TNI-Polri Aktif Menjadi Pj Gubernur: Mampukah Menjamin Netralitas Pemerintahan?


TintaSiyasi.com -- Polemik di dunia perpolitikan kembali terjadi. Pasalnya, wacana TNI-Polri menjadi penjabat (pj) gubernur kembali mendengung. Dirilis dari CNN Indonesia (24/9/2021) Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengatakan pihaknya selalu bersandar pada peraturan perundang-undangan. Jika penunjukan TNI-Polri diperbolehkan undang-undang, Kemendagri bisa saja mengambil opsi itu.

Menurut Benni, penunjukan keduanya sesuai aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dua orang itu adalah pejabat pimpinan tinggi madya di Kemendagri dan Kemenko Polhukam. Sekalipun demikian, wacana tersebut menuai kekhawatiran.

Rencana tersebut dikhawatirkan akan memunculkan dwifungsi ABRI. “Jangan apa-apa TNI-Polri, nanti orang akan berpikir berarti dwifungsi ABRI ada lagi,” kata pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti kepada Tempo, Senin, 27 September 2021.

Kilas balik reformasi menginginkan agar militer tidak lagi melaksanakan dwifungsi, tetapi menjalankan fungsi utamanya yang diatur dalam UUD 1945. Berdasarkan Pasal 30 UUD 1945, fungsi utama TNI adalah sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

Sedangkan fungsi utama Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Menjadi penjabat gubernur atau kepala daerah, kata Susi, bukanlah fungsi utama TNI dan Polri. Karena itu, ia mempertanyakan penunjukan perwira tinggi TNI-Polri sebagai penjabat daerah akan mengganggu fungsi utamanya atau tidak.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mengatakan, perwira TNI/Polri aktif tidak dimungkinkan menjadi penjabat kepala daerah. “Mengacu kepada undang-undang, penunjukkan perwira TNI dan Polri aktif ini tidak dimungkinkan,” kata Zulkifli dalam cuitannya di Twitter, Selasa, 28 September 2021.

Zulkifli mengatakan, jika ada perwira TNI/Polri aktif yang ditunjuk, maka syaratnya harus sudah pensiun atau mengundurkan diri. Sebab, penjabat gubernur harus pegawai negeri sipil atau pejabat di level madya.

Merujuk pada Pasal 74 ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Kemudian Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. 

Dari kedua UU tersebut, Zulkifli menilai sudah jelas bahwa sebaiknya mengikuti aturan dan undang-undang yang berlaku. “Pengisian penjabat gubernur yang ditunjuk Mendagri harus mengikuti aturan perundangan yang berlaku tersebut,” ujarnya. Dalam paparan di atas, jika TNI-Polri akan menjadi penjabat gubernur, harus sudah purna tugas. Jika wacana kembali didengungkan, inikah bukti kebobrokan demokrasi?

Mengulik di Balik Polemik Wacana TNI-Polri Menjadi Penjabat Gubernur

Baru-baru ini, wacana TNI-Polri menjadi penjabat gubernur kembali menuai kontroversi. Dirilis dari Tempo.co (28/9/2021) menyatakan, pemerintah membuka peluang penjabat kepala daerah diisi perwira tinggi TNI/Polri pada masa transisi Pilkada Serentak 2024. Tahun depan, setidaknya ada tujuh kursi gubernur yang kosong karena sudah habis masa jabatannya. Posisi ini akan diisi oleh penjabat gubernur hingga Pilkada 2024. Kemudian, pada 2023 akan ada 13 kursi lagi yang kosong. Sekalipun dari pihak Kemendagri mengatakan belum membahasnya karena sedang menyiapkan pilkada serentak 2024, tetapi sudah banyak tokoh politik yang menyampaikan kekhawatiran dan pandangannya. 

Menyikapi kasus di atas pasti teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Ketika, dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dihapus. Muncul kekhawatiran, jika hal itu terulang kembali. Dikutip dari Kompas.com, (19/3/2021), puncak dari masa kejayaan dwifungsi ABRI terjadi pada tahun 1990-an, di mana pada saat itu anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.

Tetapi seiring berjalannya waktu dwifungsi ABRI tersebut dihapus karena beberapa hal. Pertama, ketika militer ikut berpolitik, militer dijadikan alat kekuasaan. Sehingga, militer sebagai pengayom rakyat menjadi terkikis. Hal itu menjadi preseden buruk ABRI dan dugaan ABRI dijadikan mesin politik rezim yang berkuasa di masa Orde Baru (Soeharto). Kedua, berpotensi membentuk negara dalam negara. Karena, struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa ini dikhawatirkan mengontrol kegiatan politik rakyat sesuai dengan kepentingan politik golongan. 

Ketiga, pembersihan lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA (Badan Intelijen ABRI), BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) atau BAIS (Badan Intelijen Strategis), dan sebagainya. Lembaga tersebut dianggap berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan peradilan. Selain itu, memiliki wewenang yang sangat luar biasa dan dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Keempat, banyak terjadi pelanggaran HAM dan hal itu dianggap menciderai demokrasi.

Empat hal di atas adalah kekhawatiran yang muncul jika TNI-Polri menjadi penjabat gubernur lagi. Hanya saja, semuanya masih dibahas dan banyak kemungkinan terjadi nantinya. Melihat hal itu, telah mengkonfirmasi demokrasi memang suka gonta-ganti aturan sesuai kepentingan rezim yang berkuasa. Standar ganda yang ada dalam demokrasi sering membuat aturan saling bertolak belakang dan berlawanan satu sama lain. Seringnya kritikan dan demo tidak digubris.

Dampak Jika TNI-Polri Menjadi Penjabat Gubernur

Jika wacana TNI-Polri menjadi penjabat gubernur benar dilakukan,  tentu ini bisa menjadi preseden buruk negeri ini. Sebenarnya, mengapa wacana tersebut menuai penolakan, karena dalam sistem demokrasi, jika militer ikut terjun dalam dunia politik demokrasi, kebanyakan yang terjadi militer dijadikan alat kekuasaan oleh rezim yang sedang berkuasa. Inilah yang menjadi momok demokrasi. Walhasil wacana ini dianggap berpotensi menjadikan demokrasi menjadi otoritarianisme. 

Selain itu, hal tersebut akan menimbulkan beberapa dampak sebagai berikut. Pertama, jika benar TNI-Polri aktif jadi penjabat gubernur, maka hal itu membuat mereka tidak fokus terhadap tugas utamanya. Tugas utama TNI adalah sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Fungsi utama Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kekhawatiran lain muncul ketika yang semula menjadi alat negara menjadi alat kekuasaan.

Kedua, jika benar TNI-Polri aktif menjadi penjabat gubernur, hal itu dikhawatirkan tidak mampu bersikap netral ketika pilkada berlangsung. Hanya saja, ketidaknetralan demokrasi senantiasa ditunjukkan. Oleh karena itu, jika ini terjadi, ketidaknetralan apalagi yang akan diundang nantinya? Ketiga, jika benar TNI-Polri aktif jadi penjabat gubernur, ini membuktikan gagalnya kaderisasi politik dalam sistem demokrasi. Seolah-olah tidak ada pilihan lain dan tidak ada yang mampu menjabat kecuali dari TNI-Polri.

Urusan kekuasaan memang soal kursi empuk yang banyak diperebutkan, apalagi dengan iming-iming gaji dan tunjangan yang fantastis. Adanya wacana TNI-Polri menjadi penjabat gubernur ini, lumrah menambah kekhawatiran rakyat. Karena, rakyat trauma dengan bopengnya demokrasi yang sering ingkar janji. Belum lagi fakta deal-deal politik sering mewarnai wajah perpolitikan negeri. Tetapi, jika boleh jujur bicara fakta. Mau siapa saja pemimpinnya dan dari latar belakang mana saja, demokrasi semakin menunjukkan ketidakberpihakan kepada rakyat.

Seharusnya jika pemerintah serius berpikir untuk rakyat dan kemajuan negeri, pemerintah harus sibuk memperbaiki sistem, bukan sibuk hanya gonta-ganti pemimpin saja. Karena akibat penerapan demokrasi kapitalisme membuat negeri ini orientasinya bukan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi soal untung rugi. Walhasil, banyak kebijakan yang mengabaikan suara rakyat.

Strategi Islam dalam Mengatur Pemerintahan antara Gubernur dan Militer

Jika pemerintah dalam sistem demokrasi berniat menjaga netralitas, seharusnya yang menjadi penjabat gubernur dari sekda (sekretaris daerah) bukan dari TNI-Polri. Tetapi semua tinggal menunggu dan melihat, siapa yang akhirnya akan ditunjuk menjadi penjabat gubernur nantinya. Selanjutnya jika berbicara terkait jabatan yang perlu digarisbawahi antara sistem Islam dan non-Islam (kufur) adalah orientasinya. Orientasi jabatan di dalam sistem Islam adalah amanah dari Allah SWT untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum-Nya. Selain itu, jabatan dalam Islam tidak hanya berhenti di dunia, tapi akan dipertanggungjawabkan sampai ke akhirat. Inilah yang menyebabkan jabatan dalam sistem pemerintahan Islam berbeda dengan demokrasi.

Demokrasi kapitalisme, telah menihilkan peran agama. Bahkan, dalam praktiknya, demokrasi seolah anti-Islam. Karena, atas nama demokrasi, yang ditegakkan bukan suara terbanyak, tapi suara yang berkepentingan. Maka, wajar saja. Di negeri mayoritas Islam, syariat Islam justru dianak-tirikan, bahkan ada yang ingin menghapusnya dan mengganti dengan aturan liberal sekuler secara total.

Dalam Islam, politik adalah mengurusi urusan umat. Politik dalam Islam lebih menitikberatkan, segala bentuk problematika kehidupan harus diselesaikan dengan solusi/pandangan Islam. Sebagaimana dalam Islam, pemimpin negara (khalifah) adalah pemimpin tertinggi militer (amirul jihad). Tetapi berbeda dengan kepala daerah/wali/amir/gubernur dalam suatu wilayah. Para wali tidak mengurusi soal militer, keuangan, dan peradilan. 

Sebagaimana yang dijelaskan di bawah ini. Dalam buku Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administrasi) terjemah kitab Ajizah Daulah al-Khilafah karangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan, khalifah adalah pemimpin negara tertinggi. Berikut hak khalifah terhadap wali (gubernur), pertama, berhak melakukan apa saja yang ia pandang baik untuk mengatur negara atau untuk mengatur wilayah karena syariah tidak menentukan aktivitas-aktivitas tertentu bagi wali. Kedua, tidak mewajibkan agar wali mengurusi seluruh urusan pemerintahan.

Ketiga, aktivitas wali/amir/ gubernur adalah aktivitas pemerintahan dan kekuasaan. Keempat, wali adalah mewakili khilafah (dalam wilayah yang ia pimpin). Kelima, wali mewakili di tempat tertentu yang telah khilafah amanahkan. Keenam, khalifah berhak mengangkat wali dengan wewenang bersifat umum dan khusus untuk tugas tertentu menurut pandangan khalifah. 

Hal itu tampak dalam aktivitas Rasulullah SAW. Beliau mengangkat Wali Amru bin Hazm al-Yaman sebagai wali dengan kepemimpinan bersifat umum. Beliau juga pernah mengangkat wali dengan kepemimpinan bersifat khusus. 

Beliau pernah mengangkat Ali bin Abi Thalib untuk menangani urusan peradilan di Yaman. Meskipun khalifah boleh mengangkat wali dengan kepemimpinan umum dan boleh juga mengangkat wali dengan kepemimpinan khusus, pada masa-masa terjadinya kelemahan para khalifah Abbasiyah, kepemimpinan wali yang bersifat umum telah memberikan kemungkinan beberapa wilayah menjadi independen hingga tidak tersisa lagi Kekuasaan bagi khalifah, kecuali sekadar sebutan namanya dan pencetakan mata uang atasnya. 

Dari sini ternyata pemberian kepemimpinan yang bersifat umum itu telah menyebabkan dharar (kemudaratan) bagi daulah Islam. 

Karena wali boleh diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat umum dan boleh juga diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat khusus; juga karena wilayah (kepemimpinan) yang bersifat umum ternyata telah mengakibatkan kemadaratan dan bahaya terhadap negara, maka atas dasar semua itu, An-Nabhani mengadopsi pengangkatan wali dengan kepemimpinan yang bersifat khusus dalam urusan selain urusan yang memungkinkan wali-seandainya ketakwaannya lemah-untuk terlepas (independen) dari khalifah.

Berdasarkan pengalaman dan realitas, urusan-urusan yang tidak diberikan kewenangan kepada wali adalah urusan militer, peradilan, dan keuangan negara. Dengan demikian urusan tersebut diurusi oleh struktur tersendiri yang dikontrol oleh khalifah sebagaimana struktur-struktur daulah khilafah yang lain. Maksudnya, struktur tersebut terlepas dari kewenangan wali.

Maka, dalam Islam khalifah memiliki kuasa penuh terhadap daerah yang ia pimpin. Islam meminimalisir terjadinya pemisahan daerah, oleh karena itu, militer, peradilan, dan keuangan tetap berada dalam kendali penuh khalifah. Selain itu, tiga hal krusial tersebut tidak diamanahkan kepada wali. Maka dari situ dapat diketahui, Islam memandang militer untuk melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. 

Tetapi, jika masa jabatan wali habis, khalifah wajib mengangkat pengganti wali tersebut, tetapi tidak boleh ada dwifungsi jabatan. Dia sebagai wali, tetapi juga sebagai militer/peradilan/keuangan. Karena jika hal itu terjadi dapat mengakibatkan suatu wilayah yang dipimpin wali independen dan berpotensi melepaskan diri atau tidak mau patuh terhadap khalifah sebagai kepemimpinan umum atas daulah Islam.

Selain itu dalam Islam tidak ada rentan atau masa jabatan tertentu untuk amanah tertentu. Selama masih sanggup dan amanah menjalankan tugasnya dengan baik. Bisa jadi ia akan diamanahi sebagai wali, tetapi jika ditemui kelalaian atau pelanggaran, maka khalifah berhak memecatnya dan mengganti dengan orang yang lebih layak.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Wacana TNI-Polri menjadi penjabat gubernur menuai polemik karena publik khawatir, jika peristiwa dwifungsi ABRI berpotensi terulang kembali. Yaitu, militer dijadikan alat kekuasaan, berpotensi membentuk negara dalam negara, berpotensi lahir lembaga-lembaga independen yang berada di luar jangkauan kekuasaan, kehakiman, dan peradilan, dan terjadi banyak pelanggaran HAM. 

2. Dampak yang ditimbulkan ketika wacana itu terjadi adalah TNI-Polri tidak fokus terhadap tugas utamanya, tidak mampu bersifat netral, gagalnya kaderisasi politik dalam sistem demokrasi. Masalah kekuasaan dalam demokrasi kapitalisme memang jadi barang rebutan, seharusnya pemerintah fokus dalam perbaikan sistem dan pejabat negeri ini. Karena siapa pun yang memimpin jika sistem yang diterapkan memberi celah pengkhianatan (korupsi, kolusi, nepotisme, atau yang lainnya). Ya, hal itu akan tetap terjadi.

3. Dalam pemerintahan demokrasi, seharusnya yang jadi penjabat gubernur bukan dari TNI-Polri, melainkan dari Sekda (sekretaris daerah). Hanya saja ke depan bagaimana, tergantung menunggu keputusan pemerintah. Berbicara strategi dalam Islam mengatur wali/gubernur dan militer adalah terpisah. Dalam Islam tidak dibenarkan wali memiliki wewenang khusus dalam tiga hal krusial, yaitu, militer, peradilan, dan keuangan. Oleh karena itu, jika jabatan wali habis, wajib kepala negara (khalifah) mengangkat penggantinya. Selain itu dalam Islam tidak ada rentan atau masa jabatan tertentu untuk amanah tertentu. Selama masih sanggup dan amanah menjalankan tugasnya dengan baik. Bisa jadi ia akan diamanahi sebagai wali, tetapi jika ditemui kelalaian atau pelanggaran, maka khalifah berhak memecatnya dan mengganti dengan orang yang lebih layak.

Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo dan Analis Mutiara Umat

#Lamrad
#LiveOpperrsedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar