Bela Allah SWT, Adili Ferdinand Hutahaean


TintaSiyasi.com -- Lagi dan lagi, penistaan agama diduga telah terjadi lagi. Ironis, kasus  sejenis sering menyasar ajaran dan simbol Islam, agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Terakhir, #TangkapFerdinand menjadi trending topic. Menyusul cuitan mantan Politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, Allahmu lemah harus dibela, Allahku luar biasa tak perlu dibela, melalui akun Twitternya @FerdinandHaean3 pada 4 Januari 2022. 

Wajar jika ada pihak yang melaporkan Ferdinand ke kepolisian. Sebab cuitan mengandung SARA ini berpotensi memecah belah kerukunan bangsa dan menjadi sumber kegaduhan nasional. Padahal saat ini masyarakat sedang berjibaku menghadapi pandemi dengan segala dampaknya. Semua pihak semestinya menjaga agar situasi kondusif. 

Ketegasan aparat sangat dinanti dalam penanganan kasus Ferdinand. Patut diapresiasi saat  Bareskrim Polri meningkatkan status penanganan perkara dugaan ujaran kebencian ini dari penyelidikan menjadi penyidikan.  Artinya, penyidik kepolisian menduga ada pelanggaran tindak pidana dalam peristiwa yang dilaporkan tersebut (cnnindonesia.com, 6/1/2022).   

Penistaan terhadap agama dinilai merupakan perbuatan yang merendahkan martaabat agama, termasuk di dalamnya Tuhan, Nabi dan Rasul, kitab dan ajaran-Nya, serta simbol-simbol lahiriah lainnya jika ada. Menyatakan Tuhan Allahmu lemah sehingga perlu dibela itu sangat menistakan agama dalam hal Tuhannya umat Islam. Jelas bahwa Allah Maha Kuat, Allah tidak memerlukan pembelaan dari mahluk-Nya. Namun apakah berarti mahluk tidak boleh membela Allah, Tuhan yang Maha Kuat itu? 

Allah SWT Wajib "Dibela"

Sepak terjang Ferdinand pemain narasi radikal radikul - kadrun yang frontal akhirnya kepleset. Yang tadinya mau mengejek orang yang dituduhnya radikal menjadi mengejek Tuhan dan agama. Dan yang semodel Ferdinand ini banyak serta masih bebas berkeliaran. Atas kenyataan ini, banyak kalangan umat Islam yang merasa gerah. Mengapa? 

Alasan logisnya adalah Allah SWT sebagai The Maker and The Ruler of Universe, termasuk manusia sebagai ciptaan dan di bawah pengaturan-Nya, maka sejatinya tidak sulit bagi Allah SWT untuk mencabut nyawa dan melenyapkan manusia yang membangkang serta merendahkan-Nya. Pun Allah tidak butuh disembah dan dimuliakan oleh manusia. Manusialah yang membutuhkan dan bergantung kepada Dia dengan iman dan takwa yang akan Allah balas di akhirat nanti. Ini prinsip. 

Namun Allah tidak begitu saja membiarkan manusia menyatakan iman, takwa, dan setia, sebelum datang ujian kepadanya. Lalu apa bukti ketiga karakter itu? Allah telah memberi jalan ikhtiar manusia agar menolong, membela Allah dengan cara amar makruf nahi mungkar. Jadi ini bukan berarti Allah kita lemah. 

Allah SWT secara tegas memerintahkan Muslim untuk menjadi penolong (agama)-Nya. Sebagaimana firman Allah,"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para anshorullah/penolong (agama) Allah." (QS. As-Shaff: 14). Menurut Imam An-Nawawi Al-Bantani di dalam tafsirnya, Maraah Labid, jadilah penolong Allah bermakna jadilah penolong agama-Nya. 

Apalagi membela dan menolong agama Allah adalah sarana agar kita mendapatkan pertolongan-Nya. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian." (QS. Muhammad: 7) 

Imam As-Sadi di dalam Tafsir As-Sadi (Taysir Ar-Rahman fi Tafsir Kalaam Al-Mannaan), menjelaskan makna ayat di atas: "Ini merupakan perintah Allah kepada kaum mukmin agar membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya, dan berjihad melawan musuhnya. Semua itu bertujuan untuk mengharap ridha Allah. Jika mereka melakukan semua itu, Allah akan menolong dan mengokohkan kedudukan mereka." 

Dengan demikian, umat Islam wajib menolong (agama) Allah. Bagi para pejuang kebenaran dan keadilan, makar para penentang Allah dan kaum Muslimin justru menjadi ladang pahala dengan melaksanakan nahi mungkar (melalui tangan, lisan, dan doa). 

Jadi, gerah adalah bagian dari ghirah (semangat beragama). Ini wajib sebagai indikator bahwa Islam, iman, dan kesetiaan kita terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya masih ada dalam dada. Bukankah seorang ulama besar, Buya Hamka, pernah berkata, "Jika diam saat agamamu dihina, maka gantilah bajumu dengan kain kafan?” 

Adili Ferdinand

Terkait cuitan SARA tersebut, Ferdinand telah melakukan klarifikasi dan meminta maaf. Sayangnya, kedua tindakan tersebut tidak bisa menghilangkan unsur pidananya. Meskipun begitu harus dipahami bahwa sebenarnya semua perkara pidana atau perdata bisa dilakukan restorative justice. 

Di level dunia, PBB memiliki Resolusi Tahun 2000 tentang Basic Principles of The Use Restorative Justice in Criminal Matters, baik delik aduan atau delik biasa. Syarat utamanya adalah voluntary principle, asas kesukarelaan. 

Para pihak harus sukarela menyelesaikan perkara dengan musyawarah (ofender, victim, society, aparat penegak hukum). Jadi, permintaan maaf apakah cukup atau tidak, tergantung pada: pelapor, polisi, dan masyarakat (wakil). Adapun sesuai SE Kapolri No. 2 Th 2021, untuk kasus ITE bisa dilakukan mediasi, restorative justice. 

Cuitan Ferdinand diduga merupakan kejahatan penodaan agama dan/atau telah menyebabkan kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA. Dia dapat dilaporkan dengan ketentuan Pasal 156a KUHP dan Pasal 45a ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Bunyi Pasal 156a KUHP ialah: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia." 

Adapun bunyi Pasal 45A UU ITE: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." 

Sementara bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)." 

Perilaku Ferdinand yang diduga melakukan tindakan penistaan agama harus ditindaklanjuti. Harus ditindak, itu wajib! Tindakan bisa melalui jalur penal (criminal justice system, perdata) atau jalur non penal (restorative justice system), sebagaimana diatur dalam SE KAPOLRI No. 2 Tahun 2021, khususnya untuk tindak pidana ITE. 

Pembiaran tanpa tindakan hukum akan mendorong pengulangan perbuatan yang sama atau sejenis bahkan kuantitas dan kualitasnya bisa lebih berat. Orang tidak lagi jera dan sadar bahwa perbuatannya itu telah melukai atau merugikan pihak lain.

Maka umat Islam harus berperan kuat, peduli terhadap semua jenis penistaan/pelecehan terhadap agamanya. Aparat penegak hukum juga harus gerak cepat menangani tanpa diskriminasi. Jangan sampai terjebak dalam industri hukum yakni penegakan hukum yang lebih bersifat benefit oriented, bukan pada the trusth and justice. 

Pun polisi harus bertindak adil. Jika menangkap ulama seperti Habib Bahar saja cepat, maka penista agama pun harus ditindak cepat dengan slogan PRESISI-nya: prediktif, responsibilitas, dan transparansi yang berkeadilan. Kita tuntut janji Kapolri, dan umat Islam tidak perlu menunggu ada Demo Bela Allah berjilid-jilid. 

Publik tentu berharap jika Ferdinand terbukti melakukan penistaan agama, maka ia harus diadili. Jangan sampai umat Islam terus kecewa karena para penista agama seperti Abu Janda, Denny Siregar, dan Ade Armando selama ini bebas melenggang. Seolah mereka manusia kebal hukum. Akankah hukum pisau dapur terus berlangsung? Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tajam ke pihak yang berdiri di seberang istana, tumpul bagi para kroni, satu barisan, atau sesama penghuni kolam.  

Tabik...!!!
Jumat, 7 Januari 2022 


Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar