Kekerasan Seksual Menjamur di Kampus: Inikah Akibat Dekapan Syahwat Sekularisme Liberalistik?


TintaSiyasi.com -- Miris, mengkhawatirkan, bahkan membuat geram. Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi ibarat fenomena gunung es. Diduga, sebagian besar tidak terungkap dan tidak dilaporkan. Salah satu faktornya karena korban kerap tak punya kuasa melaporkan kasus ke pihak berwenang. Kasus ini pun tak jarang berujung protes yang menuntut ketegasan pihak institusi pendidikan.

Terakhir, kabar pilu terdengar dari Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya (Unsri) saat ini menjadi sorotan setelah tiga mahasiswi di kampus tersebut diduga mengalami pelecehan seksual secara fisik dan verbal oleh terduga dua dosennya sendiri (kompas.com, 2/12/2021). Sebelumnya, dosen sekaligus Dekan Fisip Universitas Riau (Unri), SH, telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi hingga ia dijerat dengan pasal berlapis (kompas.com, 18/11/2021). 

Menilik data dari beberapa sumber, kekerasan seksual di kampus nyata adanya. Survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalena.co yang difasilitasi Change.org Indonesia (2016) menunjukkan, 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Sementara itu, Komnas Perempuan (2015-2020) menyampaikan pengaduan kekerasan seksual di lembaga pendidikan sebanyak 27 persen terjadi di perguruan tinggi. 

Adapun lokasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman (2019), menempati urutan ketiga di bawah lokasi jalanan dan transportasi umum. Kemudian menurut survei Kemendikbud (2020), 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban adalah perempuan (jatimtimes.com, 15/11/2021).  

Lebih mengejutkan, data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali.  Setelah pihaknya bersama organisasi mahasiswa Universitas Udayana dan Universitas Warmadewa membuat posko pengaduan pada akhir 2020, tercatat 73 pengaduan kekerasan seksual di kedua kampus tersebut. Pengaduan langsung dari korban ada 45 kasus, 42 korban adalah mahasiswi Udayana, 3 orang sisanya mahasiswi Warmadewa (okezone.com, 23/11/2021).

Sungguh disayangkan, kampus belum menjadi ruang aman bagi seluruh penghuninya. Padahal perguruan tinggi semestinya menjadi salah satu pilar the guardian of morality. Jika pelaku pendidikan tak lagi menjunjung nilai moral dan kemuliaan, lantas bagaimana dengan output yang dihasilkan? Terus berulangnya kekerasan seksual di kampus mengisyaratkan bahwa hal ini bukan problem kasuistik, namun sistemik. Sebuah keniscayaan yang terjadi di tengah bergulirnya sistem hidup sekularisme liberalistik saat ini. 

Kekerasan Seksual Menjamur, Akibat Penerapan Sistem Sekularisme Liberalistik

Tentu menjadi ironi tersendiri saat kampus sebagai the guardian of morality, justru ditemukan banyak kasus kekerasan seksual. Ini belum bicara jenis pelanggaran seksual lain yaitu perbuatan asusila yang kuantitasnya justru lebih banyak dari problem kekerasan seksual. 

Menjamurnya kekerasan seksual di kampus, salah satunya ditengarai karena salah satu pihak memanfaatkan relasi kuasa yang ada pada dirinya. Rifka Annisa, sebuah pusat krisis dan lembaga nirlaba yang berfokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta, dalam satu bulan pernah menerima sebelas email yang melaporkan kejadian pelecehan seksual di kampus. Tujuh di antaranya dilakukan dosen terhadap mahasiswanya. 

Saat korban ditanya apakah mereka ingin melanjutkan laporan, kesebelas pelapor menyatakan tidak ingin memproses lebih lanjut dan hanya ingin bercerita tentang kejadian yang pernah menimpa mereka. Mengapa mereka menolak untuk memproses kasusnya lebih lanjut? 

Perguruan tinggi adalah institusi pendidikan dengan kultur yang unik. Dalam institusi ini proses pengembangan pengetahuan di kelas, lab, atau proyek-proyek penelitian yang melibatkan mahasiswa dan dosen bisa berlangsung cukup cair dan egaliter. Batas-batas antara guru dan murid yang berlangsung di SD hingga SMA seakan kabur.

Meski begitu, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa tak terelakkan. Bagaimana pun, dosen memiliki otoritas untuk mengajar, memberikan penilaian, serta membimbing tugas akhir. Di hadapan mahasiswa, dosen memiliki otoritas yang lebih tinggi dan mewakili wajah universitas. Dalam berbagai kasus kejahatan seksual di kampus, ada kalanya dosen mengancam mahasiswa agar tidak melapor pada pihak yang berwajib. Sementara mahasiswa segan melapor karena takut berdampak pada kelangsungan studi mereka. 

Tidak jarang korbanlah yang justru diolok-olok sebagai barisan sakit hati yang cari perhatian, bahkan dituduh mencemarkan nama baik dosen dan institusi. Atau jika kasus diselesaikan, kampus lebih mendorong melalui jalur kekeluargaan, yang sebenarnya lebih banyak merugikan korban daripada menjatuhkan hukuman yang pantas bagi pelaku.

Hal-hal seperti di atas belum mempertimbangkan jika pelakunya berstatus ASN. Umumnya mereka diperlakukan sebagai "aset kampus" yang tak tergantikan dan keberlangsungan karier mereka dijamin oleh berbagai prosedur pemecatan yang sangat rumit dan berliku. Seorang ASN hanya dapat dipecat secara tidak hormat jika yang bersangkutan telah sah terbukti melakukan pelanggaran pidana oleh pengadilan.

Adapun jika ditelisik mendalam, maraknya kekerasan seksual baik di kampus maupun di luar kampus ialah akibat penerapan sistem sekularisme liberalistik. Sebuah sistem hidup yang abai terhadap ajaran agama (Islam), dan menempatkannya sebatas aspek ritual saat manusia berhubungan langsung dengan Tuhannya. Sementara dalam ranah publik, manusia lebih memilih aturannya sendiri untuk memandu aktivitasnya di seluruh lini kehidupan. Akibatnya, manusia merasa bebas untuk mengekspresikan keinginan dan nafsunya serta bertindak sesukanya, hingga meski itu bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta. 

Berkembangnya ideologi sekularisme menjadikan kaum Muslimin kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Terlebih dengan makin gencarnya upaya Barat melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan ke dunia Islam. Kaum Muslimin makin jauh dari Islam, baik pemikiran maupun hukum-hukumnya. 

Posisi Islam yang seharusnya dijadikan landasan berpikir dan bertingkah laku, digantikan oleh pemikiran sekularisme. Sehingga, tidak aneh jika corak kehidupan sekulerlah yang mendominasi umat saat ini. Corak inilah yang memandu interaksi laki-laki dan perempuan, juga saat memenuhi naluri seksualnya ketika bergejolak. Karena tak terikat hukum agama, maka mereka merasa bebas melampiaskan kecenderungan seksual sesuka hatinya. Dengan siapa saja, di mana pun tempatnya. Meski itu di kawasan terhormat seperti kampus. 

Corak kehidupan ini juga yang membuat kaum Muslimin bingung dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul di tengah mereka. Mengapa demikian? Karena corak hidup sekuler tidak memiliki standar baku yang bisa dijadikan pijakan menilai segala sesuatu. Hanya mengagungkan nilai kemanusiaan yang semu, padahal sifatnya relatif.

Jika kita mau jujur, maraknya kekerasan dan pelecehan seksual di kampus merupakan cerminan gagalnya bangunan sosial politik yang didasari ideologi sekularisme ini. Pun rapuhnya tatanan moral masyarakat yang ada, akibat tidak adanya standar baku yang mengatur tingkah laku manusia.

Peranan Lembaga Normatif Perguruan Tinggi Selama Ini dalam Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran Seksual di Kampus

Salah satu polemik yang cukup mengemuka dari Permendikbud Ristek 30 ialah kerangka kebijakannya dinilai tidak jelas, ditandai perintah untuk membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan PT. Padahal setiap kampus telah memberikan tugas semisal ke Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan untuk mengurusi terkait langsung dengan mahasiswa. Selain itu, sanksi dalam Permendikbud Ristek 30 juga menimbulkan pertanyaan, apakah rektor dapat mengambil alih tugas polisi dalam penindakan terjadinya kekerasan seksual di kampus. 

Sebelum munculnya Permendikbud 30, sebenarnya sudah ada mekanisme penyelesaian perkara etika kampus. Universitas Diponegoro (Undip) misalnya, memiliki Peraturan Senat Universitas Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Dosen jo Peraturan Senat Universitas Nomor 1 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Mekanisme dan Prosedur Pemberian Sanksi Pelanggaran Kode Etik Dosen Undip. Juga ada Peraturan Rektor Nomor 28 Tahun 2019 tentang Kode Etik Tenaga Kependidikan, ada Majelis Etik yang akan memproses setiap pelanggaran tenaga kependidikan. 

Begitu pula di Universitas Padjajaran (Unpad), telah ada Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Seksual di Lingkungan Unpad. Adapun di Universitas Gadjah Mada (UGM), belajar dari kasus Agni di tahun 2018-2019, agar kasus kekerasan seksual serupa tak terulang, telah dikeluarkan Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM. Peraturan ini mengatur soal pencegahan, pelayanan, dan penanganan pelaku kekerasan seksual.

Terkaitnya, di UGM ada unit layanan terpadu yang bertugas dan bertanggung jawab mengurusi upaya pencegahan dan penanganan setiap kasus kekerasan seksual. Sehingga setiap ada kasus yang menimpa warga UGM akan terpantau dengan baik. Sebab, umumnya para penyintas enggan melaporkan kasus yang menimpanya. Selanjutnya, jika ada pelaporan maka tim dari unit layanan ini akan melakukan pendampingan dan konseling terhadap korban. Sementara pelaku akan mendapat sanksi dari tim etik, baik di tingkat fakultas maupun universitas.

Oleh karena itu, adanya satuan tugas khusus arahan Permendikbud 30 ini akan menambah pekerjaan bagi universitas yang umumnya telah memiliki instrumen dan organ yang menindak pelanggaran etika kampus. Padahal persoalan sebenarnya itu adalah keberanian melapor dan ketuntasan penyelesaiannya. 

Namun, jika satgas ini dipaksakan harus ada, maka lembaga sebelumnya tidak mesti dihilangkan. Bisa bekerja sama dengan tupoksi yang jelas agar tidak tumpang tindih. Selain itu, Mas Menteri bisa menginstruksikan kepada rektor untuk secara serius memanfaatkan aturan, SOP, dan lembaga atau organ PT yang telah ada untuk menangani secara internal kasus pelanggaran seksual di kampus sebelum membawanya ke ranah pidana (SPP). 

Harus disadarkan betul kepada semua civitas akademika atau warga kampus untuk menempuh jalur mediasi dengan restirative justice. Bukankah upaya pidana itu sebagai ultimum remedium (obat terakhir, upaya terakhir) setelah upaya non penal dilakukan?

Strategi Islam dalam Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran Seksual di Dunia Kampus

Sebagai aturan yang datang dari Allah Sang Pencipta Yang Maha Pengatur, Islam adalah harapan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran seksual, termasuk di dunia kampus. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini sebagai rahmat bagi alam semesta. Artinya, apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW yaitu Islam, akan memberikan rahmat dan ketenteraman bagi manusia di muka bumi ini. 

Dalam kasus pelanggaran seksual, Islam memberikan solusi, baik untuk pencegahan (preventif) maupun penanggulangannya (kuratif) dengan tiga mekanisme. Pertama, Islam mencegah dan meminimalisir terjadinya kekerasan seksual dengan memberlakukan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan melalui mekanisme khas berdasar akidah Islam. 

Islam mendudukkan kaum perempuan sebagai mitra laki-laki dalam kehidupan domestik dan publik. Dalam kehidupan publik mereka adalah mitra sejajar untuk memajukan masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (Perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).”

Sistem Islam akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian mempengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Maka, Islam memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutupi auratnya dan menjaga kemaluannya. Pun melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki.

Selain itu, Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan, kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (perguruan tinggi/sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar), dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dll.). 

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dengan cara yang baik.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah), dan jilid (cambuk) seratus kali serta diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). 

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti. Selain itu, negara juga wajib mengawasi pemilik media untuk tidak menyebarkan konten yang mengandung hal-hal pembangkit naluri seksual dan akan menindak tegas jika melanggar syariat.

Lantas, mampukah Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 mendukung strategi Islam dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual? Sebagaimana aturan lainnya terkait perlindungan perempuan yang sudah dilegalisasi pemerintah, seperti UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU 23/2004 tentang PKDRT, dan UU 44/2008 tentang Pornografi, Permendikbud Ristek 30 merupakan produk hukum ala sekuler. 

Dan menengok aturan sejenis sebelum munculnya Permendikbud 30, ternyata belum cukup menghentikan laju kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan. Hal ini akibat sistem kehidupan liberalistik sekuler yang telah menyuburkan rangsangan dan memberikan peluang untuk merealisasikannya.

Terlebih hingga hari ini Permendikbud 30 masih menuai polemik publik. Selain itu, ada dua hal pokok yang harus dikritisi. 

Pertama, soal formil.  

(1) Proses penyusunannya. 

Yang harus disadari oleh semua pihak, Per-UU itu cacat sejak lahir. Cacatnya karena tidak mungkin pernah sempurna, karena tidak mungkin mengakomodasi aspirasi semua stakeholders. Apalagi kalau proses pembuatannya kurang membuka akses rakyat untuk memberikan masukan, misal lewat sounding, FGD, public consultation. Permendikbud 30  ini dinilai tidak melibatkan stakehorlders PT, Forum Rektor, BEM, Ormas, dan Orpol Islam. 

(2) Soal kedudukan Permen.

Peraturan Menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang menegaskan: 

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” 

Jadi ditinjau dari sisi legalitasnya, Permen ini sah dan dapat menjadi objek JR di MA. 

Kedua, soal substansi atau materiil. 

Permen ini ternyata mengandung substansi yang mengundang kontroversi karena dapat ditafsirkan secara argumentum a contrario atas prinsip non consent. Frase "tanpa persetujuan korban" sebagai karakter kekerasan dimaknai oleh masyarakat bahwa berarti yang dengan consent dilegalkan. Ini penafsiran yang berpotensi sesat namun sebagian masyarakat menduga demikian, yakni adanya legalisasi terhadap perilaku seks menyimpang atas dasar consent. 

Selain itu, frase “ketimpangan relasi kuasa” (Pasal 1 ayat 1), dimaknai sebagai atasan bawahan. Lantas, bagaimana jika terjadi dengan yang sederajat? Frase nilai-nilai agama (Pasal 3) juga dinilai tidak menjadi prinsip pertimbangan PPKS, terkesan sekuler dan liberal. 

Jika Permendikbud 30 ini tetap akan diberlakukan, hendaknya merevisi judul Permen menjadi “Pencegahan dan Penanganan Pelanggaran Seksual di Perguruan Tinggi”, dan muatan pokoknya berisi: (1) kekerasan seksual (non consent) dan (2) perbuatan asusila (consent). 

Oleh karena itu, keberadaan Permendikbud 30 bisa dikatakan belum mampu mendukung strategi Islam dalam  pencegahan dan penanganan pelanggaran seksual di kampus. Mengapa? Secara diametral, asas pembentuk keduanya berbeda. Permendikbud 30 lahir berdasar cara pandang sekularisme, sedangkan aturan Islam berasas akidah Islam. 

Selain itu, aturan apa pun yang bersumber dari manusia diwarnai kecacatan, sedangkan aturan Islam bersumber dari Allah SWT Yang Maha Sempurna. Permendikbud 30 sebagai solusi tambal sulam, aturan Islam merupakan problem solving yang menyeluruh dan mendasar. Apalagi Permendikbud 30 hanya mengatur masalah kekerasan seksual (non consent), tidak mencakup perbuatan asusila (consent) yang sangat banyak terjadi di kalangan mahasiswa.

Begitulah yang terjadi bila pemerintah dan masyarakat tidak mau keluar dari konsepsi sekularisme yang menyelesaikan problem manusia berdasarkan “kecerdasan” akalnya. Padahal, seumur peradaban manusia, solusi yang mendasarkan pada hukum ciptaan manusia hanya berujung pada persoalan baru, bukan penyelesaian masalah. Dengan demikian, Permendikbud 30 mungkin akan mengurangi kasus kekerasan seksual di kampus, namun tak akan mampu memusnahkan penyebab utamanya yaitu eksistensi sistem sekularisme liberalistik.[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar