Hukum KB

TintaSiyasi.com-- Tanya: Ustaz mohon diterangkan apa hukumnya KB (Keluarga Berencana)?


Jawab:

Sebelum dijawab, perlu dipahami lebih dulu fakta (manath) yang dimaksudkan dengan KB.

KB dapat dipahami dalam dua pengertian:

Pertama, KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).

Kedua, KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran).

Hukum KB dalam arti Tahdid An-Nasl (Pembatasan Kelahiran), yaitu sebagai sebuah program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk (tahdid anl-nasl), hukumnya haram. Tidak boleh ada sama sekali ada suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang membatasi jumlah anak dalam sebuah keluarga. (Lihat Prof. Ali Ahmad As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, [Mesir : Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur`an], 2002, hal. 53).

KB sebagai program nasional tidak dibenarkan secara syara’, karena bertentangan dengan akidah Islam, yakni ayat-ayat yang menjelaskan jaminan rezeki dari Allah untuk seluruh makhluknya. Allah SWT berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizekinya." (QS Huud [11] : 6).

Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus batil karena tidak sesuai dengan kenyataan. Produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia. (Prof. Ali Ahmad As-Salus, ibid., hal. 31).

Teori Malthus juga harus ditolak dari segi politik dan ekonomi global. Karena ketidakcukupan barang dan jasa bukan disebabkan jumlah populasi yang terlalu banyak, atau kurangnya produksi pangan, melainkan lebih disebabkan adanya ketidakadilan dalam distribusi barang dan jasa. Ini terjadi karena pemaksaan ideologi kapitalisme oleh Barat (negara-negara penjajah) atas Dunia Ketiga, termasuk Dunia Islam. Sebanyak 80 % barang dan jasa dunia, dinikmati oleh negara-negara kapitalis yang jumlah penduduknya hanya sekitar 25 % penduduk dunia. (Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga : Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, [Jakarta : Pustaka Cidesindo], 1999).

Adapun hukum KB dalam arti Tanzhim an-Nasl (pengaturan kelahiran), yaitu aktivitas yang dijalankan oleh individu (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimana pun juga motifnya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 148).

Dalil kebolehannya antara lain hadis dari sahabat Jabir RA yang berkata:

كنا نعزل والقرآن ينزل

"Dahulu kami melakukan azl [senggama terputus] pada masa Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun." (HR Bukhari, no 4911).

Namun kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Kaidah fiqih menyebutkan:

الضرر يزال

Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya wajib dihilangkan)." (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir fi Al-Furu`, [Semarang : Maktabah Usaha Keluarga], hal. 59).

Kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang bersifat permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram. Sebab Nabi SAW telah melarang pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu. (Muttafaq ‘alaih, dari Sa’ad bin Abi Waqash RA). Wallahu a’lam. []


Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi
(Ahli Fikih Islam)

Posting Komentar

0 Komentar