Nativisasi dan Moderasi Islam: Upaya Sekularisasi Bumi Nusantara


TintaSiyasi.com -- Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Andai saja nativisasi sejarah Islam itu tidak ada, tentunya karya dan perjuangan emas umat Islam dahulu terukir indah di dinding-dinding sejarah peradaban hari ini. Apatah terjadi jika kedigdayaan Islam selama 1300 tahun dengan era khilafah (Khilafah Islamiah) telah mencoba dikubur dan dikaburkan oleh kaum pendengki Islam.

Nativisasi adalah usaha untuk mengecilkan peran Islam, dengan cara membangkitkan budaya zaman pra-Islam. Pada saat yang sama, Islam ditempatkan seolah-seolah sebagai "barang asing" bagi bangsa Indonesia (republika.co.id, 2016). Upaya mengembalikan budaya-budaya sebelum datangnya Islam, membenturkan, mempertentangkan dengan Islam inilah yang disebut nativisasi. Alhasil, Islam menjadi terasing dan teralienisasi. 

Begitu pun dengan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah upaya untuk meminggirkan Islam dan Islam diterjemahkan sesuai kepentingan masing-masing. Sebagaimana tujuan moderasi beragama adalah menciptakan umat Islam yang moderat, yakni, tengah-tengah, tidak ekstrem dan tidak liberal. Tapi, tolok ukurnya tidak jelas, alias hanya berdasarkan persepsi masing-masing. Inilah yang membuat umat Islam tercerabut dari ketaatan yang kaffah kepada syariat Islam. 

Salah satu cara untuk membuat umat Islam menjadi moderat adalah dengan nativisasi. Umat diajak kembali ke dalam budaya-budaya di luar Islam dan mempertentangkan Islam dengan adat istiadat sebelum Islam datang. Jadi, nativisasi dan moderasi beragama ini berjalan beriringan dan bahu-membahu menjauhkan umat dari syariat Islam.

Hal ini semakin menegaskan, penjajahan di bumi Nusantara belumlah usai. Manusia merdeka adalah manusia yang bebas menghamba dan taat kepada Rabb-nya. Tetapi, akibat nativisasi dan moderasi ini, umat dijauhkan dari penghambaan hakiki kepada Allah SWT, tetapi justru membelenggu umat dengan penghambaan kepada penjajah. 

Memang rupa penjajah sekarang bukanlah jenderal bengis yang memoncongkan senjatanya kepada umat. Tapi, penjajah yang dihadapi adalah penjajah tak terlihat dan tersistematis. Yakni, sistem sekularisme kapitalisme. Mereka menancapkan wayang-wayang penjaga sistem kapitalisme sekuler ini. Dan sejatinya sistem ini hanya berkiblat dan menghamba kepada kepentingan Barat.

Mendedah Perkembangan Nativisasi dan Moderasi Islam di Bumi Nusantara

Mendedah sepak terjang nativisasi di Nusantara, ada kutipan menarik dari buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (Jakarta-Yogya: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989), tokoh Islam Mohammad  Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi, dan (3) gerakan nativisasi. 

Natsir mengingatkan perlunya umat Islam mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisasi, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, seperti gerakan misionaris Kristen atau gerakan sekularisasi.

Ahda Abid al-Ghiffar dalam Republika.co.id (2016) mengatakan, dalam sejarah, para orientalis Belanda berusaha menghambat gerak laju Islamisasi Nusantara dengan membenturkan Islam dengan budaya lokal; dengan menempatkan Islam sebagai agama asing, agama impor, yang tidak sesuai dengan tradisi setempat. Islam diadu dengan adat. 

Mengutip pengakuan Alb C Kruyt  (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, Dr. Aqib Suminto mencatat:  "Bagaimana pun Islam harus dihadapi karena semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda." (Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) hlm 26).
   
Pakar sejarah Melayu, Prof Naquib al-Attas, dalam bukunya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990), menulis tentang masalah ini: "Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu."

Jika melihat paparan di atas hal tersebut nampak hari ini. Demi menihilkan peran Islam, syariat Islam dibenturkan dengan adat istiadat dan budaya sebelum Islam datang. Sehingga, ada umat Islam yang terbawa arus mengikuti budaya-budaya agama lain yang bertentangan dengan Islam itu sendiri. Tak berhenti di sana, ketika ada yang kuat dan kokoh memegang syariat Islam, senantiasa mendapat tudingan radikal, ekstrem, hingga teroris.

Padahal, jika dibongkar sejarah Nusantara dengan arif dan jujur. Peran Islam dalam membebaskan Nusantara dari penjajahan itu tampak nyata. Hanya saja peran Islam mencoba dikubur dan dikaburkan. Walhasil, banyak umat zaman sekarang yang tak mengenal jati dirinya sendiri. Bahkan, latah menganggap ajaran Islam ajaran yang asing.

Hal tersebut mengkonfirmasi, penjajahan di negeri ini belumlah usai. Penjajahan sekarang lebih fokus ke sistem. Mereka memang sudah tidak menjajah secara fisik, tetapi mereka mewariskan sistem atau hukum-hukum penjajah. Hukum dan aturan inilah yang sejatinya menciptakan kesengsaraan dan penjajahan secara sistemis. 

Maka, yang terjadi banyak sumber daya alam (SDA) yang seharusnya dikuasai negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat, malah dikuasai negara penjajah (asing) atas nama kerjasama dan investasi. Dengan ruh kebijakan, undang-undang, budaya yang bernafaskan kapitalisme sekuler, sejatinya penjajah telah menancapkan hegemoninya sampai ke akar. Inilah neo-imperialisme. Bukan lagi berdikari, tapi berada di bawah ketiak asing penjajah. 

Sebenarnya dari sini dapat diketahui, alasan mengapa penjajah benci dan dengki kepada Islam. Karena hanya Islam yang terbukti menyelamatkan umat manusia dari kebengisan penjajahan kapitalisme sekuler. Mereka tidak ingin mengulang sejarah yang terusir dari sini karena perjuangan umat Islam. Makanya mereka melakukan nativisasi sejarah Islam. 

Bahkan, mereka mencari formula-formula khusus demi membuat umat Islam semakin jauh dari Islam. Sebagaimana moderasi beragama. Diakui atau tidak moderasi beragama ini gagasan yang dirancang khusus untuk membuat umat Islam semakin sekuler. Dengan dalil agar tidak ekstrem dan radikal, maka haruslah jadi moderat. Definisi moderat sendiri tidak jelas dan bias. 

Karena memang moderat ini bahasa halusnya liberal dan sekuler. Hanya dikemas dengan formula baru oleh Barat penjajah. Mereka penganut paham moderat biasanya mendukung rencana-rencana Barat dan membenci dan memusuhi dakwah Islam.

Dampak Nativisasi dan Moderasi Islam bagi Nusantara

Nativisasi sejarah Islam tampaknya makin marak terjadi. Sebagaimana menganggap jilbab dan kerudung adalah budaya Arab dan mempertentangkan dengan budaya-budaya Jawa atau Nusantara lainnya. Padahal, jilbab dan kerudung adalah bagian syariat Islam, bukan budaya Arab. 

Justru, sebelum Islam datang di Arab, di sana tidak mengenal jilbab dan masih berada di zaman jahiliah. Anehnya, ketika banyak yang berpakaian kebarat-baratan tidak dipermasalahkan, tetapi jika ada yang berpakaian Islami dianggap budaya Arab/asing. Inilah salah satu contoh nyata bentuk nativisasi.

Masih ingat tragedi setahun yang lalu. Ketika aturan kerudung di SMK Negeri 2 Padang terjadi polemik. Di sana bertahun-tahun sudah biasa siswi perempuan baik Muslim dan non-Muslim mengenakan kerudung. Kerudung sudah menjadi budaya dan kearifan lokal, tapi karena sentimen pada Islam dan dalil moderasi beragama. 

Aturan siswi harus menutup aurat dan mengenakan kerudung yang semula wajib menjadi pilihan alias mubah. Pemerintah pusat sampai mengeluarkan SKB tiga menteri untuk merevisi aturan di sana. Sehingga sekarang kerudung bukan wajib, tapi pilihan.

Dari situ saja cukup jelas, adanya kebencian kepada Islam, di sisi lain Islam dibenturkan dengan budaya dan adat istiadat sebelum Islam datang. Ketika Islam sudah menjadi budaya, Islam dibenturkan dengan moderasi beragama. 

Membahas nativisasi dan moderasi Islam di Nusantara tentu memiliki dampak serius yang perlu diwaspadai umat Islam. Berikut ini ada bahaya nativisasi dan moderasi Islam. 

Pertama, umat Islam semakin sekuler. Tujuan nativisasi yang mengerdilkan syariat Islam adalah sekularisasi. Dalam nativisasi nampak, umat diajak kembali ke zaman ketika Islam belum datang, lebih ke arah Hinduisme dengan alasan kearifan lokal. 

Pun moderasi Islam yang memiliki ruh sekularisasi. Moderasi Islam mengajak umat Islam menerima ide-idenya Barat dengan dalil agar tidak menjadi Muslim ekstrem atau radikal, harus moderat dan menerima nilai-nilai Barat. Yakni, sekularisme, liberalisme, dan hedonisme. 

Kedua, melemahkan akidah umat Islam dan bahkan murtad. Bagaimana bisa Muslim yang taat dibenturkan dengan budaya sebelum Islam datang atau budaya-budaya Barat? Ini sama saja ingin umat Islam meninggalkan akidahnya. 

Sebelum Islam datang yang ada adalah zaman jahiliah, begitu juga budaya Barat membawa nilai-nilai jahiliah dan antiIslam. Sebenarnya ini bukti, yang mereka inginkan umat Islam menghamba kepada Tuhan mereka dan meninggalkan keimanannya kepada Allah SWT.

Ketiga, mewujudkan neo-jahiliah. Antara nativisasi dan moderasi, umat Islam seolah-olah diajak kembali ke zaman jahiliah (kegelapan). Gelap tanpa hidayah Allah SWT. Islam datang menyelamatkan umat manusia dari kegelapan ke peradaban yang mulia nan agung. 

Di kala hawa nafsu harus dikendalikan di bawah iman dan takwa kepada Allah SWT, tapi neo-jahiliah membangkitkan liberalisme. Serba bebas, serba boleh, tak peduli halal-haram. Inilah yang menyebabkan manusia terhina karena berbuat hanya menuruti nafsu tanpa menggunakan akalnya.

Keempat, menghambat dakwah Islam. Baik nativisasi maupun moderasi tujuan utamanya adalah menghambat kembalinya peradaban Islam. Kedengkian kaum kafir dan munafik kepada Islam melakukan berbagai cara untuk menyesatkan manusia agar terus menghamba kepada hawa nafsunya, bukan penghambaan sejati kepada Allah SWT. Selain itu, Barat penjajah tidak ingin umat manusia terbebas dari penjajahan yang mereka lakukan secara sistematis. 

Kelima, melanggengkan penjajahan. Jika umat masih belum bisa berislam secara kaffah dan diatur dalam lingkup syariat Islam secara totalitas ini menunjukkan bahwa umat Islam masih terjajah ide-ide kufur. Memang ide-ide kufur sekarang dibungkus dengan apik dan menarik, sehingga orang yang mengikutinya tidak sadar telah mengikuti langkah-langkah setan. 

Oleh karenanya, mengingat surah Al-Baqarah ayat 208 difirmankan: Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.

Telah jelas, umat Islam diseru untuk berislam kaffah, bukan setengah-setengah, bukan tengah-tengah, dan dilarang kembali ke peradaban jahiliah sebelum Islam datang. Oleh sebab itu, jadi PR bersama untuk mewaspadai upaya nativisasi dan moderasi Islam.

Strategi Islam dalam Menyikapi Nativisasi dan Moderasi Islam di Nusantara

Menyikapi berdengungnya suara sumbang nativisasi sejarah Islam dan getolnya moderasi Islam dikampanyekan, tidak lain tidak bukan adalah dengan dakwah. Ya, tidak ada cara lain selain dengan dakwah dan dakwah hinggak kehidupan Islam terwujud dalam naungan Khilafah Islamiah. 

Terkait nativisasi sejarah Islam, pertama, umat Islam harus membongkar upaya penjajah yang membuat umat semakin sekuler. Karena sejatinya, hidden agenda dari nativisasi adalah umat manusia tetap terjajah dengan berbagai pemahaman yang didiktekan penjajah. 

Sebagaimana yang terjadi sekarang, aturan dan hukum yang diterapkan sejatinya masih warisan Belanda. Tetapi, anehnya tidak ada yang menyadarinya, hal itu adalah bentuk penjajahan secara sistematis. 

Begitu juga, para pemegang kekuasaan, tidak sedikit mereka ketika akan membuat undang-undang justru meminta masukan dan menjadikan Barat sebagai referensi. Aneh! Mengapa tidak berkiblat kepada aturan Islam yang terbukti sukses membangun peradaban manusia selama 1300 tahun. Yakni, Khilafah Islamiah.

Kedua, menjelaskan fakta-fakta empiris dan historis peran umat Islam dahulu dalam membebaskan Nusantara dari penjajahan. Selama ini banyak sekali perang umat Islam yang dikubur dan dikaburkan. Seolah-olah umat Islam tak memiliki andil dalam perjuangan kemerdekaan. 

Sentimen dan islamofobia membuat tokoh-tokoh Islam dikerdilkan perannya, justru yang dijadikan pahlawan dan disematkan dalam buku-buku sejarah adalah tokoh-tokoh sekuler. Ini perlu diungkap dengan jujur dan adil. Harapannya, agar tidak mendiskreditkan Islam lagi.

Ketiga, umat Islam harus mengungkap dan menghadirkan kepada umat,m tentang jejak khilafah Islam di Nusantara. Dengan ini umat Islam di Nusantara tidak kehilangan identitas dan jati dirinya. Bahwa jati dirinya sejak zaman nenek moyang adalah jihad melawan penjajah. Selain itu, tidak ada kolaborasi ataupun apresiasi terhadap paham-paham kufur yang dibawa penjajah. 

Umat Islam harus tahu, Nusantara menjadi negeri mayoritas penduduk Muslim ini karena dakwah khilafah Islam pada zamannya. Sungguh kedekatan Nusantara dengan khilafah Islam tidak terbantahkan. Belum lagi banyak saksi bisu yang masih bisa dilihat sampai sekarang. Hubungan Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani harus dijelaskan secara gamblang tanpa tedeng aling-aling. Agar umat tidak lupa siapa jati dirinya.

Terkait moderasi Islam, strategi Islam dalam menghadang dan menghadapi gagasan ini tidak lain tidak bukan dengan terus-menerus menjelaskan bahwa moderasi Islam ini bertentangan dengan ajaran Islam. 

Sebagaimana yang disebutkan di atas, dakwah Islam kaffah harus senantiasa dikumandangkan agar umat tidak semakin tersesatkan oleh sekularisme dan liberalisme. Tujuan utama dakwah Islam kaffah adalah kembalinya peradaban Islam di bawah naungan khilafah. Sungguh hanya dengan khilafah, Nusantara menjadi negeri yang diberkahi Allah SWT dan bebas dari penjajahan dalam bentuk apa pun.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Spirit islamofobia dan antiIslam inilah yang menyebabkan nativisasi dan moderasi Islam digalakkan. Hal ini nyata adanya sejak zaman dulu hingga sekarang. Aroma kebencian ingin mengkerdilkan Islam dengan mengajak umat manusia kembali ke budaya atau nilai-nilai sebelum Islam datang (nativisasi) dan mengajak umat menerima ide-ide Barat dengan dalil moderasi beragama. 

Barat tahu, hanya Islam yang mampu membebaskan Nusantara dari neo-imperialisme. Karenanya, umat diajak meninggalkan Islam, karena sejatinya tujuan mereka adalah umat Islam tetap dalam belenggu penjajahan Barat.

2. Dampak nativisasi dan moderasi Islam tampak nyata. Yang mereka inginkan adalah, umat semakin sekuler, kembali jahiliah, menerima nilai-nilai Barat (kufur), dan menjadikan Nusantara tetap di bawah hegemoni penjajah Barat. Oleh karena itu, ini harus dipahami umat Islam dan jangan sampai terperdaya dengan agenda permurtadan akidah Islam melalui nativisasi dan moderasi Islam.

3. Strategi Islam dalam menyikapi nativisasi dan moderasi Islam adalah dengan dakwah. Dakwah mengajak kepada Islam kaffah hingga kehidupan Islam terwujud dalam naungan Khilafah Islamiah. Sejarah Islam dan peran Islam dalam membebaskan Nusantara dari penjajahan harus diungkap. Hubungan Islam dengan kekhilafan pada zaman dulu harus dibeberkan ke umat agar umat Islam tidak kehilangan identitasnya. 


Oleh: Ika Mawarningtyas
Analisis Muslimah Voice dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo


#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar