Status Transaksi Anak Kecil

TintaSiyasi.com -- Akad, baik jual-beli maupun yang lain, mempunyai konsekuensi terjadinya kepemilikan, baik yang terkait dengan barang maupun jasa. Karena itu, orang yang melakukan akad disyaratkan harus berakal. Dasarnya adalah hadis Nabi SAW.

Diangkat pena dari tiga golongan; dari orang yang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia bermimpin keluar sperma [baligh], dan dari orang gila, hingga dia waras akalnya.” [Hr. Abu Dawud].

Karena itu, ketiga orang di atas, yaitu orang yang tidur, anak kecil, dan orang gila, dibatalkan ucapan dan semua tindakannya. Karena ucapan dan tindakan mereka tidak mempunyai status hukum, sebagaimana mafhum yang bisa ditarik dari sabda Nabi di atas, “Diangkat pena dari tiga golongan.” [Hr. Abu Dawud].

Selain itu, mu’alamah juga mempunyai prinsip, “al-Ashlu fi al-Mu’amalah qath’u al-munaza’ah” [hukum asal mu’amalah adalah untuk menghilangkan perselisihan]. Jika hukum asal dilakukannya mu’amalah untuk menghilangkan perselisihan, maka hilangnya perselisihan tersebut tidak mungkin bisa disandarkan pada ketiga orang tersebut. Justru sebaliknya, jika ucapan dan tindakan ketiganya mengikat, maka potensi perselisihan justru terbuka lebar.

Dalam konteks jual-beli, Allah menyatakan, bahwa jual-beli harus dilakukan dengan suka rela, antara penjual dan pembeli. Bagaimana mungkin terjadi kerelaan dari ketiganya? Jelas tidak mungkin. Hanya saja, untuk anak-anak, syarat baligh dalam akad, khususnya jual-beli tidak mutlak. Karena itu, boleh anak-anak usia Rusyd, yaitu usia di mana anak-anak tersebut sudah bisa memilih dan memilah, yang baik dan buruk, yang benar dan salah. Anak-anak usia ini boleh melakukan akad.

Alasannya, dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan, “Dan ujilah anak yatim itu sampai cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah mengerti [usia Rusyd], maka serahkanlah harta-hartanya kepada mereka.” [Q.s. an-Nisa’ [04]: 06]. Syarat usia Rusyd agar harta bisa diserahkan kepada mereka agar mereka kelola, dan hilangnya status perwalian dari mereka. Menunjukkan, bahwa anak-anak yang belum baligh boleh melakukan akad.
Karena itu, akad yang dilakukan oleh anak-anak yang sudah Mumayyiz [bisa memilih dan memilah] hukumnya sah. Dasarnya Q.S. an-Nisa’ [04]: 06 di atas. Perintah Allah, “Ujilah mereka.” dilakukan dengan melakukan jual-beli, agar bisa diketahui apakah mereka sudah bisa dilepas atau belum.

Dalam konteks ini, Ibn Qudamah al-Maqdisi, menjelaskan, “Maksudnya ujilah mereka supaya kamu bisa mengetahui kecerdasan mereka. Menguji mereka bisa direalisasikan dengan mendelegasikan kepada mereka untuk melakukan tindakan hukum, termasuk jual-beli, supaya bisa diketahui, apakah dia tertipu atau tidak. Karena dia berakal, bukan orang yang dihalangi melakukan tindakan hukum. Karena itu, tindakannya sah. Tetapi, agar sah, harus seizin walinya.” [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IV/168].

Karena itu, status akad anak kecil yang sudah Mumayyiz tetap sah, dengan izin walinya, jika walinya mengizinkan tindakannya. Ini menurut mazhab Hanbali, Maliki dan Hanafi. Berbeda dengan mazhab Syafii, dan dalam salah satu riwayat menurut mazhab Hanbali. Imam al-Kharasyi, dalam syarah Mukhtashar Khalil, mazhab Maliki, “Makna bahwa syarat sahnya akad bagi orang yang melakukan akad jual-beli, yaitu penjual dan pembeli, adalah tamyiz [bisa memilih dan memilah]. Ketika diberitahu tentang sesuatu yang merupakan maksud orang-orang yang berakal dia paham, kemudian bisa memberikan jawaban [respon] yang sempurna. Maka, akad tidak terjadi dari anak yang belum tamyiz, karena kecil, gila atau tidak sadar, atau salah satunya, menurut Ibn Syas, penulis dan Ibn Rusyd.” – selesai.

Menurut al-Hatthab, dalam Mawahid al-Jalil, Syarah Mukhtashar Khalil, bahwa “Maksa disyaratkannya orang yang melakukan akad jual-beli agar akadnya mengikat harus Mukallaf, maka kalau anak kecil yang sudah Mumayyiz melakukan jual-beli, maka jual-belinya sah. Tetapi, akad itu tidak mengikatnya. Bagi walinya boleh menilai, untuk melanjutkan atau membatalkannya, yaitu mana yang dia pandang lebih baik bagi anak kecil tersebut.” – selesai.

Dengan demikian, dari keempat mazhab, hanya Imam Syafii yang tidak membolehkan akad anak-anak. Ketiga mazhab yang ada, baik Hanafi, Maliki maupun Hanbali, semuanya membolehkan akad yang dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh, dengan syarat harus Mumayyiz. Wallahu a’lam. []


Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman
Khadim Ma'had Syaraful Haramain

Posting Komentar

0 Komentar