TintaSiyasi.com -- Digital Enterpreneur Pompy Syaiful Rizal mengungkapkan, mahalnya internet di Indonesia akibat dari swastanisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Internet itu menjadi kebutuhan dasar, karena semuanya pakai internet. Tetapi, pemerintah tidak memenuhinya sesuai dengan amanat undang-undang. Sebenarnya, ini harus dipenuhi dan dikuasai oleh pemerintah. Internet itu yang sangat urgen dan kebutuhan fisik masyarakat, sama seperti kebutuhan pokok. Nah ini, titik kritisnya kalau saya rasa proses swastanisasi BUMN,” ungkapnya dalam Kabar Petang: Tarif Internet Mahal Bikin Para Pengguna Kesal di kanal YouTube Khilafah News, Sabtu (18/12/2021).
Dia menyatakan, swastanisasi kepemilikan BUMN sebagai penyedia internet memang menjadi sebuah titik lemah pemerintah dalam mengatur harga, kebijakan, dan lain sebagainya. Karena hal tersebut, justru membuat layanan internet sekarang itu banyak dimiliki oleh swasta.
"Indosat, kita beli tahun 1967 ketika penyedia telepon internasional itu melalui penanaman modal asing pada zamannya Pak Soeharto. Kemudian, melahirkan anak perusahaan yang bernama Telkomsel. Di masa Megawati itu kan dijual ya, Indosat itu,” bebernya.
Pompy mencontohkan, perusahaan telekomunikasi Indosat yang sudah dimiliki asing Ooredoo dan bahkan sudah merger dengan di perusahaan swasta CK Hutchison yang merupakan perusahaan telekomunikasi yang produknya itu Three (3).
“Akhir september kemarin, mereka merger atau dikenal Indosat dikendalikan bareng dengan Three, yang nantinya pakai brand dua-duanya, yaitu Ooredoo Indosat Huthchison. Nah ini, semakin mengecil kan saham negara yaitu sekitar 10 persen. Sehingga, salah kepemilikannya yang sahamnya paling besar yang akan mengendalikan. Pemerintah itu sahamnya kecil sekali 10 persen, maka kebijakan-kebijakannya tidak masuk pasti, termasuk dalam kebijakan yang mendahulukan rakyat,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan, bagaimana keterpenuhan internet yang murah, pasti bukan pelayanan yang menjadi titik tujuan yang menjalankan perusahaan tersebut. Tapi, bagaimana ia lebih untung, yaitu kapitalisasi.
Kendala
Pompy menyatakan, internet di Indonesia memang cenderung mahal dan boleh dikatakan lemot. Berdasarkan data, kecepatan internet Indonesia di Asia Tenggara itu hampir di bontot, di bawah Kamboja. “Kecepatan internet di Indonesia itu 23,12 Mbps. Itu Nomor 108 kalau di dunia. Asia Tenggara itu nomor pertama Singapura,” ujarnya.
Lebih jauh dia mengungkapkan faktor yang mentebabkan rata-rata kecepatan dan jangkauan internet di Indonesia itu rendah
Pertama, secara fakta, Indonesia adalah negara kepulauan, maka secara infrastruktur itu lebih menantang. “Kalau misalnya, internet dengan infrastruktur fiber optic, di situkan gali kabel udara atau kabel tanah, ya ketika antarpulau itu memang infrastruturnya mahal dan modalnya juga mahal. Nah, itu yang menjadikan internet kita itu keterjangkauannya terendah. Memang faktor wilayah geografisnya,” jelasnya.
Kedua, secara keterjangkauan dan kecepatan, sudah lemot kemudian mahal. “Kenapa mahal? Karena, Indonesia lebih banyak pembelian bandwidth internasional. Aplikasi-aplikasi yang berbasis di luar negeri itu masih banyak banget yang diakses dari Indonesia. YouTube servernya awalnya bukan di Indonesia. Facebook, Google, dan lain sebagainya jelas itu kita membutuhkan akses internasional bandwidth. internasional backbone.
Ia menjelaskan juga bahwa seandainya kemudian aplikasi ataupun orang-orang Indonesia lebih banyak mengakses ke server-server lokal atau aplikasi-aplikasi lokal, maka akan lebih bisa dipangkas pembelian bandwidth international itu, sehingga akan membuat biaya internet lebih murah.
“Ekonomi digital yang berkaitan dengan kreativitas, apalagi di bidang multimedia dan e-education misalnya yang membutuhkan bandwidth tinggi, kuota gede, akses cepat, kalau misalnya akses kita masih lambat, kemudian mahal, ini sangat berdampak sekali. Apalagi di desa-desa masih ada blankspot, artinya enggak ada sinyal internet sama sekali,” paparnya lagi.
Pompy menggambarkan bagaimana penyedia jasa internet itu memperhitungkan kepadatan penduduknya. Kalau misalnya menyediakan di desa-desa terpencil yang penduduknya enggak padat, itu mereka juga rugi.
“Sudah menyediakan infrastruktur, kemudian pembelinya enggak ada atau, maka di situlah blank spot. Kalau misalnya itu tersebar di banyak wilayah Nusantara, maka banyak pula yang tidak bisa mengakses internet dan proses ekonomi digital ini pasti macet pasti terhambat,” jelasnya.
Mandiri
“Ekonomi digital yaitu ekonomi 4.0 tentunya bukan hanya ketersediaan infrastruktur penyedia internet saja, tetapi juga kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menyikapi desrupsi. Contohnya, kebijakan membiarkan aplikasi atau produk-produk startup e-commerce di Indonesia itu dikuasai oleh asing. Misalnya ya Tokopedia, Lazada, Shopee, Bukalapak. Pemain-pemain unicorn di Indonesia itu sudah enggak miliknya Indonesia lagi,” lugasnya.
Pompy mengingatkan masalah data. Aplikasi tersebut itu mempunyai data orang-orang yang bertransaksi di seluruh Indonesia. Kebiasaan-kebiasaannya, belanjanya apa, dan sebagainya.
“Misalnya, data-data penting tersebut, interest -nya, kemudian demografinya akan lebih mudah misalnya Tokopedia mengambil data secara realtime hari ini. Itu yang laris produk apa sih ya, yang dibutuhkan masyarakat itu apa sih, yang kalau dijual pasti laku itu pasti apa sih produknya. Nah, kalau udah ketahuan seperti itu, ya udah ambil jalan aja kalau ini pemiliknya Cina ekspor ke Indonesia,” ungkapnya.
“Nah, makanya menurut kami, yang penting pertama itu sebenarnya itu kan kembali kemandirian kita. Soal political will. Sementara di negara kita itu cenderung yang tampak ya dari kebiasaan-kebiasaan para pejabatnya itu, kalau bisa beli yang sudah jadi ngapain harus biaya riset tinggi, yang seperti itu kan ya,” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar