Sayap Garuda Terancam Patah, Bukti Salah Kelola Sistem Kapitalisme

TintaSiyasi.com -- Garuda Indonesia menjadi maskapai kebanggaan nasional. Namun kini kondisi maskapai pelat merah tersebut sedang dalam krisis. Sehingga banyak muncul pertanyaan tentang apakah Garuda sebagai flag carrier masih perlu dipertahankan.

Kini pemerintah sedang mencari jalan memutar untuk memperpanjang napas PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Bisnis maskapai penerbangan ekor biru itu sedang berada di ujung tanduk akibat jeratan utang jatuh tempo terhadap lessor senilai US$ 7 miliar atau setara dengan Rp 100,6 triliun.

Garuda menghadapi tumpukan utang berlipat ganda untuk membayar sewa pesawat sebanyak 142 unit. Dalam rencana bisnisnya, perseroan ingin memangkas jumlah armadanya hingga 50 persen atau menjadi sekitar 70 unit guna menekan ongkos opersional.

Unit armada yang dimiliki maskapai saat ini dinilai tidak semua cocok dengan karakter perseroan sehingga menimbulkan kerugian. Pada awal 2021, Garuda telah mengakhiri kontrak secara dini dengan Nordic Aviation Capital (NAC) yang seharusnya berakhir pada 2027. Perusahaan menyewa 12 pesawat CRJ-1000 yang membebani keuangan perusahaan sekitar US$ 30 juta selama tujuh tahun terakhir.

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, mendesak agar pemerintah tidak memilih jalan menutup emiten berkode GIAA. Menurut Andre, pemerintah semestinya bisa memberikan dukungan total untuk menyelematkan Garuda seperti BUMN lain yang memiliki utang jumbo (tempo.com, 6/11/2021).

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo bahkan akan negosiasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencairkan dana Rp7,5 Triliun. Dana untuk suntikan modal ke Garuda Indonesia ini bersumber dari dana investasi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (IP-PEN) tahun 2020 yang disiapkan untuk maskapai pelat merah itu.

Sehingga bisa dikatakan bahwa Garuda termasuk salah satu dari 12 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat suntikan dana besar dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di era pandemi ini. Sayangnya, pencairan dalam bentuk obligasi wajib konversi (OWK) itu tidak lagi cair karena Garuda Indonesia tak lagi bisa memenuhi parameter yang dibuat pemerintah.

Suntikan dana yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi tersebut serasa tak tepat jika diberikan kepada Garuda Indonesia. Sebab, Garuda adalah perusahaan publik dan mampu membagi-bagi bonus untuk direksi. Logikanya, tentu tidak mungkin suatu perusahaan mungkin perusahaan mampu membagi bonus, tapi kesulitan cash flow. Apalagi Garuda adalah maskapai yang dinilai mempunyai pelayanan yang eksklusif dengan harga yang lumayan tinggi.

Masalah ini muncul karena negeri ini terlalu bangga dengan utang. Semua aset dibangun dengan cara pinjaman. Berdasarkan catatan Bank Dunia, Indonesia per akhir Agustus 2021 sebesar Rp 6.625,43 triliun. Jumlah utang Indonesia tersebut meningkat Rp 55,27 triliun dari posisi Juli 2021. 

Adapun bisnis penerbangan, pesawatnya juga bukan buatan sendiri. Tapi pesawat sewaan. Pada tahun 2020 lalu, proyek pesawat R80 karya (alm) BJ Habibie dihapus dari daftar proyek strategis nasional. Padahal sejak 2015, Habibie sudah minta Jokowi untuk membantu produksi pesawat R80. Habibie memang punya keinginan untuk mengembangkan pesawat itu karena ternyata Indonesia memang pasar terbesar untuk pesawat jenis baling-baling. Yang sayangnya, tidak satu pun dari pesawat baling-baling yang melangit di Indonesia saat ini merupakan karya anak bangsa. Semuanya merupakan pesawat impor yang sebetulnya bisa dibuat sendiri oleh para insinyur di Indonesia. Pembatalan proyek strategis nasional pesawat anak negeri, menunjukkan betapa yang diutamakan oleh penguasa saat ini bukanlah pemberdayaan, melainkan ketergantungan. Lagi-lagi yang diuntungkan dengan sistem ini ialah para kapital.

Sayangnya, BUMN dikelola dengan prinsip kapitalis-neoliberal, di mana aset strategis BUMN diperjual belikan dengan mudah. Siapa pemilik modal besar, dialah pemilik sesungguhnya. Sementara negara hanya bertugas sebagai  regulator yang akan memuluskan jalan korporasi menguasai aset strategis negara. Sehingga BUMN bukan lagi milik negara, melainkan milik segelintir orang hingga sesuka hati dalam mengelolanya. Motivasi pengelolaannya tak lagi sekadar profit, tapi sudah nafsu penjajahan ekonomi dari korporasi internasional yang secara sistematis difasilitasi oleh masing-masing negara atas nama kerja sama bilateral.

Islam menetapkan industri vital ini adalah milik umum sedangkan moda transportasi dan asetnya adalah milik negara yang harus dikelola sebagai milik rakyat, bukan ditangani dengan pengelolaan swasta yang berhitung komersialisasi. Semua aset strategis yang ada harusnya dikelola oleh negara dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kalaupun membayar, bukan untuk mencari untung, tapi hanya mengganti biaya perawatannya. Akan tetapi hal tersebut tidak akan pernah tercapai jika negara hanya bertindak sebagai regulator.

Negara harus mampu berdiri sendiri dan tidak tergantung pada negara lain. Dengan penerapan sistem Islam yang sempurna, negara akan hadir sebagai pengurus rakyat. Bukan lembaga bisnis yang menarik untung dari rakyat. 

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Keuangan negara Islam bersumber dari beberapa pintu, antara lain hasil pengelolaan SDA, jizyah, kharaj, fai, ghanimah, harta tak bertuan, dan lain-lain. Semua pemasukan tadi digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Selain itu, negara juga mengelola SDA sendiri. Sehingga dapat membuat bahan bakar pesawat (aftur), dari sini negara tidak perlu impor bahan bakar. Pesawatnya pun akan dibuat sendiri oleh para ilmuwan di negara ini dan akan dibiayai penuh oleh negara. Semua itu dapat dilakukan oleh negara Islam, yang mendasarkan aturan hanya pada Al-Qur'an dan as-Sunnah.

Dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna, seluruh kewajiban dalam agama bisa tertunaikan dan dapat mengakhiri derita umat saat ini. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam di dunia. Pemimpin yang bertugas meri’ayah atau mengurus berbagai urusan umat, sekaligus sebagai junnah atau perisai yang selalu siaga siang dan malam

Khilafah adalah bagian ajaran Islam yang layak untuk diperjuangkan, ajaran Islam yang ketika diterapkan akan menciptakan kedamaian dan keberkahan suatu negeri, insyaallah. Maka berjuang dalam penegakan janji Allah ini ada bentuk totalitas sebagai hamba yang bertakwa. Wallahu a'lam. []


Oleh: Enggar Rahmadani
Sahabat TintaSiyasi

Posting Komentar

0 Komentar