Beberapa Perkara yang Tidak Tercantum Secara Letterlijk di Qur'an dan Memiliki Hukum Wajib dan atau Haram

TintaSiyasi.com-- Berikut ini ada beberapa contoh hasil ijtihad para alim ulama terkait dengan hukum yang tidak jelas disebutkan di Al-Qur'an dan hadis, tetapi sesungguhnya merupakan bagian dari hukum syariah Islam. Beberapa hal itu adalah sebagai berikut: 

Pertama. Hukum memukul orang tua.

Hukum memukul orang tua itu apa? Haram? Coba tunjukkan dalam Al'Qur'an dan Hadis yang menyatakan bahwa memukul orang tua itu haram. Yang kita temukan Surat Al-Isra' Ayat 23: 

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."

Dari ayat ini ulama memahami: bilang "ah" saja tidak boleh apalagi memukulnya. Ini yang disebut mafhum muwafaqah, bukan mantuq. 

Mafhum muwafaqah yaitu: 

ماَ كَانَ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِلْمَنْطُوْقِ 

Artinya: “Petunjuk lafal yang bersamaan antara hukum yang tidak disebut dengan hukum yang disebut". 

Jadi mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqah dapat dibagi dalam: 

Pertama. Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya seperti yang sudah diterangkan di muka. Juga sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya: “Janganlah kamu katakan kata-kata yang keji kepada dua orang ibu-bapakmu”. Kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya. 

Kedua. Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT: 

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا( النّساء :۱۰) 

Artinya: “mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka” ( QS. An-Nisa’ : 10) 

Kedua. Hukum membakar harta anak yatim.

Allah telah berfirman sehubungan dengan perihal anak-anak yatim ini: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. (Q.S. 4 : 2). 

Ayat tersebut di atas bicara tentang makan harta anak yatim. Persoalannya dapat saja akan timbul, yakni: Apa hukumnya membakar harta anak yatim? Hukumnya haram! Kita hanya temukan haramnya karena memakan, tapi bukan berarti membakar, membuang harta anak yatim itu dihalalkan. Jadi, meskipun dalam Al-Qur'an dan Hadis kita tidak menemukan secara letterlijk bahwa membakar, membuang harta anak yatim itu dihalalkan, tetap hal itu dihukumi sama dengan memakannya. 

Ketiga. Hukum jual beli di hari Jumat.

Jenis mafhum yang kedua adalah Mafhum mukhalafah. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT: 

إذَا نُوْ دِيَ لِلصَّلوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…

Artinya: “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkan jual beli” 

Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jumat sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan shalat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab. 

Keempat. Hukum tabbayun terhadap berita.

Bila ada berita dari orang yg dipercaya, perlukah kita tabbayun? Yang ada klo ada orang fasik membawa berita. Yang kita temukan adalah Al Hujurat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

(Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu). 

Kalau ada seorang ulama, imam membawa berita melalui kitab-kitabnya, masihkah kita meragukan ijtihadnya? 

Saudaraku, orang yang paham Islam tidak akan selalu meragukan dan menanyakan dalil dan dalih untuk patuh pada hukum syariah karena ia telah mengerti ilmunya bagaimana memahami dan menjalankan hukum syariah. 

Hukum syariah adalah hukum Allah yg dipahami oleh manusia bersumber pada Al-Qur'an, Hadis, Ijma Sahabat dan Qiyas dengan ijtihad yang benar. Itjihad bukan sekedar pendapat tapi adalah Hukum syariah. Perbedaan akan sangat mungkin, namun bagi orang yang berilmu tidak akan mendatangkan perpecahan dan kebencian. Untuk perkara yang qath'i tidak boleh ada perbedaan. 

Qath’i adalah ketetapan hukum yang sudah pasti yang langsung ditetapkan Allah maupun oleh Nabi SAW. Seperti wajibnya shalat 5 waktu, shalat dhuhur itu wajib 4 rakaat, mambaca Fatihah itu wajib dalam setiap rakaat shalat, puasa ramadhan itu wajib, puasa senin kamis itu sunnah, zakat itu wajib bagi yang mampu, naik haji itu wajib bagi yang sudah mampu dan lain-lain. Hukum Qath'i seperti ini tidak boleh diperselisihkan lagi dan haram hukumnya memperselisihkannya. Dan dalam pengaplikasinya pun tidak ada yang berbeda pendapat baik dari kalangan sahabat hingga generasi berikutnya. 

Perkara Zhanni, yaitu dalil-dalil yang belum pasti penunjukannya terhadap satu masalah. Artinya ketika ada satu masalah yang memerlukan ketetapan hukum syariat, sedangkan dalil yang ada baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak menunjukan kepastiannya, ataupun tidak ada dalil-dalil sama sekali, maka munculah perbedaan pendapat mengenai status hukum itu. Dan perbedaan pandangan ini sudah dimulai semenjak generasi sahabat di mana setelah wafatnya Nabi SAW dan Al-Qur’an pun sudah sempurna diturunkan, sedangkan permasalahan terus bermunculan. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan cara Ijtihad. Definisi mudah ijtihad itu adalah meneliti dengan seksama semua dalil yang ada dan mengambil paradigma berpikir yang dianggap tepat oleh seorang Mujtahid (orang yang berijtihad) untuk menetapkan satu kasus hukum. 

Perbedaan dalam urusan pribadi ya sangat mungkin. Perbedaan dalam urusan publik: keputusan seorang imam khalifah mengangkat perbedaan. Imam harus mengambil salah satu hukum yang ada. Kisah Nabi banyak yang bisa menunjukkan betapa umat butuh pendapat akhir dari seorang Imamah, Khalifah. Bisa dikaji kisah Perang Khandaq dan Perang Uhud. 

Hukum Khilafah Bagaimana? 

Pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad ulama, ijtihad imam hanyalah pendapat biasa dan bukan termasuk hukum syariah adalah cara keji untuk menjauhkan umat Islam dari hukum syariah. Khilafah adalah hasil ijtihad para ulama dalam kitab terpercaya dan bersumber pada sumber hukum: Al-Qur'an dan Hadis. 

Saudaraku, apakah Anda masih juga bingung?
Bingung, itu sebagai tanda awal tidak adanya ilmu. Menghadirkan ilmu: wajib. Masalah besar kita adalah tidak adanya ilmu. Carilah dalil yang kuat. Bila ada perbedaan kita harus toleran sambil mencari dasarnya, mencari dalilnya. Pendapat seseorang bisa jadi akan berubah karena konsisten pada kebenaran bukan nafsunya. 

Masih meragukan bahwa khilafah itu ajaran Islam yang merupakan bagian dari Hukum syariah? Bila masih ragu bahkan menentangnya, sangat mungkin itu terjadi karena kita belum memahaminya lantaran tidak punya ilmunya. Tabik! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar