TintaSiyasi.com-- Apresiasi atau frustasi? Entah mana yang lebih mewakili rasa hati publik atas dihapuskannya akses terhadap 2,6 juta konten negatif, yang baru-baru ini diumumkan Kemenkominfo. Dikaitkan dengan pencanangan "perang terhadap konten negatif" pada 2017, bisa jadi capaian ini merupakan prestasi. Pengoperasian mesin sensor penapis konten negatif sejak Januari 2018, agaknya patut diapresiasi.
Namun bila dibandingkan dengan 28-30 juta situs porno sesuai perkiraan Kemenkominfo, rasanya angka 2,6 juta masih terbilang kecil. Terlebih, konten negatif tak melulu pornografi. Kemenkominfo memasukkan juga hoax, ujaran kebencian, cyberbullying, penipuan/perjudian dan radikalisme di dunia maya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Dirjen Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Samuel A. Pangarepan (Beritasatu.com, Oktober 2017). Kalau sudah begini, bisa-bisa yang muncul justru rasa frustasi.
Ya, frustasi karena melihat tak berimbangnya langkah tegas pihak berwenang dalam hal ini dengan banjir konten negatif yang tak kunjung surut. Kenyataan bahwa publik di negeri ini cenderung suka pada konten negatif, jelas menjadi ironi terhadap semangat memerangi konten negatif. Kesimpulan terkait sikap tak terpuji pengguna medsos di sini, dinyatakan oleh Samuel A. Pangarepan, sebagaimana dilansir CNN Indonesia pada Agustus 2017.
Fenomena ini makin terkonfirmasi oleh pernyataan Profesor Henri Subiakto, Staf Ahli Menkominfo di bidang hukum. "Kecenderungan sesuatu yang buruk itu lebih dianggap menarik dibanding dibandingkan sesuatu yang indah atau baik," demikian ungkap Henri merespon makin meningkatnya konten negatif pada 2021 (Republika.co.id, 15 April 2021)
Munculnya gejala yang menyimpang ini bukan tanpa sebab. Euforia kebebasan bersikap dan berekspresi yang berjalan seiring dengan demokratisasi di negeri ini, menghadirkan realita yang bertolak belakang dengan cita-cita luhur dalam sebuah masyarakat. Hilangnya tatakrama, kepantasan, rasa malu dan takut akan dosa, digantikan nilai-nilai materi yang makin menguat.
Sebagai akibatnya, publik tak terkecuali pengguna medsos lebih mengedepankan "like dan dislike" bukan karena nilai yang terkandung pada satu konten dan dampak ikutannya pada masa mendatang. Namun lebih karena selera dan kesenangan yang tidak lagi rasional, apalagi agamis. Para kreator konten pun tak sedikit yang hanya mengejar viral dan nominal. Jadilah banyak konten di dunia maya menjadi inspirasi kejahatan dan tindak asusila di dunia nyata. Miris.
Demikianlah konsekuensi pahit dari menjauhi petunjuk Ilahi. Sekularisme yang memimpin peradaban di negeri ini sejatinya kian membawa penduduk negeri rela menukar panduan agama dengan harta dan hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
بَلْ كَذَّبُوْا بِا لْحَقِّ لَمَّا جَآءَهُمْ فَهُمْ فِيْۤ اَمْرٍ مَّرِيْجٍ
"Bahkan mereka telah mendustakan kebenaran ketika (kebenaran itu) datang kepada mereka, maka mereka berada dalam keadaan kacau-balau." (QS. Qaf 50: 5)
Harta dan hawa nafsu akan membuat manusia gagal mengenali kebenaran. Gagal pula berkomitmen pada kebenaran. Konten negatif pun akan tampak menarik dan mudah disebarluaskan. Hal mana yang akan menyebabkan perang melawan konten negatif hanya akan jalan di tempat.
Harta dan hawa nafsu akan menjebak manusia pada konflik kepentingan yang berkepanjangan. Bukankah terus menerus kita dipertontonkan perdebatan antara ahli pendidikan, seniman dan para pemodal di balik situs judi dan pornografi? Perdebatan sengit ini acap kali disudahi dengan kemenangan para pemodal dan seniman pemuja kebebasan. Lagi-lagi nilai materi terbukti menjadi puncak orientasi dalam peradaban sekuler dewasa ini.
Oleh karenanya, suburnya konten negatif tak cukup dihadapi dengan memutus akses terhadapnya. Namun harus didahului dengan memutus akses terhadap sekularisme yang menjadi biang keruwetan ini. Akal dan hawa nafsu manusia tak boleh dibiarkan mengartikan sendiri apa yang benar, baik, pantas, dan terpuji. Demikian pula sebaliknya. Manusia juga tak dibiarkan mengatur sendiri perbuatannya dengan dalih kebebasan. Hal itu tak dapat mengantarkannya memeroleh dan menjaga semua kemaslahatan. Pasalnya, akal yang diandalkannya sering tergoda oleh hawa nafsu.
Sebagai gantinya, mutlak harus dikembalikan semua wewenang untuk menetapkan standar nilai dan metode operasional kepada Sang Khaliq. Allah yang Mahabenar dan Mahaadil. Tak terkecuali dalam masalah konten dan kebijakan media secara luas. Dengan begitu akal, perasaan dan jiwa akan selaras dengan ketakwaan. Konten negatif tak lagi viral dan terjual laris manis. Memerangi konten negatif tak hanya jadi agenda sebuah kementerian, namun perang semesta yang dipermaklumkan seluruh anak negeri. []
Oleh: Riani Kurniawati
(Sahabat TintaSiyasi)
0 Komentar