Strategi COP Atasi Ancaman Climate Change: Solusi ataukah Sekadar Retorika Neo-Imperialisme Global?


TintaSiyasi.com -- Climate change (perubahan iklim) adalah isu yang ramai diperbincangkan publik memang cukup seksi untuk dikupas. Terlebih lagi setelah digelar Konggres Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau Conference of the Parties ke-26 (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober sampai dengan 12 November 2021.

Usut diusut konggres tersebut terjadi secara berkala. Dikutip dari bisnis.com (2/11/2021), Perundingan COP tidak terlepas dari sejarah di mana Indonesia pernah memegang Presidensi COP13 di Bali pada 2007. Pada saat itu, COP17 menghasilkan dokumen mendasar yaitu Bali Roadmap dan rangkaian pertemuan selanjutnya kemudian mengantarkan pada COP21 di Paris pada 2015 yang menghasilkan Persetujuan Paris (Paris Agreement) sebagai basis implementasi global setelah 2020.

Persetujuan Paris bersifat mengikat dan diterapkan tidak hanya pada negara maju saja, namun ke semua negara (legally binding and applicable to all Parties), dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities).

Perubahan iklim global ini adalah sebuah keniscayaan yang sulit untuk dihindari. Karena model perindustrian di dalam sistem kapitalisme sekuler memang tidak luput dari terciptanya banyak polusi-polusi dan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan. Tangan-tangan kapitalisme tak sedikit yang menyumpal mulut-mulut pemerintah, sehingga kerusakan alam menjadi sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Patut dipertanyakan, di kala ancaman perubahan iklim global mencuat. Mengapa negara maju malah sibuk untuk memberikan dana kepada negara-negara berkembang? Jelas ini dana pinjaman, tidak ada mungkin dana cuma-cuma. Ada apa di balik ini semua?

Negara-negara maju memang dianggap bertanggung jawab atas perubahan iklim yang terjadi. Jika hanya memberi dana pinjaman bukan membantu negara berkembang itu namanya membelenggu negara-negara berkembang agar tetap berada dalam pengaruhnya. Oleh karena itu, COP26 mampukah menjawab ancaman perubahan iklim global yang dapat berdampak buruk kepada penduduk bumi? Ataukah perhelatan ini hanya sebatas retorika yang dapat diduga mengokohkan penjajahan negara maju dengan gaya barunya?

Mengupas di Balik COP dalam Menjadi Solusi Tantangan Perubahan Iklim Global

KTT Pemimpin Dunia Conference of the Parties ke-26 (COP26) cukup menyita perhatian publik. Pasalnya, COP26 diharapkan mampu menjawab ancaman perubahan iklim yang sekarang menghantui dunia. Ironis! Di kala dunia ketakutan terhadap rusaknya alam karena perubahan iklim, mereka tidak mencari akar masalahnya. Tetapi, hanya sebatas retorika yang tetap melanggengkan kepentingan para kapitalis global. 

Sudah menjadi rahasia umum, iklim berubah adalah karena aktivitas tinggi perusahaan-perusahaan besar dalam mewujudkan tujuan ekonominya. Dalam lanskap kapitalisme bukan mudarat atau maslahat yang dicari. Justru soal untung dan rugi yang diutamakan. Wajar jika alam menjadi korban atas polusi-polusi, sampah-sampah, dan sebagainya yang dilakukan oleh para kapitalis global penguasa korporasi dunia.

Seperti yang dikutip dalam bisnis.com (2/11/2021), Presidensi UK untuk COP26 tahun ini memiliki tujuan khusus yang ingin dicapai pada pertemuan para pimpinan negara, seperti: (1) Mempercepat aksi dan upaya menuju Net Zero Emission (NZE) dengan salah satunya menjaga tingkat suhu global ideal sebesar maksimal 1,5°C; (2) Memastikan warga dunia dan habitat alam dapat beradaptasi dengan dampak perubahan iklim; (3) Memobilisasi pendanaan khususnya meminta pertanggungjawaban negara maju untuk memenuhi komitmen mereka dalam memobilisasi USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020; (4) Mendorong negara, entitas bisnis, masyarakat sipil dan warga negara bersama-sama mewujudkan Paris Agreement.

Dalam empat poin di atas COP26 tidak menunjukkan ketegasan kepada pelaku bisnis skala besar dalam menentukan sikapnya. Pertama, dalam aksi dan upaya menuju NZE belum diberlakukan sanksi tegas global untuk menghentikan ulah korporasi negara penyumbang terbesar meningkatnya suhu global. Dikutip dari Bisnis.com (1/11/2021), kendati Perjanjian Paris telah menyusun jalan target perubahan iklim dan menetapkan kontribusi terhadap tujuan tersebut, perlu ada update dalam perjalanannya.

Janji negara-negara yang dikenal dengan nama kontribusi yang ditetapkan secara nasional atau Nationally Determined Contributions pada 6 tahun lalu mendapat kritikan karena dianggap tidak sesuai dengan target batasan pemanasan global hingga 1,5 derajat celcius di atas level pra-industri. Laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa langkah pencegahan pemanasan global bergantung pada jalan yang diambil oleh pemerintah dan kontributor polusi terbesar. 

Dicermati lebih dalam, negosiasi pada perhelatan ini akan berpusat pada target yang lebih ambisius para kapitalis global. Karena, pada faktanya belum ada konsensus tegas terhadap para kontributor negara besar yang menyumbangkan banyak polusi maupun emisi karbon dari aktivitas perusahaannya.

Kedua, jika warga dunia diminta adaptasi perubahan iklim, tapi tidak ada gerakan terarah menuntaskan ancaman perubahan iklim ini adalah percuma. Sama saja, dunia kapitalisme global sedang merencanakan banyak musibah di dunia yang akan melanda. Bisnis.com (1/11/2021) mengatakan, konferensi ini dicap sebagai salah satu yang paling tidak adil. Beberapa peserta dari negara berkembang, di mana dampak perubahan iklim diperkirakan paling parah, telah mengkritik keputusan untuk melanjutkannya, mengingat kesulitan logistik, masalah visa, dan tekanan ekonomi.

Ketiga, mobilisasi dana yang berpotensi menjadi alat neoimperialisme negara-negara maju kepada negara berkembang. Komitmen negara maju yang tertera dalam perjanjian Paris untuk menggelontorkan dana utangan kepada negara berkembang, patut dipertanyakan. Karena tidak mungkin dana itu keluar cuma-cuma. Bahkan, akibat perhelatan ini ada pertemuan menteri keuangan di seluruh dunia. Terutamanya mereka menuntut dana yang harus digelontorkan negara maju untuk membantu negara berkembang dalam transmisi energi.

Dikutip dari bisnis.com (1/11/2021), COP26 yang diselenggarakan pada November di Glasgow, Inggris, akan mendorong komitmen negara-negara donor dan maju untuk memenuhi janji mendukung ekonomi berkembang hingga 100 miliar dolar AS. Bank Dunia adalah salah satu pihak yang menyatakan akan menyelaraskan pinjaman keuangan mereka dengan Perjanjian Paris. Forum tersebut dikatakan nantinya juga akan membahas keterlibatan sektor swasta dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Menurut Ketua Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP26) Alok Sharma, ada banyak uang yang ingin diinvestasikan oleh sektor swasta, tetapi mereka perlu memastikan ketika suatu negara menetapkan kebijakan mereka, kebijakan tersebut bersifat jangka panjang.

Justru adanya perjanjian Paris tersebut, negara-negara maju bisa menancapkan hegemoninya di negara-negara berkembang. Lalu bagaimana alam bisa terjadi dan iklim tak berubah jika tatanan kehidupan diatur dengan sistem kapitalisme sekuler? Sejatinya sistem inilah yang telah merusak dunia ini, baik dari segi sosial maupun kehidupan. Karena dalam konsep kapitalisme yang dipikirkan adalah bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, mereka tidak memikirkan terkait maslahat dan mudarat ke depan. Tapi, hanya untung-rugi. Walhasil, alam yang menjadi korban atas ketamakan para korporasi global.

Dampak COP Apabila Tidak Mampu Mencegah Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim tentu sangatlah besar. Oleh karena itu, dunia berupaya mengatasinya dengan mengadakan KTT Pemimpin Dunia Conference of the Parties ke-26 (COP26). Namun, bagaimana dengan dampak acara ini ke depan? Acara ini cukup mengecewakan, karena belum mampu menekan dan memberi ketegasan kepada negara-negara yang menyumbang pemanasan global. Hanya saja yang digarisbawahi atas acara tersebut adalah tuntutan negara berkembang terkait masalah dana. 

Berdasarkan perjanjian Paris, negara maju diminta mengeluarkan dana untuk membantu negara-negara berkembang dalam hal konversi energi dan mitigasi energi. Tetapi, efektifkah hal tersebut? Ataukah hanya menambah beban utang negara-negara berkembang kepada negara maju? Hal itulah yang perlu diperhatikan dan dijadikan catatan.

Mengulas dampak COP26 apabila gagal mengatasi perubahan iklim sebagai berikut. Pertama, mengundang musibah dan bencana, terutama di negara-negara berkembang. Jelas ulah korporasi yang berwujud korporatokrasi akan berdampak buruk bagi dunia. Terutama jika tidak ada yang memberikan sanksi atas aktivitas ekonomi yang mereka lakukan. Bencana seperti, banjir, kebakaran hutan, dan lain-lain. Dikutip dari Tempo.co (6/11/2021), dari banjir dan kebakaran hingga konflik dan migrasi: model ekonomi berjuang dengan banyak kemungkinan efek samping dari pemanasan global. Perkiraan IMF kasarnya adalah bahwa pemanasan yang tidak terkendali akan mengurangi 7 persen dari output dunia pada tahun 2100.

Laporan NFGS memproyeksikan kerugian output keseluruhan di atas 15 persen untuk sebagian besar Asia dan Afrika, meningkat menjadi 20 persen di negara-negara Sahel. Negara-negara berkembang dianggap paling terdampak parah, karena masih ditemui banyak angka kemiskinan di sana. Dari banjir dan tanah longsor ketika musim hujan tiba, hingga kebakaran hutan dan kekeringan ketika musim kemarau melanda. 

Kedua, kemiskinan. Isu perubahan iklim jika tidak bisa diatasi bisa membuat jurang kemiskinan semakin menganga. Tempo.co (6/11) mengatakan, perubahan iklim akan mendorong hingga 132 juta lebih banyak orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2030, menurut kesimpulan sebuah makalah Bank Dunia tahun lalu. Faktornya termasuk hilangnya pendapatan pertanian; produktivitas tenaga kerja di luar ruangan yang lebih rendah; kenaikan harga pangan; peningkatan penyakit; dan kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrim.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi kapitalistik tidak akan bisa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi go green. Tempo.co (6/11/2021) menjelaskan, pertumbuhan yang benar-benar berkelanjutan menyiratkan bahwa kegiatan ekonomi dapat tumbuh sesuai kebutuhan tanpa menambah emisi lagi. Inilah yang disebut absolute decoupling. Namun sejauh ini, pemisahan apa pun sebagian besar bersifat relatif, dalam arti hanya mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada perolehan emisi, atau dicapai dengan mengalihkan produksi kotor dari satu wilayah nasional ke wilayah lain. Dan itulah sebabnya, untuk saat ini, emisi global masih terus meningkat. 

Oleh karena itu, memang perlu pembatasan yang tegas kepada para kapitalis/korporasi untuk lebih mengutamakan maslahat daripada hanya mengejar keuntungan semata. Di sinilah peran negara untuk merapikan itu semua. Sedihnya jika pejabat negara didominasi para korporasi. Justru ini yang berpotensi kepentingan para korporasi diakomodasi oleh negara, sehingga bukan maslahat dan mudarat yang jadi pertimbangan, tetapi untung dan rugi. Sekali lagi, rakyatlah yang akan jadi tumbal akibat kegagalan kapitalisme sekuler dalam mencegah terjadinya perubahan iklim. Ini salah satu bukti, jika aturan yang diterapkan berdasarkan hawa nafsu manusia tidak mampu membawa kemaslahatan. Karena mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi atau golongan semata.

Hadirnya COP26 ini patut dipertanyakan. Jika hadirnya tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan iklim, dapat dipastikan sebenarnya agenda ini hanyalah untuk mengokohkan kepentingan korporasi global. Mereka negara maju tidak mau, kepentingan dalam menguasai dunia ini terganggu oleh kecaman negara-negara berkembang. Maka, yang mereka lakukan adalah mengumpulkan pemimpin negara-negara berkembang untuk menancapkan hegemoninya dan menutup mulutnya dengan janji dana yang akan mereka gelontorkan. Ingat, dana itu adalah dana utangan. Pasti utang terhadap negara maju mengandung ribawi dan penuh dengan tipu muslihat. Tentunya umat Islam wajib waspada, jangan-jangan dana ini digunakan untuk memasukkan neoimperialisme di negara-negara berkembang. Sesungguhnya, jika ini terjadi, inilah bencana dan bahaya yang telanjang di hadapan umat. Hanya saja banyak yang tidak menyadarinya.

Strategi Islam dalam Menghadapi Ancaman Kerusakan Alam atau Perubahan Iklim

Islam adalah agama yang paripurna dan mampu membawa rahmat ke seluruh alam. Dalam surah Al-Araf ayat 96 difirmankan: Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.

Allah SWT telah berfirman jika penduduk beriman dan bertakwa, Allah akan turunkan keberkahan dari langit dan dalam bumi. Tetapi, jika penduduk bumi ingkar dan mengabaikan aturannya, Allah akan membalas dengan balasan yang adil.

Jadi, kunci untuk menciptakan tatanan kehidupan yang selaras dan seimbang adalah dengan iman dan takwa. Keimanan dan ketakwaan ini tidak hanya diwujudkan dalam cakupan individu, melainkan juga dalam bentuk negara yang beriman dan bertakwa. Tentu negara ini yang mengimplementasikan syariat Islam dalam segala bentuk aturan dari dasar hingga cabangnya. Yaitu, negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah Islam. 

Jelas di dalam aturan Islam, akan diperhitungkan dan dipertimbangkan segala bentuk usaha dan karya manusia. Bagaimana perkembangan teknologi dan sains ini tidak merusak alam, tetapi bisa membawa rahmat ke seluruh alam. Yang perlu diperhatikan ketika aktivitas pemanfaatan alam dalam strategi Islam adalah sebagai berikut. Pertama, segala bentuk energi di alam akan dimanfaatkan dan dikembangkan dalam teknologi Islam. Hanya saja konsepnya adalah untuk mendapatkan lebih besar maslahat daripada mudarat. Jika, pemanfaatan membawa maslahat, tentunya khilafah akan mengembangkan demi umat manusia. Tetapi, jika ujung-ujungnya membawa mudarat dan mengundang bencana yang lebih besar. Pasti khilafah bakan bersikap tegas atas hal itu. Karena di dalam Islam, haram menciptakan kezaliman bagi umat manusia.

Kedua, bersikap tegas dan adil kepada pelaku perusak alam yang menyebabkan kemudaratan. Kontrol yang baik di dalam Islam adalah ketegasan dalam memberikan sanksi kepada pelaku usaha atau siapa saja yang berbuat zalim atau melakukan bisnis yang mengundang mudarat. Jadi, sangksinya tegas tanpa memikirkan untung rugi bagi negara, tetapi lebih mengutamakan aspek maslahat dan mudarat. Begitulah Islam mengatur. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam Ar-Rum ayat 41: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Ketiga, melakukan kontrol dengan dakwah. Selain negara sebagai pelaksana hukum Islam. Masyarakat Muslim juga harus melakukan amar makruf nahi mungkar. Karena ini akan menjadi muhasabah penguasa, atau pun pihak masyarakat yang perlu mendapatkan teguran atas sikap dan perilakunya terhadap lingkungan dan alam. Dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Segala bentuk risalah Nabi Muhammad SAW yang diturunkan kepada umat manusia adalah untuk membawa rahmat. Sehingga, sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menyebarkan dan menjaganya agar senantiasa tegak dan mampu diterapkan. Seyogyanya, umat Islam menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim dengan diterapkan Islam secara sistematis. Bisa jadi kerusakan alam yang sekarang ditemui adalah akibat dari umat manusia yang mengabaikan perintah Allah SWT dan malah menjalankan larangan-Nya. Wajar bukan kedamaian dan kesejahteraan, tetapi kerusakan yang dipanen.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. COP26 dikonfirmasi belum mampu menjawab tantangan perubahan iklim. Karena COP26 lebih sibuk menindaklanjuti perjanjian Paris, yaitu, meminta negara-negara maju untuk menggelontorkan dana utangan untuk negara-negara berkembang. Justru adanya perjanjian Paris tersebut, negara-negara maju bisa menancapkan hegemoninya di negara-negara berkembang. Lalu bagaimana alam bisa terjadi dan iklim tak berubah jika tatanan kehidupan diatur dengan sistem kapitalisme sekuler? Sejatinya sistem inilah yang telah merusak dunia ini, baik dari segi sosial maupun kehidupan.

2. Jika COP26 gagal mengatasi perubahan iklim, pasti ini akan berpengaruh terhadap tatanan dunia. Hadirnya COP26 ini patut dipertanyakan. Jika hadirnya tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan iklim, dapat dipastikan sebenarnya agenda ini hanyalah untuk mengokohkan kepentingan korporasi global dan retorika imperialisme global semata. 

3. Seyogyanya, umat Islam menyelamatkan dunia dari ancaman perubahan iklim dengan diterapkan Islam secara sistematis. Bisa jadi kerusakan alam yang sekarang ditemui adalah akibat dari umat manusia yang mengabaikan perintah Allah SWT dan malah menjalankan larangan-Nya. Wajar bukan kedamaian dan kesejahteraan, tetapi kerusakan yang dipanen.

Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar