Pusaran Skandal Bisnis PCR: Antara Donasi dan Kemaruknya Oligarki


TintaSiyasi.com-- Oligarki kemaruk. Diksi ini mencuat di ruang publik menyusul dugaan keterlibatan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dalam bisnis tes PCR melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Dugaan ini sontak menambah keriuhan suara publik di tengah duka pandemi yang kian tak bertepi.

Pegiat anti korupsi mendorong Presiden Jokowi bersikap atas dugaan konflik kepentingan (vested interest) kedua menterinya tersebut. Peneliti senior Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan lembaga penegak hukum harus segera mengusut dugaan ini karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, bermasalah secara hukum, dan menyalahi etika sebagai pembuat kebijakan terkait pandemi.

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan bersama Indonesian Audit Watch (IAW), Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, dan Petisi 28 meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit tata kelola bisnis PCR di Indonesia. Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND) pun berdemo mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa Luhut dan Erick atas dugaan konflik kepentingan ini. Namun, baik pihak Luhut maupun Erick membantah soal dugaan konflik kepentingan atas bisnis tes PCR (bbc.com, 10/11/2021). 

Dugaan sebagian rakyat atas profit oriented yang dilakukan Luhut dkk adalah hal wajar. Karena sejak awal tidak ada transparansi pendirian PT GSI terkait bisnis sosialnya tersebut. Terlebih keuntungan bisnis PCR di negeri ini sangat tinggi. Perbandingannya, tarif PCR di India di bawah 500 ribu rupiah sejak awal pandemi. Namun di Indonesia bisa mencapai lebih dari Rp 1 juta. Pada Oktober 2020, harga tes PCR bahkan berkisar 1,5-4 juta rupiah. Padahal ternyata harga reagent-nya dari 13 ribu, 60 ribu, hingga 190 ribu rupiah. 

Pun tidak terdengar jika PT GSI memberikan tes PCR secara gratis atau berbayar murah. Hal ini baru terkabar setelah kisruh dugaan keterlibatan penguasa dalam bisnis PCR. Berdasarkan realitas ini, tak berlebihan jika masyarakat berasumsi Luhut dkk mencari keuntungan, bukan? 

Jika dugaan publik ini benar, tentu menambah daftar keterlibatan penguasa—dalam hal ini Luhut adalah pemain lama-- pada bisnis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di mana praktik oligarkis semacam ini telah lazim terjadi di negeri yang mengaku demokratis dan penguasanya sering berteriak demokrasi harga mati. Dan andai dugaan ini sesuai, maka tepatlah jika skandal PCR di masa pandemi ini disebut sebagai fenomena oligarki kemaruk.   

Kapitalisasi Bencana di Balik Skandal PCR

Merespons dugaan publik atas keterlibatan Luhut dkk dalam bisnis PCR, Arsjad Rasjid, Bos Indika yang juga salah satu pemegang saham dan pendiri PT GSI mengungkapkan bahwa ide membentuk perseroan terbatas (PT) ketimbang yayasan dalam penyelenggaraan layanan PCR adalah alasan keberlangsungan jangka panjang. Di mana PT ini misi utamanya adalah sosial sehingga diharapkan bisa jadi contoh bahwa pendirian PT tak semata mengejar keuntungan (kompas.com, 10/1/2020). 

Bagaimana kita memandang persoalan ini? Apakah bisa sebuah PT yang nota bene profit oriented namun bergerak bisnis ala sosial? Sangat disayangkan, sejak awal tidak ada transparansi jika Luhut dkk menjalankan bisnis sosial dalam bentuk PT, bukan yayasan. Luhut membeberkan, dirinya memilih opsi penempatan saham di PT GSI tidak melalui yayasan meskipun tujuannya untuk amal, karena sumber daya untuk mendukung program PCR berada di perusahaan tambang miliknya. Luhut pun mengaku, dia tidak mengambil keuntungan pribadi sedikit pun dari bisnis yang dijalankan PT GSI. Benarkah?

Dalam skandal PCR ini, wajar jika nama Luhut dan Erick menjadi sorotan. Mengapa? Karena posisi keduanya sebagai penyelenggara negara. Tak hanya menjabat menteri, melalui Perpres 82/2020 Luhut diangkat sebagai Wakil Ketua I dan Erick menjadi Ketua Pelaksana Komite Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). 

Dalam komite itu ada tiga organ: Komite Kebijakan, Satgas Covid-19, dan Satgas PEN. Tugas dan wewenang mereka adalah mengintegrasikan tiga organ itu. Artinya, mereka mengetahui, berwenang, memiliki akses, dan terlibat dalam keseluruhan kebijakan Covid-19 dan PEN, termasuk kebijakan tentang PCR.

Adapun klaim bahwa Luhut dkk tidak mengambil untung dan PT GSI adalah bisnis sosial, banyak pihak meragukan. Bukankah PT dibentuk memang untuk tujuan laba? Dalam urusan PT, tidak ada istilah “menyumbang”. Yang ada itu utang atau penyertaan modal. 

Sehingga tak perlu bicara untung atau tidak untung. Yurisprudensi menjelaskan, “untung” adalah ketika pendapatan lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya itu. Parameter “menguntungkan” itu bukan diukur dari ada tidaknya laba atau pendapatan, namun cukup bila ada suatu manfaat yang dinikmati orang atau badan hukum. 

Dengan kata lain, ada suatu kemungkinan keadaan yang dapat diketahui pelaku bahwa akibat perbuatannya akan menguntungkan orang lain atau badan. Penjelasan di atas otomatis mematahkan anggapan sebagian orang bahwa kerugian negara harus dibuktikan terlebih dahulu dalam kasus nepotisme.

Ketua YLBHI Asfinawati menyampaikan, apa yang telah terlihat menunjukkan ada peran Luhut dalam bisnis PCR. Menurutnya, sejumlah pejabat pemilik manfaat itu meski memiliki persentase saham kecil, memungkinkan berpengaruh pada bisnis PCR. Dan keterlibatan Luhut bisa dibuktikan dengan kepemilikan saham 10 persen tersebut. Dengan bukti itu, Luhut dan menteri lain yang terlibat bisa disangkakan melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Selain itu, Asfinawati juga menyebut pejabat pelaku bisnis PCR meski persentase saham terbilang kecil, bisa disangkakan melanggar Perpres Beneficial Ownership yaitu Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. 

Perpres ini menjelaskan pemilik manfaat sebagai orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan atau mengendalikan korporasi, berhak dan atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, dia juga mengkritik sejumlah menteri yang diduga terlibat bisnis PCR selain Luhut dan Erick. Ia menjelaskan, larangan berbisnis bagi ASN dikarenakan kekhawatiran akan konflik kepentingan dalam bisnis tersebut. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini presiden harus turun tangan sekaligus menyelesaikan masalah tersebut sesuai hukum (cnnindonesia.com, 2/11/2021).

Jika realitasnya seperti ini, maka diduga kuat telah terjadi kapitalisasi bencana di masa pandemi. Sesuatu yang tak bisa diterima oleh akal sehat, kepatutan, dan moral. Tak layak pemerintah bertindak bak penjual dan rakyat sebagai pembeli, berupaya menangguk keuntungan dari komoditas yang sangat dibutuhkan rakyat. Sungguh zalim! Di tengah Covid-19 yang mengisolasi kehidupan masyarakat dalam waktu lama dengan penderitaan luar biasa, tapi masih ada menteri yang tega mencari untung di saat kritis akibat Covid-19. 

Pemerintah Tidak Boleh berbisnis dengan Rakyat

Menurut LBH Kesehatan, bisnis PCR di Indonesia secara keseluruhan bernilai hingga Rp23 triliun. Nilai itu didapat dari estimasi kasar terhadap 28 juta tes yang telah dilakukan di Indonesia selama pandemi, dengan memperhitungkan harga tes yang berlaku selama ini mulai dari Rp2,5 juta per tes hingga turun menjadi Rp300 ribu per tes. 

Persoalannya, tidak seluruh tes ditujukan untuk penyelidikan epidemiologi dari kasus-kasus positif Covid-19. Sebagian tes dilakukan sebagai syarat administrasi bagi penumpang pesawat yang tidak diperlukan dan hanya merugikan masyarakat secara finansial. Apalagi, kewajiban tes PCR itu muncul di tengah menurunnya kasus Covid-19 di Indonesia dan semakin banyak orang yang telah mendapatkan vaksin.

Selain itu, bisnis PCR juga bisa jadi melibatkan konflik kepentingan yang lebih luas di kalangan pejabat negara. Apalagi, PT GSI hanya berkontribusi pada sekitar 2,5 persen tes PCR di Indonesia. Dari data yang tersaji, terdapat 700 ribu tes PCR oleh PT GSI, sehingga butuh didalami juga 27,3 juta tes lainnya. Hal ini menyisakan pertanyaan, apakah ada angka yang belum terungkap, sengaja tidak diungkap atau terselubung.

Keuntungan besar dari bisnis PCR tentu menggiurkan bagi penguasa yang sekaligus pengusaha untuk turut bermain di dalamnya. Bahkan Aiman Witjaksono, seorang jurnalis melakukan investigasi terhadap biaya tes PCR, ternyata ia menemukan harganya bisa hanya 10 ribu rupiah (kompas.com, 9/11/2021). Karena itu ICW memperkirakan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut bisa mencapai lebih dari Rp 10 triliun (pikiran-rakyat.com, 4/11/2021).

Namun secara etika, tindakan menteri yang ikut berbisnis alat tes PCR tentu tidak etis. Apalagi menteri tersebut punya kewenangan mengatur kebijakan penanggulangan Covid-19. Sangat memungkinkan kebijakan yang dibuat diatur sedemikian rupa agar menguntungkan bisnisnya. 

Keterlibatan menteri dalam skandal PCR juga merugikan hajat hidup orang banyak, menyebabkan tarik ulur kebijakan penanganan Covid-19, distrust masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menguat, hingga menghambat penanggulangan Covid-19 itu sendiri.

Tak hanya itu. Secara yuridis, perlu ditegaskan bahwa pemerintah atau negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Alasannya, negara adalah milik rakyat. Pengelolaan uang negara adalah demi kesejahteraan rakyat. 

Terlebih jika merujuk pada Islam sebagai ajaran yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Dalam Islam, penguasa merupakan pelindung rakyat dari berbagai keburukan dan pengurus segala urusan mereka, termasuk kebutuhan pokok secara individual maupun komunal termasuk masalah kesehatan. Porosnya adalah melayani, bukan berhitung untung-rugi.

Hubungan bak penjual dan pembeli ini bisa ada sebagai akibat paradigma kepemimpinan kapitalisme sekularistik yang menafikan pengaturan agama dalam ruang publik, pun mendasarkan segala sesuatu pada peraihan manfaat/keuntungan materiil. Negara diatur sebagaimana sebuah korporasi atau perusahaan. 

Fenomena Oligarki Kemaruk di Balik Skandal PCR

Miris, mengikuti permainan para pejabat negara merangkap pengusaha yang berkepentingan "profit-making" alias perburuan laba sebesar-besarnya. Tak peduli dalam situasi kebencanaan sekalipun, seperti korupsi bansos oleh Menteri Sosial. Maka, fenomena oligarki kemaruk di balik skandal PCR ala Luhut dkk bukanlah hal baru dalam permainan pola kuasa di negeri ini. Itulah mengapa banyak kalangan dengan mudah mengendus dan mengkritisi keterlibatan para menteri dalam kapitalisasi bencana ini karena hal sejenis telah lumrah terjadi. Aroma oligarkis sangat kuat tercium di baliknya. 

Kepemimpinan oligarki memang bukan hal baru di Indonesia. Bahkan gurita kaum oligark kini sangat mendominasi di era kepemimpinan Jokowi. Mengutip pernyataan Ilmuwan Politik Amerika Serikat (AS) Jeffrey Winters, yang menyoroti sistem oligarki di masa pemerintahan Indonesia pasca-era Orde Baru. Menurutnya, pemerintahan Indonesia pasca Orde Baru mengalami transisi model oligarki dari sultanic oligarch yang berhasil dijinakkan Soeharto ke model ruling oligarch yang berkeliaran sesuka hati di dalam sistem ekonomi politik nasional. 

Bahkan transisi tersebut sangat membahayakan proses demokratisasi di Indonesia, karena menceburkan negara ke dalam criminal democracy. Jika merujuk pada buku Asian Century on the Knife Edge karya John West tahun 2018, perkembangan oligarki di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kata John West, demokrasi Indonesia hanya tersisa sebagai demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa, bukan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, sebagaimana adagium demokrasi pada umumnya.

inilah buah pahit yang mesti ditanggung saat mantra demokrasi yang diagung-agungkan hanyalah retorika tanpa makna dan tak memiliki fakta. Hal ini terjadi karena demokrasi memiliki cacat bawaan yaitu ide kebebasan yang tak berbatas. Sehingga memfasilitasi para pemujanya untuk leluasa berpikir, berpendapat, termasuk dalam aspek ekonomi dan kepemilikan. Hingga bahkan keleluasaan ini telah menjauhkan mereka dari esensi berdemokrasi.

Tak dipungkiri, kini penerapan demokrasi di negeri ini tengah bergeser menuju format baru. Meski formatnya tidak ada penegasan, tetapi arahnya ke oligarki. Oligarki merupakan sistem pemerintahan dimana pihak yang berkuasa hanyalah segelintir orang (oligark). Tak ada kekuasaan apalagi kedaulatan rakyat. Yang ada adalah kedaulatan korporat. 

Praktiknya, oligarki pun kini berkelindan dengan korporatokrasi, yaitu sebuah istilah yang merujuk kepada perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi, bahkan mengendalikan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari indikator yaitu proses tata kelola negara kian banyak ditentukan oleh peran private sector (kelompok/kekuatan bisnis) dan kekuatan bisnis tersebut memerlukan mitra dari kekuatan politik.

Yang terjadi, biasanya para korporat melakukan proses pendekatan kekuasaan ke negara, dari pusat bahkan ke daerah. Sehingga negara lebih banyak diatur oleh kekuatan bisnis yang mengalami krisis etika bisnis yang memunculkan oligarki bisnis, lalu terjadilah perselingkuhan. Perselingkuhan yang dimaksud adalah terjadinya simbiosis antara kekuatan bisnis dengan kekuatan politik transaksional. Dan perselingkuhan itu berubah menjadi oligarki bisnis dengan politik.  

Ketika mereka kian dominan masuk pada proses politik dan bisa menduduki posisi jabatan politik, maka otomatis birokrasi negara ditentukan oleh oligarki itu. Faktanya, kini negeri ini dalam dekapan segitiga oligark yaitu kaum legislatif yang berselingkuh dengan penguasa dan pengusaha. 

Legislatif dan penguasa bisa berkuasa atas modal pengusaha, sebagian pengusaha menjadi penguasa atau legislatif  itu sendiri. Dan agar bisnisnya kian eksis, para pengusaha membutuhkan legalitas dari kebijakan legislatif/penguasa. Bak lingkaran setan, kemelut oligarki ini terus berlangsung.

Strategi Pengelolaan Kesehatan untuk Mengurusi Rakyat

Pada faktanya, rakyat membutuhkan peran negara untuk menjaga kesehatan dan pengobatan. Apalagi pada masa wabah, pelayanan kesehatan secara menyeluruh semisal tes Covid-19 dan perawatan serta jaminan hidup tidak mungkin dapat dipenuhi warga secara mandiri. Negara seharusnya hadir untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis dan perlindungan kepada rakyatnya.

Namun, dalam sistem kapitalisme, kesehatan dan nyawa manusia justru menjadi komoditi bisnis. Dalam kasus pandemi Covid-19 ini, misalnya, negara terbukti membiarkan para pengusaha berlomba-lomba mengambil keuntungan besar dari bisnis di bidang kesehatan. Ironisnya, bisnis layanan kesehatan berupa tes PCR sebagian dipegang oleh perusahaan milik pejabat negara. 

Yang makin membuat geram dan marah, tak ada sanksi hukum apa pun terhadap para pejabat negara dan koleganya yang membisniskan layanan kesehatan ini. Padahal terlihat jelas mereka telah melakukan penyimpangan kekuasaan. 

Merujuk strategi pengelolaan kesehatan ala Islam, pelayanan aspek vital ini termasuk kewajiban negara. Sesuai sabda Rasul SAW, “Pemimpin negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)

Salah satu tanggung jawab pemimpin negara adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma alias gratis. Dalilnya adalah kebijakan Nabi Muhammad SAW—dalam posisi beliau sebagai kepala negara—yang pernah mengirim dokter gratis untuk mengobati salah satu warganya, yakni Ubay bin Kaab yang sakit. Diriwayatkan, ketika Nabi SAW mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat umum (HR Muslim). 

Dalam riwayat lain disebutkan, serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah SAW selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Kebijakan ini dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah SAW. Sepeninggal Khulafaur Rasyidin, perhatian negara Islam pada layanan kesehatan, pengobatan, juga riset kesehatan dan obat-obatan kian pesat. Misalnya sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermic sehingga dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata. Ada pula Abu al-Qasim az-Zahrawi, bapak ilmu bedah modern. Ia menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bidang pembedahan, termasuk plester dan 200 alat bedah. 

Sepanjang sejarahnya khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705-715 M) pada era Khilafah Bani Umayah. Pada masa berikutnya beragam rumah sakit di berbagai kota dibangun dengan fasilitas bermutu. Bahkan sebagian dilengkapi sekolah kedokteran dan perpustakaan lengkap. Untuk melayani warga di pedalaman, para khalifah membangun rumah sakit keliling. Ini terjadi seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). 
Berdasarkan hak demikian, jaminan kesehatan bagi rakyat seharusnya memiliki empat sifat. Pertama, universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana sangat besar. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber lain seperti kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.

Karena itu haram membisniskan layanan kesehatan. Apalagi dilakukan oleh para pejabat negara dengan memanfaatkan jabatannya. Islam melarang keras pemimpin atau pejabat negara menipu rakyat untuk kepentingan bisnis mereka. Sebab seharusnya pejabat negara menjadi pelayan rakyat, bukan justru mengeksploitasi mereka demi keuntungan pribadi. 

Syariah Islam tegas melarang para pejabat negara dan kerabatnya berbisnis ketika mereka menjadi penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah merampas kambing-kambing harta perniagaan milik putranya, Abdullah, karena digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Hewan-hewan itu dijual, lalu sebagian hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar menilai itu sebagai tindakan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. 

Semua itu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariah Islam. Maka penerapan seluruh syariah Islam termasuk di bidang layanan kesehatan semestinya segera diwujudkan. Namun kebaikannya hanya bisa dirasakan dalam sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi SAW yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H. M. Hum, (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Pustaka
Layanan Kesehatan: Hak Rakyat, Bukan Dagangan Pejabat, Buletin Dakwah Kaffah no. 218, 12 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar