Kontradiktif Sexual Consent dalam Permendikbud 30 dan Coach Poligami

TintaSiyasi.com -- Di bulan ini isu seksual ramai, polemik Permendikbud 30 Tahun 2021 pelecehan mahasiswa oleh Dekan Fisip UNRI sampai isu coach poligami yang diangkat oleh Narasi TV. Manusia secara fitrah punya kecenderungan seksual, namun demikian harus ada pengaturan agar kecenderungan itu dipenuhi secara tertib, tidak liar. Untuk itulah hukum hadir. 

Hukum secara umum mempuyai 3 fungsi, yaitu: Pertama. Social control (mengendalikan). Kedua. Dispute settlement (Menyelesaiakan kasus). Ketiga. Social Change (Mengubah, merekayasa sesuai dengan perkembangan zaman). 

Terkait dengan pemenuhan hak utk seksual hukum menjamin HAM (to respect, to fullfill and to protect). Nah, masing-masing negara tentu beda pengaturannya yang disesuaikan dengan moral, ethic and religion-nya. 

Tujuan hukum mengatur masalah seksualitas ini tidak lain untuk menjaga marwah, kehormatan, nasabnya, kemuliaan manusia yang mestinya beda derajatnya dengan binatang. Baik sebagai perseorangan apalagi dalam komunitas keluarga, masyarakat dan bangsa. 

Banyak permasalahan yang diatur oleh hukum terkait dengan urusan seksualitas itu. Misalnya ada beberapa undang-undang yang mengatur ruang lingkup hukum, seperti: 

Pertama. Hukum Keluarga: NTCR (Hukum Perkawinan: UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, KHI (Inpres No. 1 Tahun 1991, Poligami juga diatur). 

Kedua. Jaminan pemenuhan hak berkeluarga, meneruskan keturunan, pengakuan seksualitas dll diatur dlm Konstitusi, UU HAM. 

Ketiga. Kemanan seksualitas dan pelanggarannya diatur dgn KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, Ratifikasi atas Kovenan Internasional terkait dengan HAM, Perempuan dll. 

Keempat. Pelanggaran terhadap asal-usul perkawinan (KUHP). 

Kelima. Kejahatan dan Pelanggaran atas kesusilaan (KUHP), Kekerasan Seksual: termasuk dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi Fisip UNRI oleh dosennya yang kebetulan menjabat sebagai Dekan. 

Pengaturan oleh hukum terhadap seksualitas memiliki karakteristik tersendiri, tergantung sudut pandang masing-masing bangsa. Sudut pandang terhadap seksualitas ini identik dengan Mabda/ideologi/worldview. Misal permasalahan consent kemarin. Di permendikbud isu consent ini dipakai, sedang urusan poligami isu consent ini gak dipakai. Kita perlu mendudukan worldview dalam menilai pembentukan dan penegakan hukum oleh suatu bangsa terkait dengan masalah seksualitas, khususnya sexual consent. 

Worldview (ideologi) sangat menentukan penggunaan isu sexual consent ataukah sexual non consent. Jika ideologinya liberal, dengan freesex tentu isu sexual consent sangat diarusutamakan. Asal ada persetujuan kedua belah pihak maka tidak ada pelanggaran hukum selama kedua belah pihak tidak terikat dalam suatu hubungan pernikahan bahkan hubungan sesama jenis pun tidak ada larangan. Yang dilarang adalah pedofilia, kekerasan, pemerkosaan. Selebihnya tidak ada masalah selama ada consent. 

Sedangkan untuk mabda Islam, soal consent tidak begitu dipentingkan karena apakah dengan sexual consent (suka rela) atau tidak (pemaksaan, kekerasan) semua hubungan seksual yang merupakan perzinahan diharamkan, dilarang baik beda jenis atau sesama jenis. Indonesia sebagai religious nation state seharusnya perhatikan betul aspek agama, khususnya majority Islam. 

Saya mempunyai pandangan tersendiri terhadap  aktivis seksualitas (gender, isu patriarki, dan sebagainya)  yang seringkali menyudutkan Islam dengan isu seksual yang mereka pahami berdasar worldview Barat.
Kelompok liberal menghendaki kebebasan penggunaan tubuh mereka. Negara tidak boleh campur tangan persoalan seksualitas yang ditempatkan sebagai urusan privat. Saya sebagai muslim dan juga berdasar Pancasila sila 1 jelas kegiatan seksual sekalipun harus diatur sesuai dengan aspek moral, ethic and religion. Orang banyak berteriak Pancasila harga mati, tapi tidak konsisten dengan nilai-nilai ketuhanan, niiai agama atau pun nilai moral. Prinsip saya: No Law Without Moral dan No Moral Without Religion. Lagi-lagi kembali ke persoalan agama. Ya saya tagih, Anda mau sungguh-sungguh ber-Pancasila atau mau main-main?  Anda mau sungguh-sungguh menjadi religious nation state ataukah maunya cuma lips service? 

Persoalan Poligami misalnya, kita temukan fakta menarik tentang poligami terkait persyaratannya. Syarat adanya persetujuan isteri untuk berpoligami yang terdapat dalam hukum positif yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, 
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), justru memberatkan bagi laki-laki (suami) yang ingin melakukan poligami. Akibat dari itu banyak laki-laki yang berpoligami secara rahasia tanpa meminta persetujuan dari isteri pertama, apalagi PNS. 

Padahal, Syarat poligami dalam fiqih Syafi‘Ä«yyah ialah kemampuan sang suami untuk menanggung nafkah para isteri dan keluarganya secara adil. Dalam fiqih Syafi‘Ä«yyah tidak ada syarat persetujuan isteri untuk berpoligami. 

Adapun syarat persetujuan isteri dalam melakukan poligami sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bisa dipahami melalui metode istislahiyah. 

Persetujuan isteri dapat dipertimbangkan sebagai alasan diperbolehkan poligami dengan alasan ini masuk dalam bagian maqasid syar’iyyah yakni memelihara agama, akal, keturunan, kehormatan dan harta. 

Bagi kelompok feminisme, pejuang gender dan lain-lain cenderung memojokkan Islam dan setuju jika ada sanksi hukum negara (KUHP) terkait dengan poligami tanpa izin atau persetujuan (consent) istri dan bahkan boleh jadi akan menyatakannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap asal usul pernikahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan asal-usul pernikahan. 

Sebaliknya mereka tidak melarang perzinahan, homoseksual, lesbian, lgbt, dan lain-lain yang mereka anggap sebagai hak asasi manusia. Jika ditanya: pilih mana, seorang suami berpoligami secara sah atau membiarkannya berzina? Kebanyakan wanita liberal akan menjawab: yang penting "botole balek" (yang penting "phalus" nya kembali pulang)". Tabik.! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Semarang, 20 Nopember 2021.

Posting Komentar

0 Komentar