Perkeretaapian Kota Bogor, untuk Komunal atau Komersial?

TintaSiyasi.com -- Pada Jumat, 17 Desember 2021 PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan Pemerintah Kota Bogor menandatangani nota kesepahaman (MoU) terkait Pengembangan Perkeretaapian Perkotaan di Kota Bogor. Penandatanganan dilakukan Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo dan Wali Kota Bogor Bima Arya dengan disaksikan Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Menurut Didiek, MoU tersebut merupakan langkah riil antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam memberikan layanan transportasi yang terintegrasi untuk warga khususnya di Kota Hujan. Adapun batasan MoU meliputi perencanaan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan melakukan analisis terhadap pengembangan perkeretaapian perkotaan di Kota Bogor. Nantinya, di kawasan ini akan dibangun secara inklusif berbasis pengembangan kereta api perkotaan dan pengembangannya akan mengusung konsep moda transportasi umum dengan target memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi Kota Bogor. Selain itu untuk mempermudah mobilisasi masyarakat menjadi lebih fleksibel dan efisien dengan terintegrasi-nya stasiun antarmoda. Pada saat bersamaan, KAI meresmikan akses baru stasiun Bogor yang menyatu dengan alun-alun sekaligus meluncurkan kartu multitrip edisi Kota Hujan (Antara news, 18/12/2021).


Jenis, Ciri, dan Fungsi BUMN

BUMN merupakan perusahaan pemerintah yang berbentuk Perseroan (Persero), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998. Di mana seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dari dua jenis BUMN yang ada di Indonesia yaitu, Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum (Perum), PT KAI termasuk kategori perusahaan Persero. Adapun ciri BUMN antara lain, sebagai sumber pendapatan negara, dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah, melayani kepentingan umum dan publik, serta menyediakan kebutuhan rakyat. Selain itu, dalam pendiriannya diusulkan oleh menteri kepada presiden, pelaksanaan pendiriannya berdasarkan undang-undang, modal berbentuk saham, dan dikontrol langsung oleh pemerintah. Sedangkan jika dilihat dari fungsinya, BUMN sebagai penyedia barang ekonomis dan jasa yang tidak disediakan swasta, merupakan alat pemerintah dalam menata kebijakan perekonomian, serta sebagai pengelola dari cabang-cabang produksi sumber daya alam untuk masyarakat luas.

Saat ini ada 107 BUMN yang beroperasi di Indonesia, BUMN itu diterapkan di berbagai bidang usaha yang meliputi beragam sektor seperti pertanian, transportasi, telekomunikasi, perdagangan, listrik, keuangan, hingga konstruksi (Liputan6.com, 31/7/2021).

Perlu diketahui, dari beberapa daftar BUMN, salah satunya adalah jasa logistik,  adapun yang termasuk di dalamnya adalah Perum Damri, PT Pelabuhan Indonesia, PT Pelayaran Nasional Indonesia, PT Industri Kereta Api, PT ASDP Indonesia Ferry, PT Kereta Api Indonesia, dan lainnya.

Adapun tujuan BUMN telah dirumuskan dalam satu pasal undang-undang yaitu, pertama memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan pemerintah pada khususnya, kedua mengejar keuntungan, ketiga menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang atau jasa yang berkualitas tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat luas, dan keempat menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta dan koperasi.


Komersialisasi PT KAI

Dari penjabaran tersebut, menegaskan bahwa BUMN Perseroan, dalam hal ini PT KAI sejatinya milik publik, diperuntukkan melayani masyarakat luas sebagai jasa moda transportasi, dan keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat. Selain itu, semestinya PT KAI juga dijalankan sebagaimana fungsi BUMN yang termaktub dalam undangan-undang.

Namun, dalam nota kesepahaman antara PT KAI dan Pemerintah Kota Bogor, dikatakan bahwa MoU dilakukan bertujuan untuk kepentingan keduanya, dan mengedepankan keuntungan bagi negara, dalam hal ini Pemda. Sehingga dari sini bisa terlihat bahwa, PT KAI memiliki tujuan yang bersifat komersial bukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan komunal masyarakat akan transportasi. 

Dalam sistem kapitalisme tidak menafikan adanya pergeseran peran negara dalam mengelola kekayaan milik umum yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat, namun nyatanya negara hanya sebagai regulator pengelolaan kekayaan rakyat. Sehingga, BUMN bagaikan koorporasi yang mengedepankan bisnis untuk mengejar keuntungan sebanyak mungkin dari warga negara. Maka, tak heran jika fungsi bisnis lebih kentara ketimbang fungsi pelayanannya. Hal ini menjelaskan terjadinya kegagalan dalam mengelola perusahaan milik negara. Mengapa hal demikian bisa terjadi, bukankah beragam aturan BUMN tersebut tertuang dalam undang-undang?


Paradigma Kapitalistik

Penyebab atas terjadinya kegagalan tersebut adalah karena paradigma kapitalistik yang digunakan pemangku kebijakan saat ini, sehingga menuntut negara melakukan bisnis dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan pengelolaan harta kekayaan negara. Meski pengaturannya ada dalam undang-undang, namun itu hanyalah formalitas belaka. Sebab yang menentukan kebijakan adalah para penguasa, satu sisi penguasa tidak lepas dari campur tangan para pemilik modal (kaum kapitalis), maka oligarki leluasa bermain di sini. Semetara itu, dalam pandangan kapitalisme keuntungan harus didapatkan sebesar-besarnya tanpa memedulikan nasib rakyat. Menurutnya, keuntungan berlimpah hasil menjual jasa transportasi kepada masyarakat dinilai dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, keuntungan tersebut tidak pernah dirasakan oleh masyarakat itu sendiri, hal ini terbukti dengan tidak kunjung sejahteranya perekonomian dan nasib rakyat. Sebab laba tersebut hanya dinikmati oleh para oligarki, yakni penguasa sekaligus sebagai pengusaha.


Pemimpin Islam sebagai Pelayan Umat

Islam menjadikan pemimpin sebagai abdi umat yang bertugas melayani dan memenuhi seluruh kebutuhan dan kepentingannya sesuai dengan ketetapan hukum Allah SWT. Bukan saja dalam hal memenuhi kebutuhan pokok demi keberlangsungan hidupnya, tetapi juga berbagai sarana penunjang untuk mempermudah aktivitasnya dalam menjalankan roda kehidupan, termasuk moda transportasi kereta api. Maka, pengadaan infrastruktur dengan biaya murah, memadai, bahkan gratis adalah bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat. Apabila perkara tersebut diserahkan kepada Asing atau dikelola oleh para koorporasi, tentu ini telah mengingkari titah Rasulullah SAW, yakni seharusnya hubungan pemimpin dengan rakyat adalah ikatan antara pelayan dengan yang dilayani, bukan jalinan layaknya penjual dan pembeli. 

Dalam sistem Islam, infrastruktur wajib dikelola oleh negara dengan tujuan demi kemaslahatan umat. Bukan dengan tujuan meraih keuntungan dengan cara diperjual belikan. Selain itu, Islam menetapkan infrastruktur adalah bagian dari kepemilikan umum yang akan dimanfaatkan oleh seluruh umat. Pengadaan infrastruktur beserta penunjang moda transportasi lainnya, seperti jalan raya merupakan tanggung jawab negara, dan para pemimpin Islam mengurusi urusan rakyat atas dasar keimanan dan ketakwaan. Bukan berdasarkan azaz manfaat, terlebih berpikir jual beli dengan rakyat.

Sementara itu, dalam membangun infrastruktur, Islam mengambil anggaran dari kas Baitul Mal yaitu dari pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa'i, anfal, kharaj, jizyah, zakat, ghanimah, usyur, khumus, rikaz, dan pengelolaan hasil tambang, perkebunan, hutan, laut, sungai, dan lainnya. Oleh karena itu, Sumber Daya Alam (SDA) akan dikelola oleh negara dan dilarang diprivatisasi. Demikian pula dengan skill SDM-nya, negara akan melatihnya sedemikian rupa agar mereka memiliki keahlian dalam membangun infrastruktur. 

Akan tetapi, jika Baitul Mal kosong, maka negara akan mengambil infaq dari warga yang kaya dengan suka rela. Selain itu, yang terpenting  dalam sistem Islam adalah pembentukan dan pengokohan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sehingga, tidak akan ada individu, kelompok, maupun koorporasi tertentu yang berani menguasai harta milik umum, sebab Allah SWT mengharamkan hal demikian, karena sejatinya harta milik umum adalah kepunyaan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, hanya di negara yang dipimpin oleh penguasa Muslim (khalifah) dengan paradigma Islam yang diterapkan dalam berbagai lini kehidupannya, maka akan didapatkan kesejahteraan hidup, keamanan dan keselamatan bagi umat.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nurmilati
Sahabat TintaSiyasi

Posting Komentar

0 Komentar