Ahli Fiqih Jelaskan Dua Hukum Syarak untuk Tukar Tambah


TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menyatakan ada dua hukum syarak untuk ketentuan tukar tambah. “Ketentuan hukum syarak untuk tukar tambah, intinya ada dua hukum,” tuturnya dalam Kajian Soal Jawab Fiqih: Hukum Tukar Tambah di saluran Ngaji Shubuh, Kamis (20/01/2022). 

Pertama, hukumnya boleh, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu selain emas, perak, gandum, jewawut (sya’iir), kurma, dan garam. 

“Misalnya, tukar tambah HP, mobil, sepeda motor, sepatu, dan sebagainya. Ini hukumnya boleh (mubah),” ujarnya. 

“Di dalam kitab Al Mausuu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah juz ke-38 halaman 343 mengenai bolehnya tukar tambah untuk barang-barang yang tidak termasuk barang ribawi, dalilnya hadis-hadis Nabi SAW yang membolehkan jual beli barter (bai’ al muqaayadhah), yaitu pertukaran barang dengan barang yang bukan uang (nuquud),” bebernya. 

Ia menukil hadis riwayat Tirmidzi yang terdapat di dalam kitab Nailul Authar karangan Imam Syaukani halaman 1068 hadis nomor 2260 yang membolehkan jual beli barter, antara lain dari Jabir ra bahwa Nabi SAW pernah membeli seorang budak dengan ditukar dua orang budak (anna an Nabiyya SAW isytara ‘abdan bi’abdaini), “Jika jual beli barter terjadi pada barang non ribawi, dibolehkan adanya tambahan uang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan (at tasaawi/at tamaatsul) dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan."

“Syaikh Taqi ‘Utsmani dalam kitabnya Fiqh Al Buyuu’ pada bab Al Muqaayadhah Juz II, halaman 660 berkata, ‘إن كانت املقايضة يف غري األموال الرابوية فال يشرتط التساوي يف البدلني يف القدر أو القيمة وال أن يكون البيع حاا, jika barter dilakukan untuk selain barang-barang ribawi, tidak disyaratkan adanya kesamaan pada dua barang yang dipertukarkan dalam jumlah atau nilai pada barang yang dipertukarkan, dan juga tidak disyaratkan jual belinya harus kontan.’,” paparnya. 

Kedua, hukumnya haram, jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi (al amwaal ar ribawiyah), yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya’iir), kurma, dan garam. 

“Misalnya, menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp500 ribu, ini hukumnya haram,” ujarnya lagi. 

“Syaikh Taqi ‘Utsmani juga menyatakan, adapun jika tukar tambah dilakukan untuk barang-barang yang termasuk barang ribawi, hukumnya haram, berdasarkan dalil hadis yang mengharamkan riba fadhl, yaitu adanya tambahan pada pertukaran atau jual beli barang-barang ribawi, yaitu emas, perak, gandum, jewawut (sya’iir), kurma, dan garam,” tuturnya. 

Ia mengutip hadis riwayat Imam Muslim nomor 1587, “Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al burru bi al burri), jewawut dengan jewawut (al sya’iir bi al sya’iir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya / beratnya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).”

“Hadis ini menunjukkan pertukaran antar barang ribawi sejenis, misal emas dengan emas, ada dua syarat: pertama, at tamaatsul, yaitu harus sama jumlahnya atau beratnya; kedua, taqaabudh, yaitu harus kontan, dalam arti terjadi serah terima di majelis akad. Adapun pertukaran antar barang ribawi yang tidak sejenis, misal emas dengan gandum, disyaratkan satu syarat saja; yaitu taqaabudh, yaitu kontan dalam arti terjadi serah terima di majelis akad,” urainya. 

Kiai Shiddiq menegaskan, berdasarkan hadis tersebut, haram hukumnya tukar tambah untuk barang-barang ribawi. Sebab, telah terdapat tambahan yang hakikatnya merupakan riba. 

“Jadi, haram hukumnya menukarkan cincin emas lama seberat 5 gram dengan cincin emas baru seberat 5 gram, dengan menambah uang Rp500 ribu, karena tambahan Rp500 ribu itu sebenarnya adalah riba yang hukumnya haram,” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati

Posting Komentar

0 Komentar