Ahli Fiqih Beberkan Hukuman Bagi Pemerkosa secara Syariah


TintaSiyasi.com --  Menjawab pertanyaan terkait hukuman yang layak untuk pemerkosa 21 santriwati, Ahli Fiqih Islam Kiai Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. membeberkan tiga kategori hukuman bagi pemerkosa secara syariah. 

“(Tiga kategori) hukuman (sanksi) secara syariah yang dijatuhkan kepada pemerkosa (al mughtashib) dalam kasus tersebut adalah sebagai berikut,” bebernya dalam, tanya jawab fiqih berjudul Pemerkosa Santriwati : Dikebiri atau Dirajam? di YouTube Ngaji Shubuh, Kamis (16/12/2021). 

Pertama, had zina, yaitu dirajam sampai mati jika pemerkosa sudah menikah, atau dicambuk 100 kali jika belum menikah. “Dalil pensyariatan rajam antara lain hadis sahih dari Imam Bukhari nomor 6430 dan Imam Muslim nomor 1691. Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, ‘Seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW ketika beliau berada di masjid. Orang itu memanggil beliau seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, saya telah berzina!’ tetapi Rasulullah berpaling darinya. Tatkala kesaksiannya sampai empat kali, Nabi bertanya, ’ ‘Apakah kamu gila?’ Dia menjawab, ‘Tidak’. Nabi bertanya, ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lantas Nabi bersabda, ‘Bawalah orang ini, dan rajamlah dia!’,” jelasnya. 

Dia melanjutkan penjelasannya bahwa dalil pensyariatan cambuk seratus kali jika pemerkosa belum menikah adalah berdasarkan firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 2. Menurut Abdurrahman Al Maliki di dalam kitab Nizhamul ‘Uqubat halaman 30, setelah dicambuk, qadhi (hakim syariah) boleh menambah dengan hukuman pengasingan (taghriib) selama satu tahun. 

Kedua, dijatuhi hukuman membayar kompensasi berupa shadaaqu mitslihaa, yaitu mahar untuk wanita yang semisal korban. Demikian pendapat sebagian fuqaha, di antaranya ulama mazhab Maliki dan Syafi’i. 

“Berkata Imam Malik dalam kitabnya Al Muwaththa, Jilid II halaman 734 ‘Hukuman menurut kami bagi laki-laki (pemerkosa) yang memperkosa wanita, baik dia perawan maupun janda adalah; jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shadaaqu mitsliha (mahar untuk wanita semisal korban). Jika korbannya budak, maka maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman untuk perkosaan ini adalah hanya untuk pemerkosa, dan tidak ada hukuman untuk yang diperkosa.’,” papar Kiai Shiddiq. 

Ketiga, takzir, yaitu sanksi yang dapat dijatuhkan Hakim Syariah (qadhi) kepada pemerkosa, karena dia tidak sekadar berzina, tetapi juga melakukan pemaksaan (al ikraah) yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. 

“Demikian pendapat Imam Ibnu Abdil Barr (ulama mazhab Maliki) dalam kitabnya Al Istidzkaar, ‘Sesungguhnya hakim (qadhi) dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya, suatu hukuman (sanksi) yang dapat membuat jera untuk dia dan orang-orang yang semisalnya.’,” jelasnya 

Kiai Shiddiq pun menjelaskan definisi pemerkosaan. “االغتصاب هو أخذ الشيء ظلماً وقهرا, perkosaan (ightishab) menurut makna bahasa artinya adalah mengambil sesuatu secara zhalim dan dengan paksaan. Namun, dalam pengertian istilah (terminologi), kata ightishab mempunyai pengertian الغتصاب هو االعتداء على أعراض النساء قهرا, yaitu perbuatan melanggar kehormatan wanita secara paksa atau dengan kata lain memaksa perempuan untuk berzina, atau berzina dengan paksaan. 

Kebiri Haram 

“Menjatuhkan hukuman pengebirian bagi pemerkosa hukumnya haram, karena syariat Islam dengan tegas telah mengharamkan pengebirian pada manusia, tanpa ada khilafiah di kalangan fuqaha,” tegasnya.

Ia menjelaskan, tiadanya khilafiah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al Istidzkar Jilid 8 halaman 433; Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari Jilid 9 halaman 111; Imam Badruddin Al ‘Aini dalam kitab ‘Umdatul Qari Jilid 20 halaman 72; Imam Al Qurthubi dalam kitab Al Jami’ li Ahkam Al Qur'an Jilid 5 halaman 334; dan Imam Shan’ani dalam kitab Subulus Salam Jilid 3 halaman 110. 

“Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, jilid 19 halaman 119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, halaman 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan halaman 90,” urainya. 

Ia kembali menegaskan bahwa dalil haramnya pengebirian pada manusia adalah hadis-hadis sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap pengebirian. 

“Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, dia berkata : رد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل، ولو أذن له الختصينا  _’Rasulullah saw. telah menolak Utsman bin Mazh’un ra. untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.’,” ujarnya menyebut hadis riwayat Imam Bukhari nomor 5073 dan Imam Muslim nomor 3390. 

Kiai Shiddiq mengutip pendapat Syekh Taqiyuddin An Nabhani di dalam kitab An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam halaman 164 dan Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Jilid 19 halaman 119 yang menyebutkan hadis dari Ibnu Mas’ud ra HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141 “Ia berkata : كنا نغزو مع النبي صلى هللا عليه وسلم وليس معنا نساء، فقلنا: أال نختصي؟ فنهانا عن ذلك  ‘Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi saw. sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW), ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW. melarang yang demikian itu.’ [] Reni Tri Yuli Setiawati

Posting Komentar

0 Komentar