TintaSiyasi.com -- Setiap menjelang Nataru (Natal dan Tahun Baru) masyarakat kerap dihadapkan pada realitas yang terus berulang yakni meroketnya harga komoditas bahan pokok. Seperti yang terjadi saat ini, harga minyak goreng, telur, dan cabai dari hari ke hari kian merangkak naik. Kenaikan harga bahan pangan tersebut diperkirangan akan terus berlangsung hingga Januari ini.
Peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai ditingkat konsumen telah menembus Rp 100. 000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30. 000 per kilogram. Kenaikan ini sudah melewati batas psikologis tapi ini tidak perlu dikhawatirkan. Andreas menjelaskan kenaikan harga cabai ini dipicu fenomena alam la nina yang membuat para petani banyak mengalami gagal panen. Sementara permintaan di akhir tahun selalu tinggi, sehingga hukum ekonomi berlaku (Liputan6.com).
Dengan terus naiknya harga bahan pangan di tengah masyarakat maka sudah barang tentu akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena adanya ketidakseimbangan antara kemampuan daya beli masyarakat dengan tingginya harga bahan pokok tersebut. Masyarakat semakin terbebani dengan terus meroketnya komoditas bahan pangan di setiap akhir tahun, ataupun menjelang hari raya. Terlebih lagi dalam masa pandemi yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Semakin bertambah pula lah derita rakyat. Pemerintah seolah tidak pernah mampu mangantisipasi padahal kondisi seperti ini terjadi setiap tahunnya.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan harga pangan bukan tanpa sebab, karena pemerintah tidak dapat menguasai produksi pangan sepenuhnya. Hal ini karena tata kelola perekonomian bercorak kapitalisme liberal. Sistem perekonomian saat ini menjadikan negara tidak memiliki peran dalam menjaga stabilitas harga dan tunduk di bawah kuasa korporasi. Yang terjadi saat ini pihak-pihak yang sebenarnya memiliki kuasa atas kendali harga komoditas bahan pokok, kepemilikan lahan, penguasaan rantai produksi dan distribuasi semuanya dalam kendali dan penguasaan korporasi.
Carut marutnya harga pangan yang terus berulang ini tidak lain merupakan buah dari diterapkannya sistem busuk kapitalisme liberal di negeri ini. Selama asas dari sistem kuffar ini terus diterapkan maka kerusakan dan derita di negeri ini tak akan pernah usai dan terus menjadi-jadi. Kesejahteraan dan kemakmuran dalam sistem kapitalisme sekuler hanya laksana mimpi di siang bolong dan tak akan pernah terealisasi.
Masalah teknis pemenuhan pangan di negara ini seharusnya tidak perlu terjadi dan stabilitas harga pangan bagi warga bisa terwujud jika saja negara dapat berdaulat dan tidak dibayang-bayangi oleh korporasi. Akan berbeda halnya jika penerapan ekonomi diadopsi dari Islam. Islam memposisikan pemerintah sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari: “Imam ( khilafah) adalah raain (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya“.
Pada sistem Islam dalam rangka menjaga stabilitas harga, kebijakan yang akan diambil antara lain memastikan ketersediaan stok bahan pokok tetap terjaga, sehingga antara penawaran dan permintaan menjadi stabil, hal ini diwujudkan dengan cara menjamin proses produksi pertanian dalam negeri dapat berjalan secara maksimal, mengejar hasil produksi pertanian yang tinggi dan berkualitas dengan implementasi hasil riset dari para pakar dan ahli di bidangnya. Selain itu negara juga akan senantiasa menjaga tata kelola perdagangan dengan melarang praktik penimbunan barang, melarang segala bentuk praktek ribawi, kegiatan monopoli dalam perdagangan, kartel, praktik tengkulak, dan sebagainya. Di tempat umum dan di Pasar-pasarnya juga akan terdapat Qadhi Hisbah yang tugasnya mengawasi proses perniagaan dan memberikan sanksi pada siapa pun yang melanggar ketetapan syariah pada kegiatan muamalah. Tugas Qadhi Hisbah juga mengawasi setiap produk makanan yang dijual di pasar, apakah makanan-makanan tersebut halal dan thayyib ataukah sebaliknya. Pemerintah dalam sistem Islam tidak mengambil kebijakan penetapan harga, sebab hal ini dilarang sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harga atas mereka maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari Kiamat kelak.“ (Hadist Riwayat Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
Adapun operasi pasar yang dimaksud dalam Islam, hal itu merupakan bentuk kebijakan yang orientasinya berupa pelayanan, bukan untuk transaksi bisnis. Adapun sasaran dari operasi pasar tersebut yakni para pedagang dengan menyediakan stok bahan pangan yang memadai agar penjual bisa membeli dengan harga murah dan dapat dijual kembali kepada konsumen agar tetap terjangkau. Jika ketersediaan stok pangan dalam negeri tidak memadai maka negara akan melakukan impor temporer agar tetap stabil dan tidak ketergangtungan pada negara lain.
Demikianlah bagaimana Islam mengatur sistem perniagaan dengan begitu paripurna. Karena aturan tersebut datang dari yang Mahasempurna Allah SWT, bukan hasil pemikiran manusia yang memiliki kemampuan dan akal yang terbatas. Segala hal yang datang dari Allah dan datang dari keridhaan Allah maka akan selalu membawa kebahagian yang hakiki dan kemaslahatan bagi hamba-Nya. Namun jika aturan itu merupakan produk akal dari manusia bukan dari Islam yang terjadi hanya kerusakan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, marilah kita rapatkan barisan berjuang demi terwujudnya Islam kaffah.
Wallahu a`lam bishshawab. []
Oleh: Iis Kurniawati, S.Pd.
Sahabat TintaSiyasi
0 Komentar