Sekolah Berkiblat ke Th4li84n: Inikah Propaganda Jahat Berbasis Islamofobia?


TintaSiyasi.com -- Tendensius. Demikian kesan yang tertangkap saat menyimak pernyataan Pengamat Intelijen Susaningtyas Nefo Kertopati yang mengungkap, jika saat ini banyak sekolah di Indonesia berkiblat ke Thaliban. Menurutnya, ciri-ciri sekolah tersebut yaitu: anak didik dan sang guru tak mau hormat bendera merah putih, tak mau memasang foto presiden dan wapres, tak mau menghafal menteri-menteri dan parpol, tak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, serta memperbanyak bahasa Arab. 

Ia meminta fenomena ini diwaspadai dan harus menjadi perhatian Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, BIN, BNPT, TNI, dan Polri. Ia pun menganggap Thaliban sebagai ancaman bagi RI, berdalih bahwa ia telah melihat betul efek Thaliban yang sudah mulai merusak sekolah-sekolah di Indonesia (geloranews, 7/9/2021). 

Meski ia telah mengklarifikasi soal temuannya terkait dunia pendidikan sebagai embrio terorisme radikalisme, pun menolak anggapan yang menyebutnya memperbanyak belajar bahasa Arab sebagai ciri terpapar radikalisme terorisme, namun apa yang telah ia sampaikan patut diduga sebagai propaganda berbasis islamofobia.

Pasca kemenangan Thaliban di Afghanistan memang memunculkan beberapa potensi permasalahan. Salah satunya adalah potensi meningkatnya islamofobia di luar Afghanistan, termasuk di Indonesia. Rencana penerapan syariah Islam oleh pemerintahan Thaliban diduga membuat islamofobia bisa meningkat. 

Kaum pengidap islamofobia sepertinya telah membuat ancang-ancang agar kemenangan Thaliban tidak mendapatkan glorifikasi dari umat Islam Indonesia. Karena mereka khawatir kekuasaan Thaliban menjadi inspirasi umat untuk mengubah sistem pemerintahan ke arah penerapan syariat Islam. Maka patut dipertanyakan, sejatinya yang layak diwaspadai itu sekolah yang berkiblat pada Thaliban (jika memang ada), ataukah propaganda yang berbasis islamofobia.

Sekolah Berkiblat ke Thaliban: Propaganda Berbasis Islamofobia

Propaganda adalah penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Propaganda biasanya dilancarkan oleh orang atau kelompok demi mengarahkan opini dan sikap khalayak sesuai tujuan atau kepentingannya.  

Propaganda yang mengaitkan Thaliban dengan radikalisme tak hanya terjadi kali ini. Sejak 2019 lalu, isu radikalisme ala Thaliban telah menerpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu ini mengesankan KPK telah dikuasai oleh orang-orang berkarakter militan radikal seperti Thaliban. Padahal sejatinya ini hanyalah alat para pendukung koruptor yang kepentingannya terganggu dengan kerja pengusutan korupsi oleh KPK. 

Kini, isu Thaliban kembali mengemuka pasca Afghanistan jatuh oleh kelompok ini. Sebagian kalangan mengkhawatirkan efek kemenangan Thaliban. Dalam artikel yang diterbitkan The Sidney Morning Herald bertajuk Selfies, Sunglasses, and AK-47s: Taliban’s Slick Victory Inspires Extremists in South-East Asia, memaparkan kemenangan Thaliban di Afghanistan dinilai akan menginspirasi generasi baru kelompok ekstremis agama di wilayah Asia Tenggara. 

Indonesia dianggap salah satu negara di Asia Tenggara yang paling rawan akan kebangkitan kelompok ini. Mereka menyebut kemenangan Thaliban akan menginspirasi kelompok teroris di Indonesia. Dan inspirasi itu bukan soal aksi teror, tetapi lebih ke perubahan ideologi. Kelompok ekstremis diprediksi akan mengubah ideologinya menjadi inklusif dan bersahabat dalam rangka memenangkan hati masyarakat untuk mengubah sistem. Ancaman terbesarnya menurut mereka adalah di perubahan sistem negara. Maka, BNPT mengingatkan masyarakat jangan salah bersimpati, karena berdasarkan pantauannya ada pihak-pihak yang menggalang simpatisan atas euforia kemenangan dan isu Thaliban (pinterpolitik.com, 24/8/2021).

Oleh karena itu, penulis menduga bahwa propaganda sekolah di Indonesia berkiblat ke Thaliban merupakan manifestasi dari kekhawatiran menularnya Thaliban’s Effect khususnya pada kalangan muda Muslim di negeri ini. Tanpa disertai data valid dan detail, statement sekolah di Indonesia berkiblat ke Thaliban merupakan kesimpulan prematur, bahkan gegabah. Berapa jumlah sekolah yang dimaksud? Sekolah dasar atau menengah? Sekolah negeri atau swasta? Swasta Islam atau bukan? Berapa jumlah guru dan siswa yang diteliti? Universitas apa saja yang telah melakukan penelitian?

Terlebih, ia menggunakan parameter yang tidak memiliki relevansi dengan kesimpulan. Dari mana bisa disimpulkan bahwa sekolah yang berkiblat ke Thaliban itu memiliki ciri-ciri: tidak mau hormat bendera merah putih, tidak mau memasang foto presiden dan wapres, tidak mau menghafal nama menteri dan parpol, hingga memperbanyak (belajar) bahasa Arab. Nalare piye?  

Jika publik meragukan validitas dan rasionalitas statement yang katanya berdasar penelitian sejumlah universitas maka wajar jika menilainya tak lebih sebagai propaganda jahat demi menyudutkan kelompok Islam yang memiliki ruh perjuangan sama dengan Thaliban. Pun sebagai bentuk islamofobia demi menghadang geliat umat Islam yang terus bangkit meraih kejayaannya melalui perjuangan penegakan syariat dalam bingkai negara.  

Islamofobia bukanlah fenomena baru dalam peta perlawanan terhadap perjuangan Islam. Pasca peledakan menara kembar WTC yang konon dilakukan oleh mereka sendiri, telah menghasilkan proyek war on terrorism kini lebih mengemuka dengan war on radicalism yang dimaknai sebagai perang terhadap Islam. Dalam rangka perang ini, kata Islam dijadikan obyek untuk menakut-nakuti masyarakat. Islam yang sejatinya merupakan ajaran mulia dan damai dikonstruksi sedemikian rupa seolah sesuatu yang menyeramkan, buruk, dan membahayakan. 

Upaya keji ini terus ditanamkan melalui impuls-impuls tanpa memberikan kesempatan kepada pikiran rasional untuk mengkajinya. Lahirlah kondisi kejiwaan yang abnormal berupa islamofobia. Dalam konteks penyakit kejiwaan, yang salah bukanlah Islam, namun ketakutan, halusinasi, dan kecemasan yang berlebihan terhadap Islam. Psikoabnormal Islamofobia adalah kebodohan akut masyarakat modern yang tidak rasional.

Kini, musuh-musuh Islam beserta antek-anteknya terus menjual ketakutan kepada masyarakat dunia akan bahaya Islam, salah satunya apa yang mereka sebut dengan radikalisme Islam. Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat demi melumpuhkan kebangkitan Islam yang kian kuat. Selanjutnya, Barat mencoba berkonspirasi dengan negara-negara yang mau membebek padanya. Dengan mengucurkan dana besar, negeri-negeri Muslim yang mau dibodohi menerima proyek deradikalisasi Islam. 

Deradikalisasi Islam oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Barat menjalankan strategi politik busuk dengan menyematkan kata radikal kepada Islam dan Muslimin yang berseberangan dengan ideologi sekularisme kapitalistik liberalistik. 

Oleh karena itu, kemenangan Thaliban dan wacana penerapan syariat Islam di Afghanistan tentu menjadi “hantu” yang membayangi mereka. Agar teori mereka yakni contagion theory of terrorism atau juga disebut contagion hypothesis (hipotesis penularan) tidak terjadi di Indonesia, maka para pengidap islamofobia ini diduga kuat akan berupaya mencegah hadirnya Thaliban’s Effect lewat propaganda dan kemasan pesan lainnya.   

Dampak Negatif Propaganda Sekolah di Indonesia Berkiblat ke Thaliban terhadap Umat Islam

Sungguh ironis, virus islamofobia zaman now justru diidap oleh kaum Muslim dari kalangan intelektual. Mungkin akibat cacat intelektual karena telah sedemikian lama terpapar virus sekularisme liberalistik atau terkena penyakit hati yang bersemayam dalam jiwanya. 

Jika kaum kafir membenci ajaran Islam, itu wajar. Namun jika kaum Muslim membenci, takut, dan memusuhi ajaran Islam, ini adalah gejala tidak normal. Gejala ini bisa disebut sebagai psikoabnormal stadium empat. Mungkin virus ayat-ayat setan sekularisme dan turunannya telah berkarat dalam pikiran dan hatinya. 

Jika propaganda sekolah di Indonesia berkiblat ke Thaliban dan propaganda sejenis terus diarahkan pada umat Islam, maka dampak negatifnya antara lain:

Pertama, memecah-belah umat Islam.

Parameter berkiblat ke Thaliban (ciri-ciri teroris) adalah tak mau hormat bendera, dan seterusnya, akan memecah-belah masyarakat menjadi dua kubu: kubu nasionalis dan tidak nasionalis, kubu teroris dan bukan teroris. Demikian pula, istilah-istilah ‘asing' seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain. 
 
Kedua, menyulut konflik vertikal dan horizontal. 

Umat Islam yang telah terbelah (terpolarisasi) akan mudah menyulut terjadinya konflik. Baik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan rakyat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

Ketiga, monsterisasi ajaran Islam.

Mengaitkan memperbanyak bahasa Arab dengan sosok teroris/radikalis akan memberikan citra buruk terhadapnya. Padahal bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan bahasanya penghuni surga. Demikian pula saat radikalisme dan ekstremisme disematkan pada pejuang syariah dan khilafah, maka ini pun bagian monsterisasi. Khilafah berikut pejuangnya menjadi hal menakutkan yang layak dijauhi.

Keempat, umat Islam kian jauh dari syariah dan pemikiran Islam.

Saat sebagian umat Islam mempercayai bahwa orang/kelompok yang berpegang teguh pada ajaran Islam dikategorikan radikal atau teroris, pun syariah kaffah dikatakan radikal, maka ia akan enggan berdekatan dengan keduanya. Padahal merugilah seseorang jika ia menjauhi syariah kaffah. 

Kelima, terjadi penyesatan hakikat permasalahan.

Yakni mengalihkan hakikat permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat, dari kapitalisme sekuler menjadi Islamlah biang kerok kegaduhan di masyarakat. Hal ini sudah nampak di negeri ini. Pemerintah dan kaum sekuler menuding penerapan syariat Islam sebagai tindakan berlebihan, menimbulkan disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dan seterusnya. Padahal problematika negeri ini sejatinya berakar pada penerapan sistem kapitalisme sekuler.

Keenam, hegemoni Barat berikut sistem kehidupannya kian eksis.
Jika di poin 1-5 telah terjadi, maka kian mengeksiskan hegemoni kaum Barat di negeri ini. Sistem hidup berikut pemikiran-pemikirannya pun kian kuat diikuti masyarakat. Hal ini akan menjadi batu sandungan bagi perjuangan penegakan syariat Islam.
 
Demikianlah, andai propaganda berbasis islamofobia terus dilancarkan di tengah masyarakat, maka umat Islamlah yang pertama kali merasakan dampak buruknya. Dengan demikian, sebagai bagian umat Islam, kita mesti waspada dan berupaya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkannya.

Strategi Umat Islam Menyikapi Propaganda Berbasis Islamofobia

Dahulu Fir’aun sangat takut dan membenci Islam yang dibawa Nabi Musa, sebab Fir’aun termasuk kaum kafir yang mendurhakai Allah SWT. Puncak pembangkangan dan kecongkakan Firaun adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan. Abu Lahab dan Abu Jahal sangat takut dan membenci ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW, sebab mereka adalah dedengkot kafir Quraisy penyembah berhala warisan nenek moyang mereka. Puncak kebencian mereka kepada Islam dan Rasulullah ditunjukkan dengan upaya pembunuhan kepada Rasulullah.

Hari ini, Barat dengan ideologi kapitalisme sekularistik sangat membenci dan memusuhi Islam, sebab mereka berupaya menghegemoni dunia dengan ideologinya. Puncak permusuhan Barat kepada Islam adalah dengan menyebarkan virus islamofobia sembari menuduh Islam sebagai ajaran radikal, ideologinya sebagai ideologi terorisme, dan stigma buruk lainnya. 

Jelas bahwa berbagai propaganda berbasis islamofobia berikut narasi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme bukanlah isu yang bergulir alami. Ia direkayasa sedemikian rupa sehingga mengarah pada satu sasaran yaitu Islam. Karena itu, diperlukan upaya sistematis agar rekayasa Barat melalui antek-anteknya di negeri ini jauh dari keberhasilan.

Strategi umat Islam menyikapi berbagai propaganda berbasis islamofobia antara lain:

Pertama, membina diri dan umat berbasis akidah dan tsaqofah Islam.

Akidah adalah landasan cara berpikir dan bersikap bagi seorang Muslim. Berikut tsaqofah (pengetahuan) Islam sebagai modal sekaligus filter terhadap ide/pemikiran yang datang dari luar khazanah Islam. Aktivitas pembinaan hendaknya dilakukan sistematis dan berkesinambungan agar mendapatkan gambaran utuh ajaran Islam. Pun mendakwahkan ajaran Islam tak boleh berhenti apa pun risikonya.

Kedua, menanamkan kesadaran politik umat.

Banyaknya umat Islam yang terpengaruh aneka propaganda Barat bahkan terlibat dalam skenario mereka, salah satunya karena rendahnya kesadaran politik. Sehingga harus ada upaya mengungkap makar Barat agar diketahui secara terbuka oleh umat Islam. Umat mesti menyadari bahwa isu radikalisme, terorisme, dan ekstremisme, adalah bagian upaya Barat memerangi Islam. Tunjukkan pula pengkhianatan penguasa, kaum elit, intelektual Muslim yang menjadi kaki tangan Barat. Sehingga umat Islam tidak terpengaruh dengan isu ini.

Ketiga, mengokohkan persaudaraan Islam dan menyamakan persepsi tentang common enemy serta common value.

Mengingatkan bahwa musuh bersama kita adalah negara kapitalis global, bukan sesama umat Islam. Perpecahan hanya akan memperlemah tubuh umat Islam sekaligus memperkuat penjajah. Karenanya, jangan mau diadu domba. Hubungan antarelemen umat kian dikokohkan agar terjalin komunikasi dan koordinasi langkah. Selain itu, menyamakan common value (nilai bersama), yaitu nilai apa yang harus kita perjuangkan bersama, apakah sekularisme kapitalisme atau akidah syariah Islam?

Keempat, memperjuangkan hadirnya kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam. 

Saat ini terjadi “pertarungan” yang tidak seimbang. Di satu sisi, ideologi kapitalisme sekuler diemban oleh banyak negara. Di sisi lain, Islam hanya diemban oleh individu dan kelompok dakwah. Agar pertarungan melawan Barat menjadi seimbang, umat harus memiliki kekuatan politik. Tanpanya, umat Islam senantiasa menjadi korban, sasaran, dan bulan-bulanan Barat. Kekuatan politik Islam yang dapat mengimbangi bahkan mengalahkan hegemoni Barat adalah khilafah Islam. Karena itu, umat Islam harus fokus dan serius memperjuangkan tegaknya sesuai metode dakwah ala Rasulullah SAW.

Semoga dengan niat lurus, tekad kuat, dan upaya optimal, Allah SWT berkenan menurunkan pertolongan-Nya. Sehingga dominasi sistem kehidupan berikut penguasa yang mengingkari hukum Allah SWT akan segera sirna.

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati

Posting Komentar

0 Komentar