Moderasi Beragama: Kamuflase Arogansi Sekularisme


TintaSiyasi.com -- Hari ini umat Islam berada dalam cengkeraman bius narasi moderasi beragama. Sebuah narasi yang terus dinyanyikan untuk menghipnotis umat Islam. Pasalnya, moderasi beragama yang selama ini dielu-elukan, sengaja dikampanyekan sebagai jalan tengah menghindari tudingan miring liberal ataupun radikal. 

Masih terngiang-ngiang jelas rentetan dampak moderasi yang telah menjadi polemik beberapa tahun terakhir ini. Pertama, kontroversi hilangnya frasa agama dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035. Sekalipun Mendikbud Ristek Nadiem Makarim akan merevisinya, tetapi patut diduga ini adalah upaya di balik moderasi beragama. 

Kedua, materi khilafah, jihad dan status non-Muslim dalam buku mata pelajaran (mapel) Fikih untuk Madrasah Aliyah Kelas XII yang diterbitkan Kementerian Agama pada 2016 sudah benar, tidak ada yang menyimpang dari ajaran Islam. 

Tapi materi tersebut per tahun ajaran 2020/2021 digusur alias dihilangkan dari Mapel Fikih. Seolah-olah ada ketakutan besar, jika ajaran jihad dan khilafah diberikan kepada generasi Muslim. Sampai-sampai ada penggusuran materi tersebut. 

Ketiga, upaya merekontekstualisasi fikih Islam. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke-20 di Surakarta, Senin (25/10/2021) melihat pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespon tantangan zaman. 

Sungguh aneh, bagaimana bisa syariat Islam dijadikan prasmanan, diambil yang sesuai kepentingan dan diabaikan sebagian. Harusnya di sepanjang zaman kehidupan diatur dengan hukum-hukum Islam, bukan hukum-hukum Islam yang dikebiri agar sesuai perkembangan zaman.

Sebenarnya masih banyak fakta lagi, terutama penunjukan Cinta Laura sebagai duta moderasi beragama. Cinta Laura yang belum menutup aurat, dan gaya hidupnya kebarat-baratan dijadikan mercusuar moderasi beragama ini saja sudah menunjukkan ada upaya meliberalkan umat Islam. Yang seharusnya menjadikan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat teladan, bergeser menjadikan duta moderasi beragama teladan.

Kamuflase

Sejatinya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi adalah penghindaran kekerasan atau keekstreman. Tetapi, sampai detik ini makna kekerasan, ekstrem, dan radikal masih samar dan sering mengalami kamuflase sesuai kepentingan. Bahkan, umat Islam yang menginginkan hidup dalam naungan Islam dan mendakwahkan Islam secara totalitas sering mendapatkan tudingan radikal, ekstrem, dan teroris. 

Makna moderat, penghindaran ekstrem tersebut, sejatinya adalah penghindaran kepada syariat Islam secara kaffah. Wajar, jika menjadi moderat dianggap solusi supaya tidak dicap radikal atau ekstrem. Sebenarnya inilah kamuflase dari arogansi sekularisme dan liberalisme. 

Moderat yang didengungkan sesungguhnya bermakna liberal dan sekuler. Tetapi, karena sebutan ini sudah dianggap miring di khalayak ramai. Akhirnya, diperhalus menjadi moderat agar samar dan menipu. 

Hal ini semakin mengokohkan arogansi pengemban sekularisme. Kesombongan mereka terlihat nyata, ketika berusaha sekuat tenaga agar syariat Islam tidak dijadikan sebagai pengatur kehidupan secara kaffah. Selain itu, mereka tidak mau menerima kebenaran Islam, sekalipun nuraninya paham Islam itu benar dan rahmatan lil'alamin, serta berusaha menghalang-halangi kebangkitan Islam.

Sadar

Umat Islam harus menyadari kamuflase arogansi sekularisme yang dibalut dengan program moderasi beragama. Tidak boleh menelan mentah-mentah gagasan ini, harus diulik sampai detail. Karena, di balik kampanye dan program moderasi beragama ada target untuk membuat umat Islam makin sekuler dan liberal. Memang namanya tetap Muslim, tapi akidahnya sudah teracuni gagasan moderasi beragama tadi.

Menilik lebih dalam, tujuan terselubung moderasi beragama ini, yakni, pertama, umat Islam tetap dininabobokan dengan sekularisme dan liberalisme. Kedua, menunda kebangkitan umat Islam yang sudah menjadi keniscayaan. Ketiga, agar kapitalisme sekuler tetap memimpin dunia. 

Mereka tidak mau bangkitnya peradaban Islam membuat peradaban mereka hancur berantakan. Padahal, sejatinya, kapitalisme adalah yang memporak-porandakan tatanan kehidupan dalam segala aspek kehidupan dan Islam adalah jawaban atas karut marutnya dunia akibat ideologi sesat kapitalisme sekuler. 

Keempat, Barat tidak ingin khilafah Islam yang telah dijanjikan Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad SAW kembali. Oleh karena itu, segala daya upaya dilakukan untuk menunda kembalinya peradaban Islam yang mulia. 

Padahal sekuat apa pun mereka menghalangi tegaknya khilafah, usaha mereka akan sia-sia dan menuai kehancuran dunia akhirat. Maka, seharusnya umat Islam memahami ini dan terus mendakwahkan Islam secara totalitas di tengah kehidupan.

Biarkan kapitalisme sekuler merenda kehancurannya. Tetapi, umat Islam harus terus berjuang hingga kemenangan Islam dapat diwujudkan. "Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai." (TQS. At-Taubah: 32). 

Sungguh ayat di atas harus mampu menjadi pelecut semangat dan gerak umat Islam agar tidak pernah lelah mendakwahkan Islam kaffah hingga kehidupan Islam terwujud.[] Ika Mawarningtyas

Posting Komentar

0 Komentar