Cendekiawan Muslim: Lima Penjaga Demokrasi Lumpuh


TintaSiyasi.com -- Menyoal tentang dinamika politik di Indonesia setahun yang lalu, Cendekiawan Muslim Ismail Yusanto, M.M. mengatakan bahwa lima penjaga demokrasi telah lumpuh.

"Jika dinilai secara objektif, hampir kelima yang dikatakan penjaga demokrasi lumpuh, karena terkooptasi oleh penguasa yang lahir dari sistem demokrasi," ujar UIY sapaan akrabnya di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) yang bertajuk Refleksi 2021: Culasnya Politik Parpol dan Bungkamnya Politik Umat, Sabtu (11/12/2021).

Sebelumnya UIY menjelaskan bahwa terdapat lima penjaga demokrasi (democration guardian), yaitu pertama, adalah partai politik, kedua pers, ketiga kehakiman, keempat keamanan, dan yang kelima civil society.

"Dikatakan sebagai demokrasi guardian, karena empat inilah yang diharapkan mampu mewujudkan wajah ideal dari demokrasi. Partai politik dan pers yang independen. Partai politik yang betul-betul menjalankan visi misinya sebagai sebuah partai politik yang diidealkan menjadi saluran aspirasi rakyat," jelasnya.

Ia melanjutkan, kemudian partai politik independen yang bisa menegakkan keadilan, dan bisa mewujudkan salah satu prinsip penting equality before the law (persamaan di muka hukum). "Yang keempat, yaitu keamanan. Karena diidealkan demokrasi tidak bisa terwujud tanpa ada ketertiban dan keamanan," lanjutnya.

Yang kelima menurutnya adalah civil society. Karena basisnya memang masyarakat sipil di mana di dalamnya ada mahasiswa, buruh, kaum cerdik pandai dan ulama. 

Demokrasi Lumpuh

UIY memastikan bahwa partai politik sudah tidak berfungsi. Karena ia tidak lebih dari onggok alat legitimasi bagi kekuasaan melalui apa yang disebut Pemilu. "Parpol telah terkooptasi oleh elit partai politik. Sementara, elit parpol telah terkooptasi oleh para pemilik modal yang tidak lain adalah para oligarki, yaitu para pemegang pundi-pundi keuangan di negeri ini," yakinnya. 

UIY membeberkan bahwa semua pada akhirnya berujung pada seluruh pemegang keputusan, baik yang menyangkut peraturan perundangan-undangan, maupun perorangan untuk kepentingan perintah oligarki. "Maka, bisa difahami mengapa lahir Undang-undang Minerba, Undang-undang Omnibus Law yang secara telak telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi," bebernya.

Ia berpendapat, meskipun baru secara formal. Namun, sudah menunjukan bahwa prosedurnya salah. Apalagi isinya pasti salah. Sebab, isi yang benar dengan mudah diketahui dari proses yang benar. "Jika prosesnya sudah tidak benar, itu pantas dicurigai bahwa di dalamnya mengandung isi yang tidak benar. Jadi, Undang-undang Omnibus Law, Undang-undang Minerba dan pemilihan berbagai komisioner, tidak bisa dilepaskan dari kooptasi elit politik dan oligarki," tuturnya. 

Ia mengungkapkan bahwa pers telah memanfaatkan sesuatu yang sebenarnya milik publik, justru untuk mengebiri hak publik semata-mata dipakai untuk kepentingan politik. 

"Jika untuk kepentingan politik rakyat, masih mending. Tetapi malah untuk kepentingan politik partisan. Begitu juga dengan kehakiman, saat ini tidak berjalan dengan apa yang disebut equality before the law," ungkapnya.

UIY memisalkan, seperti soal sumur resapan yang begitu hebohnya, seolah-olah sebuah kejahatan besar. Sementara tiang kereta cepat yang banyak dirobohkan, hampir sepi dari pemberitaan.

"Kemudian adanya korupsi kepala daerah terungkap, tetapi korupsi di Jakarta hingga kini belum pernah terungkap, apalagi tersentuh. Jadi, kekuasaan kehakiman justru dipakai untuk mengkriminalisasi lawan-lawan politiknya. Sampai pada ucapan, "Saya baik-baik saja atau sedang sehat," itu sudah cukup mengkerangkeng Habib Rizieq sampai dua tahun. Padahal, itu hanya kata-kata yang kita masih bisa berdebat tentang apa makna dari kata tersebut," ucapnya.

Di bidang keamanan menurutnya, masih ada harapan pada civil society. Tetapi seperti diketahui, mahasiswa sudah begitu rupa, buruh terkonsentrasi kepada aspirasi mereka sendiri menyangkut Upah Minimum Regional (UMR), begitupun dengan cerdik pandai. 

"Kadang-kadang kita merasa sangat malu, bagaimana kaum cerdik pandai yang terdidik berada di pusat-pusat kekuatan berpikir di kampus-kampus itu seperti terbonsai dan terkebiri oleh kekuasaan menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan itu sendiri, begitupun dengan ulama," sesalnya. 

Ia menyimpulkan, dari fakta-fakta tersebut di atas sebenarnya sudah praktis seolah-olah seperti no way out. "Ada 212, tetapi itupun dengan sekuat tenaga mereka mencoba kebiri dan bonsai sedemikian rupa, sebagai mana yang terlihat pada aksi kemarin," pungkasnya.[] Nurmilati

Posting Komentar

0 Komentar