TintaSiyasi.com -- Publik tengah menyoroti kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kini semakin dilanda permasalahan pelik. Bagaimana tidak, BUMN yang notabene merupakan sumber utama pendapatan negara, tengah diselimuti berbagai problem besar yang berakibat pada kebijakan yang akan menelantarkan hajat rakyat Indonesia.
Ketika negeri ini mengalami krisis atas beban utang, negara malah menggaungkan privatisasi BUMN termasuk BUMD sebagai solusi. Kita tentu masih mengingat saat terjadi krisis September 1997, bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini terhentak dengan tumbangnya perekonomian yang menyebabkan terjadinya krisis multidimensi.
Tidak dipungkiri, intervensi lembaga asing terutama IMF diakibatkan adanya utang luar negeri Indonesia yang demikian besar. Bahkan, diperkirakan sampai tujuh turunan tak akan terbayarkan. Selama lima tahun terakhir (2016-2020), utang BUMN semakin laju meningkat pesat. Tahun 2020, total kewajiban perusahaan pelat merah mencapai Rp 6.710 triliun atau meningkat 9,6% dibandingkan tahun 2019. Ditambah hantaman pandemi Covid-19, menyebabkan sejumlah BUMN semakin seret. Sebagai contoh, utang PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang jatuh tempo per Mei 2021 sebesar Rp 70 triliun atau US$ 4,9 miliar dari total utang senilai Rp 140 triliun. Kemudian utang PT Perkebunan Nusantara (Persero) yang mencapai Rp 43 triliun. PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga memiliki utang Rp 40 triliun. Belum lagi utang PLN per 30 Juni 2021 tercatat mencapai Rp 643,86 triliun.
Hal yang sama terjadi pada Pertamina. Utang Pertamina mencapai Rp 600 triliun. Di saat utang bertumpuk, kontribusi BUMN ke negara menjadi minim. Pada tahun 2020, BUMN hanya menyumbang laba bersih senilai Rp 41 triliun, atau merosot 75,60% dibandingkan 2019. Pendapatan korporasi pelat merah juga menyusut 15,72% year-on-year (yoy) menjadi Rp 1.957 triliun pada 2020. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengemukakan, total liabilitas BUMN yang senilai Rp 6.710 triliun itu masih harus dirinci. Dia membeberkan, sekitar 31% dari total liabilitas tersebut merupakan utang pendanaan (Insightkontan.co.id, 24/09/2021).
Dengan kondisi seperti ini, IMF dengan strategi letter of intent akan mendorong (baca: memaksa) pemerintah menggalakkan Liberalisasi perekonomian yang akan melahirkan konsep revitalisasi, devestasi, restrukturisasi, dan privatisasi. Privatisasi mungkin tidak seheboh skandar Century atau skandal lainnya yang dianggap sebagai bentuk penjarahan uang negara. Privatisasi dianggap halal dan legal, sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Padahal, jika dicermati, privatisasi adalah sebuah program penjajahan. Privatisasi telah dipropagandakan dengan apik dan menarik. Dengan janji klasik, kalau kita berhasil menjual 40-50 % aset BUMN, maka ULN yang nilainya miliaran dolar AS akan terbayar lunas.
Bahaya-Bahaya Privatisasi
Langkah-langkah konkret jangka pendek yang telah diambil pemerintah dalam rangka menutupi devisit APBN dengan menjual aset BUMN, jelas salah dan sangat berbahaya. Ini karena:
Pertama, tersentralisasinya aset suatu negara pada segelintir orang yang memiliki modal besar dan kecanggihan manajemen, teknologi, dan strateginya. Artinya, aset tersebut akhirnya hanya beredar diantara orang-orang kaya saja. Sehingga akan menghambat pendistribusian kekayaan.
Kedua, privatisasi akan dibarengi dengan dibukanya pintu investor asing baik perorangan maupun perusahaan yang akan menjerumuskan negeri dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Sebab, korporasi kapitalis akan menguasai dan mengendalikan negeri. Selanjutnya, perampokan kekayaan negeri sekaligus pengokohan dominasi politik atas penguasa dan rakyat negeri bisa berjalan mulus.
Ketiga, pengalihan kepemilikan khususnya di sektor industri, pertanian, dan kepemilikan negara/umum menjadi kepemilikan individu. Akibatnya, terjadi pengurangan gaji pegawai. Terburuk, PHK menjadi pilihan. Padahal, pengangguran dan kemiskinan sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat, tingkat produksi, dan pertumbuhan ekonomi.
Keempat, menghapuskan kepemilikan umum atau kepemilikan negara artinya negara melepaskan diri dari kewajibannyaa terhadap rakyat. Pun, negara telah kehilangan sumber pendapatan yang stratrgis. Sehingga, negara tidak sanggup melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya dipikul. Negara tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat baik yang bersifat idividual maupun komunal secara layak.
Kelima, negara akan disibukkan mencari sumber-sumber pendapatan baru untuk menggantikan sumber-sumber pendapatan yang telah dijual. Ketika negara tidak mendapatkan sumber yang layak, maka pajak menjadi solusi. Tentu saja pajak ini akan menambah beban hidup masyarakat. Apalagi, hampir semua aspek kehidupan dijadikan objek pajak.
Keenam, dana yang diperoleh negara dari penjualan kepemilikan umum atau negara, umumnya tidak dikelola dalam sektor-sektor produktif.
Ketujuh, menghalangi masyarakat umum untuk memperoleh hak mereka, yaitu memanfaatkan aset kepemilikan umum seperti air, listrik, minyak, sarana transportasi, pelabuhan, jalan, dan sebagainya.
Pandangan Islam dalam Mengatur Harta Negara dan Perusahaan Negara (BUMN)
Islam telah mengharamkan penguasa berlepas tangan terhadap kepengurusan umat. Terlebih kebijakannya pro kapitalis dan menzalimi umat. Islam juga memerintahkan pengelolaan harta publik (milkiyyah ammah) dengan prinsip pelayanan dan pengelolaan harta negara dengan prinsip prioritas kepentingan publik. Sumber kekayaan negara berupa SDA yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh diprivatisasi atau dipermainkan pemerintah dan korporasi. Dalam pengelolaan harta publik, khalifah akan menjalankan perekonomian dengan optimalisasi tiga fungsi negara, yaitu:
Pertama, fungsi alokatif. Negara akan mengalokasikan anggarannya dengan tujuan menyediakan secara memadai barang-barang (kepemilikan) publik kepada masyarakat. Tanggung jawab penyediaan barang-barang publik ini dibebankan pada negara. Negara tidak akan membiarkan SDA dimiliki oleh individu, apalagi dijual kepada pihak asing. Bahkan, tambang baik yang strategis, vital, atau yang tidak termasuk keduanya, semua dikelola oleh negara dengan sebaik-baiknya. Negara harus menyelenggarakan manajemen yang baik, termasuk mempersiapkan SDM dan tenaga ahli dari kalangan kaum Muslim yang cakap. Negara mengalokasikan dana untuk pelatihan dan studi keahlian, jika perlu dengan melibatkan pihak luar yang dinilai layak. Negara juga dapat melakukan transfer teknologi atau pembelian teknologi jika benar-benar dibutuhkan untuk optimalisasi pemenuhan kebutuhan publik.
Kedua, fungsi distributif. Ditujukan untuk mensirkulasikan kekayaan kepada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Allah SWT berfirman, “Hendaklah harta itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian.” (TQS. Al-Hasyr: 7). Keseimbangan ekonomi menjadi paradigma negara dalam melayani rakyatnya. Jika ada ancaman maka negara menyuplai individu yang tidak sanggup memenuhi kebutuhannya. Sumbernya diambil dari Baitul Mal yang diperoleh dari ghanimah atau harta milik publik. Dengan begitu, tidak akan terjadi kasus seperti kelangkaan bahan bakar, penimbunan, dan kemiskinan.
Ketiga, fungsi stabilitatif. Negara melakukan tindakan-tindakan antisipasi terhadap instabilitas ekonomi. Ancaman dan intervensi asing tidak akan ditoleransi oleh negara. Dengan potensi SDA yang luar biasa besar dan kemandirian ekonomi negara, maka ancaman sabotase dan boikot tidak akan berarti apa-apa. Perekonomian yang kuat akan menjadikan negara mampu membiayai pembangunan infrastruktur pertahanan dan keamanan. Alhasil, negara tidak gentar sedikitpun terhadap ancaman invasi militer pihak asing.
Dalam pengelolaan harta milik negara, bukan berarti negara berubah menjadi pedagang, produsen, atau pengusaha. Namun, negara adalah (tetap sebagai) pengatur. Yang ditonjolkan dari pengelolaan harta ini adalah pengaturan yang ditujukan untuk urusan masyarakat dalam meraih kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Jadi, tujuan pokoknya adalah pengaturan (ri’ayah), bukan keuntungan. Berbeda dengan model pengelolaan korporasi kapitalistik, dimana pelayanan publik berorientasi pada keuntungan semata. Negara diposisikan sebagai regulator. Padahal, seyogianya negara mengambil peran sebagai pelayan rakyat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Ideologi Islam yang menjadi ruh aktivitas umat Islam, menjadikannya bergerak menentang segala upaya penguasaan korporasi atas negara. Dengan modal kekuatan ideologi dan ekonomi, negara tidak ragu untuk melindungi rakyat dari gangguan dan ancaman apapun. Pemimpin negara tidak akan lagi menghinakan diri di hadapan negara lain karena beratnya beban utang yang dipikul. Hal itu karena semua operasional negara bisa diatasi oleh sumber daya internal tanpa harus bergantung pada pihak asing. Wallahu a’lam. []
Oleh: Ema Fitriani Madi, S.Pd.
(Sahabat TintaSiyasi)
0 Komentar