Jaminan Kesehatan Kapitalis yang Penuh Perhitungan

TintaSiyasi.com -- Kesehatan merupakan salah satu sarana untuk mencapai kebahagiaan. Badan yang sehat akan memudahkan manusia beraktifitas, beramal sesuai tujuan hidupnya. Sehingga kesehatan merupakan kebutuhan asasi bagi makhluk hidup, termasuk manusia.

Pemerintah berencana akan menggulirkan jaminan kesehatan berstandar sama, tanpa kelas untuk rawat inap. Terobosan baru yang akan dimulai tahun 2022 ini, diharapkan mampu mengurangi defisit BPJS. Sebelumnya telah dikenal kelas 1, 2, dan 3 bagi peserta BPJS yang hendak rawat inap. Perbedaan kelas akan menyebabkan perbedaan fasilitas yang diterima peserta. Maka adanya program ini, semua peserta BPJS akan diberi pelayanan standar.

Sebelum penghapusan kelas, pemerintah akan melakukan transisi kelas rawat inap (KRI) yang dibagi menjadi dua kelas standar. Bagi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah A. Sementara bagi peserta berbayar (Non-PBI JKN) adalah B. Maka, adanya wacana ini akan terdapat penyesuaian dalam memperoleh manfaat medis-non medis. Juga kalkulasi rata-rata biaya yang dihabiskan oleh kelompok diagnosis, kapitasi dan iuran peserta (Kompas.com, 12/12/2021).

Sementara pihak humas Kepala BPJS, M. Iqbal Anas Ma'ruf, menyatakan tidak ada penghapusan kelas. Namun yang ada adalah perbedaan fasilitas medis, antara PBI dan non-PBI (pekerja penerima upah/PPU, dan pekerja bukan penerima upah/PBPU (Kompas.com, 13/12/2021).

Berbeda dengan Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, yang menuturkan bahwa DJSN (Dewan Jaminan Sosial Negara) sedang mengkaji konsep kelas standar. Hal tersebut meliputi ketersediaan jumlah tempat tidur (TT) pada setiap kelas perawatan di RS saat ini, pertumbuhan jumlah peserta JKN, kemampuan fiskal negara dan kemampuan masyarakat dalam membayar iuran, dan angka rasio utilisasi (Merdeka.com, 8/12/2021).

Walau antara pemerintah dan BPJS belum sepakat terhadap penghapusan kelas, namun keduanya tetap sepakat akan ada penyesuaian manfaat medis yang diperoleh antara PBI dan non-PBI. 


Jaminan Kesehatan Gotong Royong

Semenjak pemberlakuan BPJS sebagai badan penyelenggara kesehatan di tahun 2014, maka secara berangsur rakyat diwajibkan untuk menjadi peserta/anggota BPJS. Dalih mendapat jaminan kesehatan gratis, ketika sedang sakit menjadi slogan penariknya. Namun, ternyata tidak semua rakyat mendapat jaminan kesehatan gratis, ada yang wajib membayar premi/setoran bulanan layaknya asuransi kesehatan. Sehingga dari premi inilah, mereka mendapat fasilitas kesehatan ketika sakit. Sebaliknya, jika tidak pernah sakit atau tertimpa musibah maka premi tersebut tidak dapat diambil untuk diuangkan. Maka uang tadi digunakan untuk membantu sebagian rakyat yang lemah ekonominya (PBI) ketika mereka mengalami sakit/musibah.

Sehingga bisa diperhatikan, negara dalam sistem kapitalis, tidak akan memberi jaminan kesehatan. Namun, hanya sebatas regulator yang membuat aturan saja. Sementara pelaksananya diserahkan ke swasta (BPJS). Alhasil, wajar jika pengelolaan jaminan kesehatan ini senantiasa berlandas untung-rugi, ibarat pedagang dan pembeli. 

Padahal kesehatan semestinya merupakan tanggung jawab negara. Mahalnya biaya kesehatan, mulai dari pembangunan RS, pemenuhan tenaga medis, alkes, dan obat, maka hanya negara yang sanggup memenuhi kebutuhan tersebut. Jika negara yang berperan aktif dalam pemenuhannya, yang diutamakan adalah kesehatan rakyat, demi masa depan bangsa dan negara.


Jaminan Kesehatan Asli Tanpa Bayar

Berbeda halnya dengan pengaturan sistem Islam, jaminan berarti tidak mengeluarkan sepeser pun dalam masalah tersebut. Maka jika seseorang mendapat jaminan kesehatan, berarti dirinya sudah ditanggung oleh pihak tertentu dalam masalah kesehatan. Maka hal ini, berbeda dengan BPJS yang sejenis dengan asuransi. 

Di dalam Islam, hukum asuransi adalah haram. Hal ini karena ada multi akad dan maysir (perjudian), dan gharar (ketidak pastian) serta riba dalam operasionalnya. Negara dengan sistem Islam, akan memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya, termasuk kesehatan. Sehingga jaminan kesehatan murni diberikan negara kepada seluruh rakyatnya, baik miskin maupun kaya. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan kepada tabib yang dihadiahkan kepada beliau, untuk memberi pengobatan gratis kepada penduduk Madinah. Demikian pula di masa Bani Umayyah dengan Bimaristan (rumah sakit) yang mengobati secara gratis terhadap pasiennya.

Negara tidak akan menghitung untung rugi dalam pelayanan. Semua akan mendapat fasilitas yang sama dan terbaik dari negara. Hal ini karena, negara mempunyai sumber pendapatan yang melimpah. Sumber tersebut berasal dari pengelolaan kekayaan umum (sumber daya alam, mineral), negara (tanah dan bangunan), jizyah (pungutan terhadap kafir dzimmi), kharaj (pungutan dari tanah yang ditaklukan) maupun dari ghanimah (harta rampasan perang). Walhasil negara akan senantiasa cukup dalam menjamin kesehatan seluruh rakyat, secara adil dan merata. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: drg. Nita Savitri 
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijkan Publik)

Posting Komentar

0 Komentar