Sesajen Semeru, Buat Apa?



TintaSiyasi.com -- Viral video sesajen semeru ditendang oleh seorang pria. Pria tersebut rame dihujat dan diburu. Dan sudah pasti ini ditarik pada isu intoleransi. Anda mau tahu bagaimana kesan pertama melihat video tersebut? Kesan pertama, begitu menggoda, selanjutnya saya tergoda. Tergoda untuk berkomentar. 

Ya, dari sisi keimanan saya teringat pada masa lalu, masa kecil saya. Sesaji, sesajen dan atau orang Jawa Tengah, Solo, Sragen tempat saya dilahirkan itu disebut pancenan. Orang tua saya dulu masih kental dengan sesajen dan pancenan. Saya waktu itu meskipun sudah di Pelajar Islam Indonesia (PII)  ya tidak berani langsung mengingatkan apalagi menentang orang tua. Tradisi itu lambat laun hilang seiring dengan proses penyadaran beberapa kyai kampung di desa saya. Mereka disadarkan bahwa jika mengaku Islam, maka tradisi itu termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan menurut Islam. 

Dari isu ini banyak yang mengembangkan pada isu intoleransi, lalu berujung perlunya moderasi agama untuk menghindari pemahaman ekstrim. Mungkin Sebentar lagi tinggal nunggu hasil survey indeks kerukunan umat beragama Indonesia merosot tajam. Bagaimana sikap kita melihat para penunggang isu ini? Memang hidup di masyarakat majemuk itu butuh kesabaran yang ekstra. Tindakan frontal tidak selamanya mujarab untuk menghilangkan tradisi yang dinilai kurang sesuai dengan ajaran agama Islam. Di sisi lain, benturan peradaban memang akan terus terjadi (clash of civilization), dan peradaban itu akan mengalami jatuh bangun. Kita memang harus memelihara kerukunan umat beragama, namun umat Islam itu punya kewajiban berdakwah, yakni amar ma'ruf nahi munkar. Tentu saja dengan cara-cara yang hikmah tanpa harus melebur dengan peradaban yang dinilai ajaran Islam belum sesuai. 

Di tengah isu SARA, memang seringkali ada penunggang gelap yang memanfaatkan benturan peradaban menjadi komoditas untuk digoreng jadi jualan soal urgensi intoleransi,  moderasi, propaganda radikal-radikul dan soal ektremisme.  Umat Islam saya kira tetap harus waspada tanpa hrs mengorbankan keyakinan, ajaran Islam. 

Salah satu konsekuensi era terbuka sperti sekarang adalah tereksposenya hal kecil tentang perbedaan, lalu disorot menjadi besar, dan cepat tersebar dengan algoritma medsos. Dan kita ketahui bahwa ini terjadi di semua negara, bangsa dan agama. Di Amerika ada isu ras hitam dan Asia. Lalu bagaimana kita melihat melalui kaca mata Islam? 

Satu-satunya agama yg tidak memandang asal-usul, warna kulit, etnis, bangsa dll adalah Islam. Islam memandang persaudaraan umat sebagai umatan wahidah. Umat yang satu meski terdiri dari 73 golongan dan ada setidaknya 4 madzab besar. Dan hal ini memang yang ditakuti oleh peradaban Barat (liberal kapitalisme) dan Timur (sosial komunisme), maka mereka akan terus mencari cara untuk memecah belah umat Islam dengan menghembuskan persoalan-persoalan kecil tapi menjadi Islamopobhia, seperti intoleransi, radikalisme, ektremisme yang seringkali hanya mrpk propaganda. Umat Islam harus tetap bangkit melawan segala macam war itu dengan tetap menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin. 

Saya pribadi sebagai umat Islam, menganggap sesajen identik itu dengan benda syirik. Namun demikian,  kita juga harus memahami pluralitas tersebut dalam masyarakat. Maka, dalam perspektif hukum kita pun harus tahu batasan-batasannya jika kita bersikap ada penolakan terhadap aliran atau keyakinan kelompok masyarakat lain. 

Di sinilah perlunya ada toleransi, yang dimaknai menghormati perbedaan bahkan kesalahan pihak lain demi menjalin kerukunan hidup. Tidak saling mengganggu. Lakum dienukum waliyadien. Ini konsep kita juga jelas. Sekalipun dalam pandangan Islam mereka musyrik, namun kita tetap tidak boleh menghina "cara menyembah Tuhan" mereka. Jika kita lakukan, apalagi menyebarkannya di dunia maya pasti kita akan terjerat hukum nasional kita, yakni Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat2 UU ITE. Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Semarang, Selasa: 11 Januari 2022

Posting Komentar

0 Komentar