pemenuhan pangan tidak cukup diselesaikan pada aspek produksi, tetapi memerlukan politik tataniaga. Model distribusi pangan di negeri ini masih memiliki PR besar untuk diselesaikan. Rantai distribusi yang tidak sehat dan sering menabrak aturan sering menjadi persoalan. PR berikutnya adalah pembenahan sistem logistik dan infrastruktur, rantai tataniaga, dan sistem pengawasan untuk mencegah tindak kecurangan dan spekulan.
Indonesia, produsen terbesar sawit di dunia seharusnya memiliki aturan komprehensif sehingga rantai distribusi ini sehat dan solid, serta berupaya agar stabilitas harga senantiasa terjaga. Berbagai macam penimbunan pun harus cepat diantisipasi dan Islam memiliki mekanisme pencegahan itu semua. Dengan mengadopsi kebijakan Islam terkait pertanian ini, negara bisa memastikan ketersediaan suplai bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat, orang per orang.
Pada tataran individu, penerapan islam akan membendung sifat tamak. Pada kondisi paceklik, seperti yang terjadi di masa Umar bin Khattab misalnya, tidak ada cerita berebut bahan pangan apalagi menimbunnya. Masing-masing mengambil sesuai kebutuhan. Kalaupun ada yang mencuri, semata-mata untuk kebutuhan makan. Karenanya, Umar pun membebaskannya dari jerat hukuman. Sebab rakyat percaya bahwa penguasa akan mengurus hajat mereka dengan pengurusan terbaik.
Rakyat telah lama merindukan harga-harga pangan murah. Bukan soal berapa harga tertingginya, melainkan stok cukup dan tidak menzalimi pembeli dan penjualnya. Sudah waktunya negeri ini berbenah mewujudkan impian rakyat. Tiba waktunya mengganti model kepemimpinan kapitalistik sekuler dengan kepemimpinan yang amanah. Bukan sesuatu yang mustahil berlepas diri dari belenggu korporat selagi pemimpin negeri berkomitmen sungguh-sungguh mengurus urusan rakyat. Wallahua’lam.
Oleh: Pipit Agustin (Forum Hijrah Kafah)
0 Komentar