Teroris KKB di Papua Disayang, Wacana Radikalisme Diganyang: Inikah Wujud Islamofobia Penguasa di Negeri Mayoritas Muslim?


TintaSiyasi.com -- Merangkul teroris Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai saudara yang belum memahami NKRI, serta akan melawan radikalisme dengan penerapan gaya Orde Baru era Soeharto. Demikian sikap Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman terhadap aktivitas terorisme di Papua dan isu radikalisme yang terus digoreng di negeri ini hingga kini. 

Pernyataan bernada kontradiktif dari KSAD yang baru dilantik pada Rabu (17/11/2021) tersebut sontak menuai polemik. Realitasnya, korban akibat teroris KKB Papua telah banyak berjatuhan. Menkopolhukam Mahfud MD membeberkan, selama tiga tahun terakhir, jumlah korban kebrutalan KKB mencapai 110 orang. Yang meninggal dari masyarakat sipil ada 59 orang, TNI 27 orang, Polri 9 orang (tribunnews.com, 3/5/2021).  Sehingga layakkah KKB sang pembunuh dianggap sebagai saudara? 

Bak cinta bertepuk sebelah tangan, pihak KKB justru membantah tegas pernyataan Dudung yang menyatakan KKB punya hubungan saudara dengan Indonesia. Sebby Sambom, Juru Bicara KKB menyatakan, kelompoknya tidak memiliki sejarah hubungan keluarga dengan orang Indonesia dan Asia, serta memastikan pernyataan KSAD tersebut tidak akan pernah terwujud (makassar.terkini.id, 25/11/2021). Menggelikan bukan?

Pandangan Dudung terhadap teroris KKB mengingatkan kita pada perlakuannya terhadap FPI dan H43RS beberapa waktu lalu. Saat menjabat sebagai Pangdam Jaya, ia pernah mengancam pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) Front Pembela Islam (FPI) dan memerintahkan penurunan baliho H43RS. Kini, FPI telah dibubarkan paksa, sedangkan H43RS mendekam dalam penjara.

Beda perlakuan. Inilah yang bisa ditangkap dari sikap Dudung. KKB di Papua yang terang-terangan melakukan teror pembunuhan hingga banyak nyawa melayang justru dibiarkan, tidak boleh dimusuhi, dirangkul, dan dianggap saudara. Adapun terhadap orang atau kelompok yang dinilai radikal (baca: yang bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa dan atau yang memperjuangkan penerapan hukum Islam dalam konteks negara), akan dilawan dengan sistem era Soeharto yaitu Babinsa mengumpulkan informasi dan mengambil tindakan terhadap kelompok tersebut. 

Jika Dudung berdalih menindak radikalisme karena mengganggu keamanan, persatuan, dan kesatuan NKRI, bukankah KKB di Papua adalah gangguan dan ancaman riil bagi bangsa ini karena terbukti melakukan teror dan pembunuhan? Adapun radikalisme, secara definisi atau nomenklatur hukum saja belum jelas. Selama ini yang mengemuka adalah nomenklatur politik bersifat lentur dan kabur. Faktanya, radikalisme hanyalah alat gebuk rezim untuk memberangus suara kritis pihak yang berdiri di seberang istana. 

Lantas, adilkah policy (kebijakan) penguasa seperti ini? Wajar jika muncul dugaan bahwa Dudung dan pejabat lain yang bersikap demikian terjangkit islamofobia, sebuah ketakutan yang berlebihan terhadap Islam. Ironis, terlebih jika ini menghinggapi diri penguasa di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim. 

Islamofobia di Balik Policy KSAD Jenderal TNI Dudung Menangani Radikalisme

Pengangkatan Dudung sebagai KSAD beberapa waktu lalu nampaknya tak lepas dari core of the core program pemerintahan era Jokowi, yaitu membasmi paham radikalisme. Di berbagai kesempatan, Jokowi kerap menyerukannya. Oleh karena itu, presiden tentu membutuhkan sosok yang mempu mengendalikan radikalisme. Sosok Dudung dipilih tentu bukan tanpa alasan, hingga jadilah ia kini sebagai “tangan kanan” sang presiden membasmi radikalisme.

Dudung dinilai memiliki ketegasan menghadapi kelompok radikal. Menurut Susaningtyas (pengamat militer), Dudung memiliki kemampuan baik dalam peperangan hibrida, bisa membaca ancaman baik radikalisme mupun separatisme. Selain itu, Dudung diharapkan mampu menerapkan slogan “TNI adalah kita”. Sehingga TNI AD menjadi institusi yang bisa turut menyelesaikan masalah radikalisme dengan cara yang tidak memberlakukan metode militeristik penuh, piawai berkomunikasi, serta kemampuan kognitif bagus (beritasatu.com, 17/11/2021).  

Mengikuti rekam jejak Dudung terkait gerakan radikalisme (ia sering menyebutnya dengan ekstrem kanan), terkesan memang ia intens melakukan “perlawanan” terhadapnya. Beberapa aksi Dudung menyiratkan hal tersebut. Pertama, saat Dudung menjabat sebagai Pangdam Jaya, pada November 2020 memerintahkan anak buahnya mencopot baliho H43RS yang ketika itu hendak pulang dari Arab Saudi. 

Kedua, perseteruan Dudung dengan FPI berlanjut dengan mengancam akan mendorong pembubaran FPI jika ormas tersebut mengganggu keamanan negara. Ketiga, Dudung kembali disorot tak lama setelah dilantik menjadi Pangkostrad. Dia meminta kepada prajurit TNI/AD untuk menghindari fanatisme beragama karena semua agama benar di mata Tuhan. Pernyataan Dudung ini mendapat apresiasi dari Menag Yaqut Cholil Qoumas dan Stafsus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo.

Keempat, dalam diskusi dengan Radio Elshinta (30/9/2021), Dudung melontarkan narasi bahwa tak hanya PKI yang harus diwaspadai, justru bahaya ekstrem kanan (radikalisme) lebih aktual. Terlebih isu khilafah yang belakangan kian ramai ada di masyarakat.

Namun, policy Dudung yang mengutamakan pemberantasan radikalisme dibanding penumpasan teroris KKB Papua tak lepas dari kritikan beberapa kalangan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai langkah Dudung berlebihan dan tidak sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI. Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar mengungkapkan, kewenangan mengatasi radikalisme merupakan tupoksi Kepolisian dan Badan Nasional  Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagaimana amanat UU Terorisme. TNI seharusnya fokus kepada tupoksinya sendiri dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari segala ancaman (republika.co.id, 25/11/2021).

Senada dengan Kontras, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memandang, peran TNI dalam pemberantasan radikalisme tidak memiliki landasan hukum. Perwakilan koalisi dari LBH Jakarta, Teo Reffelsen mengatakan, soal radikalisme tidak termasuk dalam 14 kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Pasal 7 ayat (2) huruf b. Menurutnya, keterlibatan TNI berpotensi memunculkan pelanggaran HAM bila melihat model pendekatan prajurit selama ini, di mana pendekatan keamanan justru membuka ruang represifitas aparat (tempo.co, 24/11/2021). 

Bagi Kontras dan Koalisi Masyarakat Sipil, membasmi radikalisme bisa jadi bukanlah tupoksi TNI. Namun jika penguasa negeri ini menghendaki, apa yang tak bisa terjadi? Terlebih bangsa ini telah masuk dalam pusaran agenda global War on Radicalism (perang melawan radikalisme). Menelisik keberadaannya, War on Radicalism tidak bisa dilepaskan dari agenda War on Terorism. Proyek ini digulirkan setelah kegagalan Barat menghadang kebangkitan Islam politik dengan isu terorisme. 

Barat terus melakukan pendekatan politis untuk membangun narasi dan interpretasi sesuai tujuan ideologinya. Ia sangat paham bahwa umat Islam memiliki kekuatan politik berupa sistem pemerintahan khilafah yang telah menyatukan umat Islam sedunia dan berpotensi menjadi negara adidaya masa depan. Pun Barat paham jika khilafah tegak, maka peradaban Barat akan hancur lebur.

Dalam rangka perang ini, islamofobia pun berkembang. Kata Islam dijadikan obyek untuk menakut-nakuti masyarakat. Islam yang sejatinya merupakan ajaran mulia dan damai dikonstruksi sedemikian rupa seolah sesuatu yang menyeramkan, buruk, dan membahayakan. 

Upaya keji ini terus ditanamkan melalui impuls-impuls tanpa memberikan kesempatan kepada pikiran rasional untuk mengkajinya. Lahirlah kondisi kejiwaan yang abnormal berupa islamofobia. Dalam konteks penyakit kejiwaan, yang salah bukanlah Islam namun ketakutan, halusinasi, dan kecemasan yang berlebihan terhadap Islam. Psikoabnormal Islamofobia adalah kebodohan akut masyarakat modern yang tidak rasional.

Musuh-musuh Islam beserta antek-anteknya terus menjual ketakutan kepada masyarakat dunia akan bahaya Islam, salah satunya apa yang mereka sebut dengan radikalisme Islam. Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat demi melumpuhkan kebangkitan Islam yang kian kuat. Selanjutnya, Barat mencoba berkonspirasi dengan negara-negara yang mau membebek padanya. Dengan mengucurkan dana besar, negeri-negeri Muslim yang mau dibodohi menerima proyek deradikalisasi Islam. 

Deradikalisasi Islam oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Barat menjalankan strategi politik busuk dengan menyematkan kata radikalisme kepada Islam dan radikal bagi Muslim yang berseberangan dengan ideologi sekularisme kapitalistik. 

Oleh karena itu, gencarnya penanganan radikalisme oleh KSAD tak bisa dilepaskan dari fokus kebijakan era Jokowi, sebagai dukungan terhadap agenda War on Radicalism. Fenomena ini menjadi ironi tersendiri. Betapa tidak? Penguasa Muslim di negeri berpenduduk mayoritas Islam namun menjadi perpanjangan tangan musuh Islam untuk menjauhkan kaum Muslimin dari ajarannya.   

Dampak Policy KSAD Jenderal TNI Dudung terhadap Peningkatan Eskalasi Islamofobia di Negeri Mayoritas Muslim Ini

Dahulu Fir’aun sangat takut dan membenci Islam yang dibawa Nabi Musa, sebab ia mendurhakai Allah SWT. Puncak kecongkakan Fir’aun adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan. Abu Lahab dan Abu Jahal sangat takut dan membenci ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW, sebab mereka dedengkot kafir Quraisy penyembah berhala. Puncak kebencian mereka kepada Islam dan Rasulullah ditunjukkan dengan upaya membunuh Rasulullah.

Hari ini, Barat sangat membenci Islam, sebab mereka berupaya menghegemoni dunia dengan ideologinya. Puncak permusuhan Barat kepada Islam adalah dengan menyebarkan virus islamofobia sembari menuduh Islam sebagai ajaran radikal, ideologinya sebagai ideologi terorisme, dan stigma buruk lainnya. Maka, berbagai propaganda berbalut islamofobia berikut narasi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme bukanlah isu yang bergulir alami. Isu ini direkayasa dan mengarah pada satu sasaran yaitu Islam.  

Ironisnya, virus islamofobia zaman now justru diidap oleh kaum intelektual Muslim termasuk penguasa. Penguasa antek Barat diduga merasa khawatir jika singgasananya terkoyak dengan tegaknya sistem Islam. Jika kaum kafir membenci ajaran Islam itu wajar. Namun jika kaum Muslim membenci, takut, dan memusuhi Islam, ini adalah gejala abnormal bahkan psikoabnormal stadium empat. 

Oleh karena itu, jika KSAD dan pejabat negeri ini menjalankan policy dengan mengutamakan pada penanganan radikalisme, maka dampaknya terhadap umat Islam antara lain:

1. Polarisasi di tubuh umat Islam.

Propaganda radikalisme atau ekstrem kanan yang terus didengungkan dan dibasmi akan membuat polarisasi di tubuh umat Islam: radikalis dan nonradikalis. Istilah-istilah ‘asing” seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, sejatinya adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain.  

2. Menyulut konflik vertikal dan horizontal. 

Umat Islam yang telah terbelah akan mudah menyulut terjadinya konflik. Baik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan rakyat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

3. Monsterisasi ajaran Islam. 

Mengarahkan propaganda radikalisme pada Islam, khususnya ajaran jihad dan khilafah, berakibat umat Islam sendiri takut pada ajarannya. Pun saat diksi radikal disematkan pada pejuang syariah dan khilafah, ini adalah monsterisasi. Khilafah berikut pejuangnya menjadi hal menakutkan. 

4. Umat Islam kian jauh dari syariah Islam.

Saat sebagian umat Islam mempercayai bahwa orang/kelompok yang berpegang teguh pada ajaran Islam, yang ingin mengubah tatanan kekuasaan dari sekuler menjadi pemerintahan Islam dikategorikan radikal atau teroris, atau syariah kaffah dikatakan radikalisme, maka ia akan enggan berdekatan dengan Islam dan pejuangnya. Padahal merugilah seseorang jika ia menjauhkan diri dari syariah kaffah. 

5. Terjadi penyesatan hakikat permasalahan.

Benarkah radikalisme adalah momok di negeri ini? Menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa merupakan kedustaan. Tak ada korelasi antara kerusakan di berbagai bidang kehidupan dengan radikalisme. Justru menurut Peneliti LIPI Siti Zuhro, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com, 29/12/2019).  Jika didalami, ketimpangan terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme liberalistik. Lalu, pantaskah menuding radikalisme (yang sering diarahkan pada Islam dan pejuangnya) sebagai biang kerok kebobrokan di berbagai bidang? 

6. Hegemoni Barat berikut sistem kehidupannya kian eksis.

Jika di poin 1-5 telah terjadi, maka akan kian mengeksiskan hegemoni kaum Barat di negeri ini. Sistem hidup berikut pemikiran-pemikirannya pun kian kuat diikuti masyarakat. Hal ini akan menjadi batu sandungan dalam perjuangan menegakkan syariat Islam.
 
Demikianlah, jika policy penanganan radikalisme yang diprioritaskan, maka ditengarai akan terjadi peningkatan eskalasi islamofobia. Seiring derasnya propaganda ini dilancarkan, dikhawatirkan masyarakat akan merespons dalam bentuk ketakutan terhadap Islam. Maka, umat Islam mesti mewaspadai dan berupaya meminimalisasi dampak yang ditimbulkannya.

Strategi Menciptakan Ketertiban dan Keamanan Negeri Tanpa Pendekatan Keamanan dan Propaganda Radikalisme

Pada pertengahan 2019 lalu, muncul wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang ditujukan untuk menjaga Pancasila dari ancaman perluasan pengaruh paham radikalisme. Kala itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan masih berkoordinasi dengan sejumlah ormas seperti Muhammadiyah dan NU. 

Sementara itu, pembahasan RUU tentang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) sebagai payung hukum pembentukan DKN terakhir mandeg pada tahun 2012. Pada tahun 2015, RUU Kamnas kembali menjadi perbincangan publik dan meski pembahasannya telah berlangsung hampir satu dekade, namun belum terlihat adanya indikasi bahwa RUU tersebut dapat direalisasikan.

Belum terbangunnya akseptabilitas di berbagai kalangan untuk bisa memahami pentingnya UU Kamnas dan konsep yang diajukan oleh pemerintah (Kementerian Pertahanan/Kemhan) terlihat masih belum tajam dan jauh dari sempurna, disebut menjadi penyebab gagalnya proses legislasi RUU Kamnas. Resistensi terhadap keberadaan UU Kamnas akan sulit dihilangkan sepanjang masih ada stigma bahwa peraturan itu nantinya untuk memperbesar dan memperluas kewenangan TNI. Apalagi sampai dianggap mereduksi kewenangan Polri dalam penanganan berbagai tugasnya terkait penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). 

Terlebih, munculnya dorongan pembahasan RUU itu ditengarai sarat dengan kepentingan sejumlah pemilik modal dan kepentingan, seperti adanya bisnis sekuriti. Dugaan kuat, wacana pembahasan RUU ini muncul karena menguatnya apa yang disebut dengan kelompok radikalis dan ekstremis. Hal ini terbaca dari seringnya pemerintah menyatakan NKRI dan Pancasila sedang terancam. 

Pada sisi yang lain, isu kamnas ini juga dinilai akan menutupi sejumlah isu ekonomi dan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Isu pertumbuhan ekonomi yang stagnan, kemiskinan, pengangguran, stunting, pendidikan, utang, pelemahan rupiah terhadap dolar, melesetnya target pendapatan nasional, dan sebagainya.

Pada saat yang sama, pemerintah juga sedang melakukan proses indoktrinasi kepada publik atas apa yang mereka sebut sebagai bahaya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Ini murni kepentingan kekuasaan, yakni agar penguasa mengokohkan kekuasaan dan sekaligus menutup celah kritik publik atas gagalnya menyelenggarakan tujuan pemerintahan.

Oleh karena itu, kajian tentang kamnas ini penting untuk didalami mengingat: 

1. Masalah keamanan nasional perlu disikapi secara pruden, tidak gegabah, dan harus melalui serangkaian kajian yang mendalam. Rencana Pemberlakuan UU Kamnas dan pembentukan DKN misalnya, harus didesain atas kebutuhan negara, untuk jangka panjang, dan tak boleh atas pertimbangan politik dan kepentingan sesaat.

2. Munculnya narasi radikalisme, ekstremisme, ancaman terhadap Pancasila dan NKRI justru mengkonfirmasi rencana pembentukan DKN ini lebih bersifat politis, ketimbang mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara. Faktanya, radikalisme dan ekstremisme selama ini sering hadir sebagai isu politik, bukan isu hukum apalagi isu pertahanan dan keamanan nasional.

3. Radikalisme sering dijadikan sebagai sarana membungkam kritisme publik, menutupi kegagalan pemerintah sekaligus menutup borok para penyelenggara negara dan politisi yang korupsi, yang sejatinya justru menjadi ancaman keamanan nasional dalam perspektif luas. Gelagat rencana pembentukan DKN ini justru menjadi penjaga mandulnya fungsi kontrol di parlemen untuk mengkritisi kebijakan politik dibidang kamnas, terutama potensi pembahasan RUU Kamnas yang akan berlangsung mulus.

Dengan demikian, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keamanan negeri tanpa pendekatan keamanan itu sendiri adalah:

1. Melakukan serangkaian kajian tentang realitas penerapan kamnas melalu kementerian dan lembaga terkait, termasuk kemungkinan mengadopsi nilai-nilai baru di bidang kamnas. Redefinisi dan reorientasi kamnas wajib dilakukan agar eksekusi kebijakan kamnas tidak keliru di lapangan. Alih-alih pembentukan DKN akan berdampak pada penjagaan situasi keamanan nasional, bisa saja kemunculannya justru menimbulkan kegaduhan nasional karena orientasinya lebih kepada menjalankan kebijakan politik penguasa, bukan kebijakan negara.

2. Menimbang aspirasi publik juga tak bisa disimplikasi dengan hanya melibatkan lembaga dan ormas yang resmi dan pro rezim, karena banyak kepentingan stakeholder yang terimbas dari dibentuknya DKN ini. Meminjam legalitas dukungan formil tanpa memperhatikan aspirasi materiil di tengah masyarakat, akan menyebabkan kebijakan hanya berakhir di atas kertas. Kebijakan kamnas hanya akan berorientasi pada proyek, bukan substansi kepentingan negara.

3. Dilihat urgensinya, pembentukan DKN tidak perlu dan tidak urgen. Selain fungsi kamnas bisa dijalankan oleh lembaga yang sudah ada, redefinisi dan reorientasi nilai kamnas juga bisa diadopsi dan dieksekusi oleh lembaga yang sudah ada. Pembentukan DKN hanya akan menambah beban anggaran, memperpanjang alur birokrasi untuk membuat dan memutuskan kebijakan dibidang kamnas, sekaligus berpotensi disalahgunakan sebagai alat untuk membungkam nalar kritis masyarakat berdalih ancaman radikalisme dan ekstremisme. 

Demikianlah strategi mewujudkan ketertiban dan keamanan negeri tanpa pendekatan keamanan itu sendiri, serta menghindarkannya dari sekadar kepentingan/kehendak penguasa. Bagaimana pun kemaslahatan rakyat mesti didahulukan. Penguasa tidak boleh berlindung di balik jargon “negara tidak boleh kalah,” sementara sejatinya ia tengah melanggengkan tahta kekuasaannya. 

Ingatlah, bahwa penguasa adalah pemimpin rakyat dan setiap pemimpin kelak dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Penguasa Alam Semesta yang Maha Teliti dalam menghisab perilaku hamba-Nya.


Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar