TintaSiyasi.com -- Saat konferensi pers di Kantor Pusat Bulog, Selasa (28/12), Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp 13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton. Utang dan bunga tersebut semakin menggunung karena pemerintah belum membayar utang ke Bulog sebesar Rp 4,5 triliun.
Anehnya, Perum Bulog justru berencana akan kembali mengambil utang pada 2022 jika mendapatkan penugasan dari pemerintah. Padahal utang dan bunga yang sebelumnya belum tuntas. Beginilah perputaran ekonomi kapitalis yang berbasis pada utang dan bunga (riba).
Tidak hanya persoalan beras. Membangun infrastruktur (seperti jalan, bendungan), dan mendirikan ibukota baru pun mengandalkan dana utang. Seolah-olah, tanpa utang negeri ini tidak akan bisa maju. Jelas ini adalah upaya untuk menjerumuskan negara dan rakyat dalam kesengsaraan yang berkepanjangan.
Penguasa negeri ini harusnya menyadari bahwa utang dan riba adalah salah satu alat penjajahan yang digunakan untuk menjerat dan menyengsarakan suatu negara secara bekepanjangan. Strategi ini biasanya ditujukan kepada negara-negara berkembang dan miskin. Para penjajah menyakini bahwa sekali mereka terjerat utang maka selamanya tidak akan pernah bisa keluar darinya (utang).
Terbukti utang negara dari tahun ke tahun terus bertambah. Setiap ada program atau proyek baru, pasti mengandalkan utang. Lambat laun cara seperti ini akan mendatangkan kehancuran. Satu per satu aset negara dijual demi membayar utang. Bayangkan jika semua aset negara telah berpindah kepemilikannya menjadi milik asing! Maka itu artinya negara ini telah benar-benar dikuasai asing sepenuhnya. Kita kembali terjajah!.
Langkah mengambil utang yang berbasis riba ini harus segera ditinggalkan. Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Sumber daya alamnya melimpah, sumber daya manusianya juga banyak. Namun jika pengelolaannya diserahkan kepada sistem kapitalisme maka utang adalah jalan keluarnya.
Akan tetapi jika kita mau berubah ke arah yang lebih baik, maka tinggalkanlah sistem kapitalisme yang hanya menyisakan kepedihan dan kesengsaraan. Cukup sampai di sini! Masih ada alternatif lain untuk menyelamatkan negeri ini dari jeratan utang yang terus menggunung, yakni sistem Islam.
Sistem Islam adalah seperangkat aturan yang bersumber dari Sang Pencipta yang mencakup aturan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia lainnya. Semua tercakup di dalam sebuah sistem yang paripurna.
Islam telah menetapkan bahwa haram hukumnya mengambil riba dan melibatkan diri dengan riba. Keharamannya sudah jelas di dalam Al-Qur'an dan hadis Rasulullah SAW. Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, dan setiap kegiatan usaha haruslah berdasarkan prinsip syariah.
Dahulu sebelum Islam datang, para pedagang Makkah sering mengkreditkan modalnya kepada orang lain dengan cara riba demi memperoleh keuntungan dalam jumlah yang lebih besar. Kebiasaan riba jahiliah ini kemudian dihilangkan dengan pemberlakuan sistem Islam.
Selain itu Islam juga melarang aktivitas jual beli utang dengan utang, sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat al-Daruquthny bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli utang dengan utang. Imam asy-Syafii juga menegaskan di dalam kitab beliau, al-Umm, bahwa:
والمسلمون ينهون عن بيع الدين بالدين
“Orang Islam dilarang jual beli utang dengan utang.” (Imam asy-Syafi’I, al-Umm, Juz 4, halaman 30).
Dalam setiap penerapan sistem Islam pasti mengandung kemaslahatan yang besar. Melakukan aktivitas jual beli utang dengan utang dan riba, jelas sebuah kesalahan besar. Allah SWT menyebutkan dampaknya di dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 275-276: Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran tekanan penyakit gila.
Dengan demikian, menjadikan utang dan riba sebagai solusi adalah awal dari petaka. Kembalilah kepada jalan yang lurus dan penuh keselamatan yakni jalan Islam. Insyaallah akan menjadi berkah dan membawa kepada kesejahteraan. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Meilani Sapta Putri
Sahabat TintaSiyasi
0 Komentar