Hukuman Mati Terganjal HAM: Inikah Bukti Kegagalan Sistem Demokrasi Sekuler Menjerakan Penjahat?


TintaSiyasi.com -- Dua jenis kejahatan tingkat berat yang hari ini semakin marak, terus berulang, dan bahkan semakin meningkat tajam, adalah korupsi yang banyak dilakukan oleh pejabat yang sedang berkuasa dan kekerasan seksual yang sudah merebak di semua lapisan, baik pelakunya dari keluarga sendiri, dari instansi pendidikan, atau bahkan dilakukan oleh para aparat penegak hukum hingga pejabat.

Banyak pihak meyakini bahwa kejahatan yang kian merebak ini, diakibatkan hukuman yang dianggap belum menjerakan bagi pelaku kejahatan dan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. 

Ini tentu membuat publik mempertanyakan, bagaimana upaya hukum dalam sistem kehidupan hari ini yaitu demokrasi sekuler menciptakan hukuman bagi pelaku kejahatan yang mampu menjerakan sekaligus dapat mencegah timbulnya kejahatan berulang?

Pasalnya, ketika muncul tuntutan hukuman mati dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus korupsi ASABRI, Heru Hidayat dan Herry Wirawan, terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati terganjal Hak Asasi Manusia (HAM). 

Sudah menjadi lumrah dalam sistem demokrasi ini mengatasnamakan HAM, setiap orang bebas (liberal) berbuat sekehendaknya. Bahkan pelaku kejahatan, yang telah jelas-jelas melanggar hak asasi orang lain pun, dilindungi olehnya. 

Sistem demokrasi yang diterapkan hari ini, dengan pandangan sekulernya (pemisahan urusan duniawi dengan urusan agama, membiarkan segala urusan duniawi menjadi urusan negara, sedangkan agama hanya boleh mengurusi urusan ibadah dan akhirat saja) dan liberalnya (mengagung-agungkan kebebasan), secara bersamaan beriringan memberi peluang menciptakan kejahatan yang kian berulang dan sekaligus sistem hukumnya tidak mampu memberikan efek jera dan mencegah kejahatan. Inikah bukti bahwa sistem demokrasi sekuler cacat dan gagal menjerakan penjahat?

Sistem Demokrasi Sekuler Gagal Menciptakan Hukuman yang Menjerakan dan Mencegah Kejahatan Berulang

Hidup di bawah perlindungan dan terjamin keamanannya adalah hak setiap individu yang menjadi kewajiban bagi penguasa selaku pelayan masyarakat. Namun kenyataannya, hidup dalam naungan sistem demokrasi sekuler, tindak kejahatan semakin marak. Dan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan tajam, semakin merebaknya tindak korupsi dan kekerasan seksual.

Mengiringi terbitnya Permendikbud Ristek PPKS, muncul ke permukaan para korban kasus kekerasan seksual berani mengadukan gugatannya. Bahkan, Komnas Perempuan menyebutkan kasusnya melonjak dua kali lipat jika dibandingkan dengan aduan yang pihaknya terima pada 2020. Ada 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan selama Januari hingga Oktober 2021 (CNN Indonesia). 

Belum lagi disinyalir bahwa masih banyak korban lain yang tidak berani mengajukan gugatan. Yang lebih mengejutkan publik, terbongkar kasus pelecehan seksual terhadap 13 santriwati yang dilakukan oleh Herry Wirawan. Momen ini menjadikan para pegiat gender untuk mendesak pengesahan RUU TPKS.

Banyak pihak menginginkan kasus kekerasan seksual ini dapat ditekan, dan pelaku mendapatkan hukuman yang menjerakan sekaligus tak akan terulang kembali kejahatan yang sama. Namun, ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa kekerasan seksual terhadap 13 santriwatinya, Herry Wirawan, dengan tuntutan hukuman mati, telah menimbulkan polemik dan mendapat penolakan. 

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menolak tuntutan hukuman mati tersebut. Komnas HAM menentang pemberlakuan hukuman mati untuk kejahatan apapun termasuk kekerasan seksual. Menurutnya, hak hidup dalam hak asasi manusia adalah salah satu hak yang paling mendasar. Hak tersebut tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun (non derogable rights). Menurut Beka, hukuman yang layak bagi Herry adalah penjara seumur hidup (Tirto.id, 13/1/2022).

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga berpandangan hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Siti menilai Herry mesti direhabilitasi agar mampu mengubah cara pandangnya terhadap wanita dan kesadarannya mesti dibangun, sehingga timbul kesadaran bahwa perbuatannya merugikan korban dan diri sendiri (Tirto.id, 13/1/2022).

Penolakan tersebut mendapat kritik tajam dari Hidayat Nur Wahid (HNW). Ia mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak. 

Ia mengingatkan mereka agar konsisten dengan menghormati dan melaksanakan prinsip konstitusi bahwa Indonesia adalah Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Ia menyatakan bahwa meski UUD NRI 1945 memberikan jaminan terhadap hak hidup sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28I, tetapi pelaksanaan hak hidup itu dibatasi oleh Pasal 28J ayat (2) tersebut. Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak telah dengan jelas mencantumkan beberapa ketentuan hukuman mati terhadap kejahatan serius terhadap anak (Tribunnews, 15/1/2022).

Kemudian, kejahatan berat yang mengakibatkan kerugian negara adalah tindak korupsi yang semakin hari semakin meningkat tanpa adanya titik terang keberhasilan upaya pemberantasannya. Yang terpampang nyata, semakin melemahnya lembaga yang ditunjuk untuk melakukan pemberantasan tindak korupsi.

Masih kental dalam ingatan, Eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara didakwa menerima suap mencapai Rp32,482 miliar dari sejumlah penyedia barang Bantuan Sosial (Bansos) sembako penanganan Pandemi Covid-19. 

Vonis kasus korupsi Bansos Juliari Batubara mendapat pertimbangan keringanan hakim karena cercaan dan hinaan dari masyarakat. Pada 23 Agustus 2021, Juliari beroleh putusan untuk dihukum penjara selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta, serta pidana pengganti sejumlah Rp14,5 miliar.

Selanjutnya, dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, BPK pada 2020 menaksir sementara kerugian negara sebesar Rp 16,8 triliun. Adapun putusan Mahkamah Agung ini, yaitu Heru Hidayat dan Benny Tjokcrosaputro dijatuhi hukuman pidana seumur hidup, serta pidana tambahan berupa denda uang pengganti senilai Rp 10,78 triliun (Heru) dan Rp 6,078 triliun (Benny). 

Sementara itu, terpidana direksi Jiwasraya, Hary Prasetyo, Hendrisman Rahim, dan Joko Hartono Tirto dijatuhi pidana penjara selama 20 tahun. Sedangkan Syahmirwan dihukum pidana penjara selama 18 tahun. Keempat terpidana ini dijatuhi pula pidana denda senilai Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Sedangkan dalam tindak pidana korupsi Asabri, Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, total nilai pasti kerugian negara mencapai Rp 22,78 triliun. Meskipun JPU mengajukan tuntutan hukuman mati, pada akhirnya Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur memberikan vonis nihil terhadap terdakwa kasus korupsi PT Asabri (Persero), Heru Hidayat dengan uang pengganti sebesar Rp 12,64 triliun. 

Vonis itu dilakukan lantaran Heru sudah mendapat vonis maksimal di kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Sedangkan, dua eks Direktur Utama (Dirut) PT Asabri selaku terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi PT ASABRI dijatuhi vonis hukuman 20 tahun penjara. 

Inilah sistem demokrasi sekuler, hukum yang dibuat oleh pemikiran manusia yang terbatas terbukti cacat dan gagal mewujudkan harapan menciptakan hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Faktor-faktor yang mengindikasi kecacatan dan kegagalan sistem demokrasi sekuler, di antaranya:

Pertama, upaya tuntutan hukuman berat, seperti hukuman mati, terganjal oleh komitmen penegakan HAM. Padahal jika berbicara HAM, seharusnya disadari bahwa para pelaku kejahatan itu nyata-nyata melanggar HAM orang lain. 

Pelaku kekerasan seksual, telah mengambil hak hidup tenang dan rasa aman dalam jiwa para korban. Begitu pula para pelaku tindak korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar, juga mengambil hak bagi rakyat untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak, sebagai akibat dari kerugian keuangan negara.

Kedua, hukuman dalam sistem buatan manusia cenderung penuh kepentingan. Ini tidak dapat dipungkiri, telah banyak didapati fakta bahwa penegakan hukum dalam sistem demokrasi sekuler jauh dari rasa keadilan. Bahkan, ketidakadilan itu terpampang nyata ketika pelaku kejahatan itu berada dalam lingkaran kekuasaan.

Ketiga, hukuman dalam sistem demokrasi sekuler penuh keraguan dan alasan-alasan yang terkungkung oleh pemikiran manusia yang terbatas. Saat manusia berusaha menciptakan hukum bagi diri mereka sendiri, akan banyak keraguan-keraguan dan pertimbangan-pertimbangan yang berbeda-beda. 

Contohnya penolakan hukuman mati, dianggap tidak manusiawi dan tidak tepat. Mereka berargumen menurut kepentingan dan pandangan masing-masing.

Keempat, hanya menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi/hukuman. Hukuman dalam sistem demokrasi sekuler hanya berkutat pada hukuman kurungan, sehingga seiring semakin banyaknya tindak kriminal, muncul masalah baru, lapas-lapas semakin penuh dan tidak layak huni. 

Kelima, tidak mampu menciptakan lingkungan mendukung agar kejahatan tidak merajalela. Sebagai contoh merebaknya kekerasan seksual, faktor pemicu utamanya adalah gaya hidup liberal dan sekuler. Lalu, bagaimana bisa sistem ini menyelesaikan persoalan ini, ketika sumber pemicu utamanya adalah cara pandang dari sistem demokrasi sekuler ini?

Sistem demokrasi sekuler cacat dan gagal menciptakan hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Faktor-faktor di atas semakin menampakkan kecacatan dan kegagalan sistem ini.

Sistem Demokrasi Sekuler Meniscayakan Kejahatan Berulang

Sistem demokrasi sekuler cacat dan gagal menciptakan hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Bukti dan sekaligus dampak nyata dari kegagalannya tampak jelas dengan semakin meningkatnya kasus kejahatan tersebut. 

Kegagalan ini terlihat pada kasus kekerasan seksual yang menimpa anak perempuan maupun perempuan semakin meningkat tajam dari waktu ke waktu. Dilansir dari CNN Indonesia, Kamis (09/12/2021), Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Pribudiarta N. Sitepu menyebut ada peningkatan tren kasus kekerasan pada perempuan dan anak dalam kurun waktu 2019-2021.

Berdasarkan pengumpulan data milik KemenPPPA, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Pada anak-anak, kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebesar 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen. Kekerasan jenis lainnya pada anak berupa penelantaran, trafficking, eksploitasi ekonomi, dan lain-lain.

Sementara pada kasus kekerasan yang dialami perempuan, KemenPPPA mencatat juga turut mengalami kenaikan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan. Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus. Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, selain itu ada kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.

Bahkan yang menjadi tren akhir-akhir ini, kasus kekerasan pada perempuan dan anak banyak terungkap melalui media sosial. Bersama tren ini, jumlah aduan yang diterima Komnas Perempuan melonjak dua kali lipat jika dibandingkan dengan aduan yang pihaknya terima pada 2020. Ada 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan selama Januari hingga Oktober 2021.

Begitu pula dengan kasus tindak pidana korupsi, sistem demokrasi sekuler seakan menciptakan iklim subur bagi kejahatan ini. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2020. Dan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun dan total kerugian negara akibat tindak pidana suap mencapai Rp 322,2 miliar (Kompas.com, 9/4/2021).

Laporan berikutnya, ICW menunjukkan, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 26,83 triliun pada semester 1 2021. Jumlah ini meningkat 47,63 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 18,17 triliun. Jumlah kasus korupsi yang berhasil ditemukan aparat penegak hukum (APH) pada periode tersebut adalah sebanyak 209 kasus dengan jumlah 482 tersangka yang diproses hukum (Databoks, 13/9/2021).

Sistem demokrasi sekuler meniscayakan kejahatan berulang. Inilah dampak nyata kegagalan sistem demokrasi sekuler dalam menciptakan hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. 

Sepanjang peradaban yang diciptakan dalam sistem demokrasi sekuler, kejahatan terus merebak, hukumannya tak memiliki efek jera, apalagi mencegah kejahatan berulang. Kejahatan terus berulang dan semakin meningkat. 

Strategi Menciptakan Hukuman yang Mampu Menjerakan dan Mencegah Kejahatan Berulang

Hukum buatan manusia digunakan untuk menghukum manusia, ini meniscayakan kecacatan dan kegagalan sistem demokrasi sekuler. Dengan faktor-faktor pemicu kecacatan dan kegagalan yang dipaparkan di poin sebelumnya, maka strategi untuk menciptakan hukuman yang mampu menjerakan dan mencegah kejahatan berulang kembali haruslah sistem yang mampu memangkas kemunculan seluruh faktor-faktor pemicu tersebut, di antaranya:

Pertama, hukum bagi manusia seharusnya diciptakan oleh sesuatu yang tidak memiliki kepentingan apapun, sehingga terbebas dari tekanan dari pihak manapun. Dan tidak ada yang terbebas dari kepentingan apapun, selain hukum dari Ilahi.

Kedua, hukum bagi manusia seharusnya dibuat oleh sesuatu yang benar-benar memahami kelemahan dan segala sesuatu yang terbaik bagi manusia. Dan tidak ada yang lebih memahami sesuatu, kecuali Penciptanya.

Ketiga, hukum bagi manusia seharusnya benar-benar memberikan pengampunan baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga menjadikan pelaku kejahatan rela dihukum demi memperoleh pengampunan yang hakiki.

Keempat, hukum bagi manusia seharusnya benar-benar memberikan rasa keadilan, tak ada yang terzalimi, baik bagi korban maupun pelaku. Dan tak ada yang lebih adil daripada Dzat yang Mahaadil.

Sungguh, hukum dari sistem buatan manusia hanya dapat dipatahkan kelemahannya oleh hukum dari sistem yang menciptakan manusia, sistem yang bersumber dari wahyu, yaitu Islam. 

Islam bukan sekadar agama, melainkan juga sistem kehidupan, yang di dalamnya terdapat seperangkat aturan bagi manusia, baik bagi Muslim maupun non-Muslim, yang diturunkan oleh Allah SWT, Pencipta manusia, yang berhak mengatur manusia.

Sistem kehidupan ini telah dipraktikkan lebih dari 13 abad di atas muka bumi. Dalam sejarah panjangnya telah membuktikan keampuhannya menyelesaikan problematika umat manusia. Hukum yang terpancar darinya, mampu memberikan rasa keadilan, mampu menjerakan dan mencegak kejahatan berulang, sekaligus mampu menjamin pengampunam di dunia dan akhirat. 

Yang terpenting, sistem Islam bukan sekadar memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan, namun juga menciptakan lingkungan yang mampu menghindarkan munculnya kejahatan.

Dalam beberapa kisah-kisah yang mahsyur dapat melihat keunggulan hukum dalam sistem Islam bagi umat manusia:

Pertama, hukuman yang memberikan pengampunan di dunia dan akhirat telah mengantarkan seorang perempuan pezina rela menghadap Rasulullah SAW mengharap untuk disucikan dirinya dari dosa-dosanya. 

Keadilan sistem Islam, tak langsung serta merta menghukum perempuan tersebut. Dibiarkan perempuan tersebut hingga melahirkan, kemudian saat perempuan itu kembali setelah melahirkan, Beliau meminta perempuan itu kembali hingga menyapih anaknya, dan setelah selesai menyapih, perempuan itu kembali kepada Rasulullah SAW. 

Meski dengan berat karena harus memisahkan ibu dan anak, namun Rasulullah SAW menunaikan perintah Allah SWT, kemudian merajam dan wafat dalam keadaan bertaubat. Jaminan pengampunan di dunia dan akhirat inilah yang menjadikan pelaku kemaksiatan/kejahatan rela untuk diberikan hukuman.

Kedua, hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Ini juga telah terbukti nyata, selama rentang panjang selama berabad-abad sejarah tegaknya sistem Islam. Hukumannya yang tegas dan adil mampu menjerakan pelaku kejahatan dan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. 

Semasa Khilafah Utsmaniyah dengan rentang kurang lebih 500 tahun, angka kriminalitas yang terjadi menurut catatan sejarah dari Universitas Malaya Malaysia, sepanjang kurun waktu itu hanya ada sekitar 200 kasus yang diajukan ke pengadilan. Jumlah ini sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan tindak kriminalitas yang terjadi saat ini.

Ketiga, hukuman yang memberikan rasa keadilan, diputuskan sesuai perintah Allah SWT, tidak terpengaruh oleh kepentingan manapun.

Telah mahsyur kisah baju besi Ali yang dicuri oleh seorang Yahudi. Namun saat itu qadhi/hakim dengan keimanannya memutuskan dengan keadilan hukum Islam, tanpa ada kepentingan-kepentingan lainnya dan saat itu Ali adalah seorang khalifah. 

Meskipun baju besi tersebut benar milik Ali, namun karena Ali sebagai pemilik baju besi tidak dapat membuktikan, qadhi memutuskan bahwa orang Yahudi lah pemilik baju besi tersebut. Karena keadilan sistem hukum ini, menjadikan orang Yahudi tersebut akhirnya mengakui bahwa baju besi tersebut adalah milik Ali, dan menyatakan diri masuk Islam.

Begitu juga dengan kisah mahsyur di masa Khalifah Umar, seorang Yahudi yang merasa terzalimi karena gubug reyotnya digusur untuk didirikan masjid megah oleh Gubernur Mesir, Amr ibn al-Ash. Ia mendatangi Umar di Madinah untuk meminta keadilan, kemudian oleh Umar diberilah dia tulang kering yang telah Beliau gores dengan huruf alif. 

Sang Khalifah hanya berpesan, “Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Amr ibn al-Ash!”. Dengan keheranan, orang Yahudi tersebut kembali ke Mesir dan menyerahkan tulang kering tersebut kepada Gubernur Amr. Begitu Amr menerima tulang itu, mendadak tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat ketakutan. Kemudian, Amr memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar masjid yang baru siap itu, dan supaya dibangun kembali gubuk orang Yahudi tersebut. 

Sebelum masjid baru dirobohkan, orang Yahudi dengan penuh keheranan menanyakan perihal tulang tersebut. Kemudian Amr, menjelaskan maksud dari Khalifah Umar, bahwa tulang itu berisi ancaman Khalifah. 

Seolah-olah beliau berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”. Pada akhirnya, dari keadilan yang diperoleh oleh orang Yahudi tersebut, ia rela mewakafkan tanahnya untuk masjid dan kemudian memeluk Islam.

Keempat, mampu menciptakan lingkungan yang mengkondisikan manusia agar kejahatan tidak merajalela. Sistem Islam mewajibkan penguasa untuk menjadi pelayan bagi rakyatnya, meriayah setiap urusan rakyatnya, memenuhi kebutuhan dasarnya, sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan. 

Menciptakan lapangan pekerjaan agar para pencari nafkah dapat mudah memenuhi kewajibannya, mengkondisikan sistem sosial berjalan sesuai aturan Islam, berikut di semua lini diatur sesuai dengan aturan Islam. Sehingga tidak membuka celah peluang munculnya kejahatan.

Begitu juga terdapat kisah mahsyur, ketika terjadi paceklik di masa Khalifah Umar, akibat ketidakmampuan penguasa memenuhi kebutuhan rakyat yang terdampak bencana paceklik, Khalifah Umar di masa itu menghapus sementara hukuman potong tangan bagi pencuri.

Itulah sedikit yang bisa dipaparkan penulis, bagaimana ketegasan dan keadilan hukum dalam sistem yang diwahyukan oleh Rabb seluruh manusia. Kesombongan manusia untuk membuat hukum bagi diri mereka sendiri telah menghasilkan kerusakan di semua lini kehidupan. Sudah saatnya untuk bertaubat dan kembali kepada aturan Ilahi sebelum kehancuran manusia yang lebih dalam.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sistem demokrasi sekuler cacat dan gagal menciptakan hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Faktor-faktor kecacatan dan kegagalan: Pertama, upaya tuntutan hukuman berat, seperti hukuman mati, terganjal oleh komitmen penegakan HAM. 

Kedua, hukuman dalam sistem buatan manusia cenderung penuh kepentingan. Ketiga, hukuman dalam sistem demokrasi sekuler penuh keraguan dan alasan-alasan yang terkungkung oleh pemikiran manusia yang terbatas. Keempat, hanya menggantungkan solusi kejahatan pada sanksi/hukuman. Kelima, tidak mampu menciptakan lingkungan mendukung agar kejahatan tidak merajalela.

2. Sistem demokrasi sekuler meniscayakan kejahatan berulang. Inilah dampak nyata kegagalan sistem demokrasi sekuler dalam menciptakan hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Sepanjang peradaban yang diciptakan dalam sistem demokrasi sekuler, kejahatan terus merebak, hukumannya tak memiliki efek jera, apalagi mencegah kejahatan berulang. Kejahatan terus berulang dan semakin meningkat. 

3. Strategi menciptakan hukuman yang mampu menjerakan dan mencegah kejahatan berulang hanya bisa didapat dari sistem yang bersumber dari wahyu, sistem yang diturunkan oleh Tuhan Pencipta manusia, yaitu sistem Islam. 

Sistem yang mampu mematahkan faktor-faktor pemicu kecacatan dan kegagalan sistem buatan manusia. Pertama, hukuman yang memberikan pengampunan di dunia dan akhirat. Kedua, hukuman yang menjerakan dan mencegah kejahatan berulang. Hukumannya yang tegas dan adil mampu menjerakan pelaku kejahatan dan mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. 

Ketiga, hukuman yang memberikan rasa keadilan, diputuskan sesuai perintah Allah SWT, tidak terpengaruh oleh kepentingan manapun. Keempat, mampu menciptakan lingkungan yang mengkondisikan manusia agar kejahatan tidak merajalela.

Kesombongan manusia untuk membuat hukum bagi diri mereka sendiri telah menghasilkan kerusakan di semua lini kehidupan. Sudah saatnya untuk bertaubat dan kembali kepada aturan Ilahi sebelum kehancuran manusia yang lebih dalam.



Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar