Paradigma Shift Penanganan Tindak Pidana Terorisme


TintaSiyasi.com --  Semeru kembali berduka. Gempa telah merobohkan rumah-rumah dan sarana beribadah, jembatan penghubung dua kabupaten putus. Erupsi dan muntahan debu panas telah mengakibatkan korban juga dan akibatnya banyak saudara-saudara kita yang tidak punya tempat tinggal, mengungsi tanpa sempat membawa pakaian dan perbekalan makanan. 

Maka inilah saatnya bagi masyarakat untuk meluangkan waktu, tenaga, fikiran, harta benda dan keahlian mereka guna membantu korban bencana. Makanan, minuman, obat-obatan, air bersih, pakaian, selimut, tenda, dan banyak hal mendesak lainnya dibutuhkan oleh saudara-saudara kita. 

Kita prihatin, atas bencana alam seperti ini kita tidak sanggup untuk deteksi dini, sementara untuk radikalisme, ekstremisme, dan terorisme kita selalu dipaksa untuk punya deteksi dini (early warning system) yang handal. Ironis bukan? 

Kita menghadapi problem penegakan hukum di bidang terorisne. Secara ideal, penegakan hukum harus bersifat fundamental (menyeluruh, komprehensif) bukan Inkremental (tambal sulam). Namun, kenyataannya, para pejabat lebih memilih pendekatan inkremental. Pendukung dari model ini menyatakan bahwa perubahan tambahan atau tambal sulam jauh lebih cepat dari perubahan yang bersifat komprehensif atau menyeluruh. 

Inkremental sendiri berarti kebijakan yang mengalami perubahan sedikit-sedikit. Hal yang 
paling mendasar dari model inkramental 
adalah adanya keterbatasan-keterbatasan 
yang ada dalam pembuat keputusan. Model inkemental ini hanya memusatkan perhatiannya pada modifikasi atas kebijakan yang ada sebelumnya. 

Jika melihat gaya kebijakan penanganan Tindak Pidana Terorisme, gaya inkremental lebih tampak dibandingkan dengan gaya fundamental terbukti perkembangan definisi terorisme tidak jelas, hukum acaranya tidak jelas, mudah berubah sesuai kemauan penguasa. Tidak ada ukuran jelas, pasti dan hal ini berarti aspek kepastian hukumnya lemah dan tidak prediktif, mudah berubah, apalagi jika pernah dilakukan secara retroaktif (karena sebagai crimes against humanity) pada kasus Bom Bali. 

Seharusnya kebijakannya fundamental dengan menggunakan Triangle paradigms approach, yakni paradigma (1) “to protect dan (2) defend state interest”,  dan (3) “to protect the offenders”, dan “to protect and rehabilitate the victims”. Ketiga, pendekatan ini tetap harus disertai dengan hukum acara yang tetap mengedepankan penghormatan (to respect), pemenuhan (to fullfil) dan pelindungan (to protect) HAM khususnya bagi para terduga, tersangka, terdakwa hingga terpidana terorisme. 

Meski masih terkesan penegakan hukum di UU Terorisme 2018 inkremental dari UU Terorisme 2003, namun ada kemajuan besar paradigma penanganan tp terorisme misalnya diubahnya pasal 25 dan Pasal 28 UU PTPT, yakni bahwa penangkapan dan penahanan terduga teroris harus menjunjung tingga HAM, yang berarti apa harus didasarkan pada KUHAP untuk menjamin HAM. Bahkan ketika penyidik Densus 88 melanggar HAM, maka mereka dapat dipidana. 

Pasal 28  ayat (3) dan (4) berbunyi sebagai berikut: 

(3) Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia. 

(4) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pasal 25 ayat (7) dan (8) berbunyi: 

(7) Pelaksanaan penahanan tersangka Tindak PidanaTerorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia. 

(8) Setiap penyidik yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Maka untuk menangkap seorang terduga teroris harus memenuhi amar putusan MK No. 21 Tahun 2014, tentang bukti yang cukup (2 alat bukti) dan pemeriksaan pendahuluan. Hak untuk didampingi oleh penasihat hukum dll juga harus dipenuhi. 

Jadi, penangannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dengan dalih terorisme sebagai tindak pidana yang bersifat extraordinary crime. Terorisme hanya sebagai tindak pidana serius atau serious crime

Sesuai dengan amanat UU Terorisme 2018, Pasal 43J penting juga untuk diperhatikan bahwa sudah saatnya DPR membentuk Tim 
Pengawas.

Pasal 43J berbunyi: 

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan Terorisme. 

(2) Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan Terorisme diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Ralryat Republik Indonesia. 

Tim Pengawas Pengawas Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme perlu dibentuk agar kegiatan dan pengelolaan Densus 88 tetap terkontrol baik dari sisi pendanaan (perlu audit pendanaannya) maupun aktivitas penangkapan, penahanan terduga, tersangka hingga terpidana Tindak Pidana Terorisme tidak dilakukan secara sewenang-wenang melainkan tetap memperhatikan dan mematuhi Hukum Acara Pidana. Kejadian salah tangkap, penangkapan tanpa prosedur yang sah dan extrajudicial killing dengan dalih apa pun harus dihindari dan jika terjadi maka oknum petugas Densus 88 dapat diajukan untuk dituntut secara Pidana. 

Tabik...!!! 

Jakarta, Selasa: 7 Desember 2021

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar