Radikalisme di Kampus: Fakta ataukah Propaganda?



TintaSiyasi.com-- Bak tembang lawas yang didendang berulang-ulang. Isu radikalisme tak bosan-bosannya dilontarkan oleh pejabat negeri ini di hadapan khalayak. Isu yang tak lebih sebagai “hantu” ini diduga kuat menyasar tempat-tempat strategis pembinaan dan pendidikan anak bangsa, seperti: pondok pesantren, masjid, sekolah, tak terkecuali kampus. 

Pada pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Senin (13/9/2021), Presiden Jokowi menginstruksikan rektor dan seluruh jajarannya agar berhati-hati dan di luar kampus pun menjadi tugas mereka untuk mendidik mahasiswa. Karena di dalam kampus dididik mengenai Pancasila, kebangsaan, tapi di luar kampus ada yang mendidik mahasiswa jadi ekstremis garis keras dan radikalis garis keras (TEMPO.CO, 14/9/2021).

Mendukung instruksi presiden, Ketua Komisi X Syaiful Huda menilai ucapan presiden relevan karena ancaman penyebaran radikalisme di kalangan mahasiswa terbukti. Ia menunjuk, paham radikal ini biasanya disampaikan melalui diskusi berbalut dakwah di masjid kampus. Selain itu, senior-senior kampus radikalis jeli memilih calon kader dari kalangan mahasiswa baru. Sehingga pihak rektorat harus memantau aktivitas dakwah kampus di masjid kampus maupun diskusi-diskusi keagamaan kecil (detik.com, 15/9/2021).

Seirama dengan instruksi presiden di atas, Menkopolhukam Mahfud MD pada pertengahan tahun ini mengatakan, seluruh kampus di  Indonesia harus melarang kegiatan-kegiatan yang mengandung paham radikalisme. Menurutnya, radikalisme harus ditangkal berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Karena itu, seluruh kampus di Indonesia harus melakukan perlawanan terhadap paham radikalisme (suarasulsel.id, 25/4/2021). 

Radikalisme, terorisme, dan ekstremisme seolah menjadi trilogi isu seksih yang terus-menerus didengungkan rezim. Menjadikan anti radikalisme sebagai core of the core program kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama, terlebih kejar tayang Tahun Moderasi 2022, diduga membuat rezim gencar melancarkan berbagai narasi dan strategi. 

Sementara sebagian kalangan mengkhawatirkan pemandulan fungsi kampus di balik propaganda radikalisme kampus itu sendiri. Ditengarai kampus akan semakin kering terhadap upaya pencarian kebenaran dan keadilan. Kampus tidak akan menjadi ibu asuh (almamater) karena air susu murninya telah berbau anyir darah dan nanah kekuasaan. Dengan kata lain, kampus sekadar menjadi tangan panjang kebijakan pemerintah sehingga akan kehilangan otonominya, meliputi otonomi keilmuan, kebebasan akademik, maupun kebebasan mimbar akademi.

Propaganda Radikalisme Kampus, Alat Politik Membungkam Suara Kritis

Menyimak pidato Presiden Jokowi di atas, menyisakan sebuah pertanyaan tentang tugas dan fungsi pokok rektor. Adakah tugas rektor dan jajarannya untuk mengawasi tingkah polah mahasiswa hingga ideologi yang dianut mereka? Lebih parahnya lagi, hal ini dikaitkan dengan radikalisme yang nomenklaturnya obscure (kabur) dan lentur. Tidak ada kepastian (lex scripta, lex certa, dan lex stricta). Jadi lebih condong kepada kemauan politik pemerintah. Seharusnya ada tolok ukur nyata misalnya berupa tindakan kekerasan, atau tindakan konkret lain, bukan sebatas ide atau pemikiran seseorang. 

Realitasnya, tidak diinstruksikan langsung saja rektor sudah berusaha ‘menyapu bersih’ dalam kampus, apalagi ada perintah supaya rektor dan jajarannya mengawasi mahasiswa ketika di luar kampus. Selama ini program anti radikalisme sudah berjalan di kampus-kampus, seperti keberadaan Tim Anti Radikalisme yang memantau terlibat tidaknya sivitas akademika dalam aktivitas radikalisme, penandatanganan pakta integritas tidak terlibat organisasi radikal, kuliah umum seputar penanggulangan radikalisme, hingga pemanggilan, penyidangan, bahkan pemecatan sivitas akademika dengan tuduhan radikal.

Selama ini, sasaran empuk isu radikalisme adalah ASN, termasuk dosen di perguruan tinggi negeri yang nota bene bertugas mulia untuk berpikir secara ‘radikal’ tanpa kekerasan. Faktanya ada dosen yang dituduh terpapar radikalisme gegara ia meyakini dan istiqamah terhadap ajaran Islam. 

Lantas, kekerasan fisik model apa yang telah dilakukan oleh ASN yang dituding radikal? Apa dasar pemberian sanksi hingga pemecatan (pemberhentian dari jabatan) yang dilakukan? Jika sanksi diberikan karena nalar kritis sivitas akademika dalam mengoreksi jalannya roda kekuasaan, bukankah kampus didirikan untuk menyemai benih nalar kritis berdasarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang mampu dipertanggungjawabkan? Lebih jauh, jika memang ada indikasi beberapa dosen terpapar radikalisme, bukankah menjadi kewajiban Kemendikbud untuk membinanya? Apakah elok mengumbar aib ASN di bawah naungan lembaga, yang sebenarnya belum dapat dibuktikan kesahihannya dengan menyampaikannya di ruang publik? 

Tindakan ini tentu saja dapat dipahami sebagai sebuah peradilan dan penjatuhan vonis berupa sanksi pemecatan tanpa proses persidangan bahkan mengarah pada trial by the press. Padahal secara hukum radikalisme adalah norma yang berkaitan dengan hukum pidana yang harus dibuktikan melalui suatu peradilan umum yang menyidangkan perkara secara terbuka untuk umum. 

Dengan nalar ini, ASN bisa dituding atau diberi sanksi sepihak dengan pemecatan, setelahnya ASN terkait dipersilahkan menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika logika dan nalar ini dibiarkan, isu radikalisme kampus akan berubah menjadi momok (hantu), monster penebar teror, dan ancaman di lingkungan sivitas akademika. 

Mengamati pola isu radikalisme kampus, keberadaannya sama dan sebangun dengan isu-isu lain seperti isu anti kebhinekaan, anti Pancasila dan isu anti NKRI. Dengan tudingan anti NKRI, anti Pancasila, anti kebhinekaan, seseorang bisa diberi sanksi sepihak oleh orang dengan jabatan politik, tanpa perlu membuktikannya dalam suatu forum persidangan yang terbuka untuk umum. 

Siapa pun yang dianggap bertentangan dengan kebijakan penguasa di cap radikal, terpapar radikalisme, dan selanjutnya dapat ditindak berdasarkan wewenang yang melekat pada jabatan politik pihak-pihak yang merasa terusik. Sampai hari ini, belum ada satu pun putusan pengadilan yang memberikan putusan atau setidaknya penetapan tentang individu atau lembaga tertentu yang terpapar radikalisme. 

Jika ditelisik, propaganda radikalisme kampus tak lepas dari agenda War on Radicalism sebagai branding baru dari War on Terrorism yang dipelopori oleh AS. Setelah isu terorisme mulai tidak laku, negara-negara Barat kafir imperialis kini jualan baru: radikalisme. Sasarannya masih sama yaitu Islam dan umatnya. Pasalnya, simbol Islamlah yang muncul dari berbagai isu yang terjadi. 

Isu ini dipropagandakan oleh Barat dalam rangka menggerus nilai-nilai fundamental yang bertentangan dengan keyakinan sekularisme ala Barat. Isu radikalisme tidak ditujukan kepada selain Islam dan umatnya, sebagaimana isu terorisme. Dalam tataran implementatif, screening terhadap pegawai negeri yang dianggap terlalu ‘islami’ terjadi. Pun kriminalisasi terhadap pengguna cadar dan kalimat tauhid, pertanyaan yang membenturkan Pancasila dengan khilafah, negara Islam, dan yang semisal. 

Terkait ini, propaganda radikalisme kampus diduga hendak mencitraburukkan Islam kepada sivitas akademika, khususnya para mahasiswa, agar mereka takut dan menjauhi Islam. Terlebih mahasiswa Muslim adalah generasi penerus perjuangan Islam. Kecintaan mereka terhadap Islam dan perjuangannya tentu mengkhawatirkan bagi Barat dan pendukungnya.

Lantas, benarkah radikalisme sebagai momok di negeri ini? Yang jelas, menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa merupakan kedustaan. Tak ada korelasi antara kerusakan di berbagai bidang kehidupan dengan radikalisme. Justru menurut Peneliti LIPI Siti Zuhro, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com, 29/12/2019). Peneliti Belanda bernama Beren Schot menyatakan hal senada. Ia tak setuju pemerintah menggunakan narasi radikalisme distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id, 22/12/2019).

Sejatinya, ketimpangan sosial yang terjadi disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme liberalistik. Lalu, pantaskah menuding radikalisme (yang sering diarahkan pada Islam dan pejuangnya) sebagai biang kerok kebobrokan di berbagai bidang? Mengapa seluruh kebobrokan ini ditudingkan kepada syariat Islam? Jika bicara ancaman bangsa, benarkah radikalisme lebih membahayakan daripada kriminalitas anak muda hari ini? Apakah jumlah pelajar yang terlibat ‘bom bunuh diri’ jauh lebih banyak daripada yang narkoba, tawuran, dan pergaulan bebas?

Jika tidak, maka propaganda radikalisme kampus ditengarai bertujuan pertama, sebagai alat politik membungkam suara kritis oposisi. Kedua, untuk menebar teror di lingkungan sivitas akademika, sekaligus propaganda jahat menjauhkan insan kampus dari ajaran Islam kaffah dan menekan dakwah Islam di kalangan kampus.

Dampak Instruksi Presiden Jokowi terhadap Kehidupan Mahasiswa dan Masa Depan Otonomi Kampus

Selama ini, propaganda radikalisme kampus nampak sebagai alat politik untuk membungkam setiap ujaran berbeda yang mengajukan koreksi kritis terhadap jalannya kekuasaan. Pun membungkam lawan politik kekuasaan, baik kalangan ormas maupun insan sivitas akademika. Padahal, kampus selalu mendidik setiap insan yang tumbuh dan dibesarkan di dalamnya, agar senantiasa melakukan koreksi dan kritik terhadap kondisi dan alienasi publik berdasarkan ilmu dan pengetahuan. 

War on Radicalism benar-benar bagaikan jala, pukat harimau yang menyasar ikan besar hingga teri kecil sivitas akademika agar menjadi insan pembebek, dan pengabdi kekuasaan bukan insan mandiri pengabdi ilmu pengetahuan. Lantas, mampukah garis depan ilmu pengetahuan beringsut ke arah kemajuan? Mungkinkah akan berkembang pemikiran-pemikiran kampus yang dipenuhi karakter critical thinking? Masihkah berharap insan kampus menjadi the agent of change dari tradisi rule breaking? Dan mungkinkah kita berharap negeri ini akan tumbuh dan tangguh jika generasi mudanya dididik laksana pelajar di masa penjajahan? 

Oleh karena itu, instruksi presiden agar rektor dan jajarannya juga mengawasi mahasiswa di luar kampus (terkait terlibat tidaknya dengan aktivitas radikalisme), berpotensi menimbulkan dampak antara lain:

1. Sivitas akademika kesulitan menunaikan tugasnya meruhanikan ilmu pengetahuan, yakni pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth.

Ruhani itu berarti bicara tentang cipta, rasa, dan karsa. Ini yang disebut akal. Akal inilah yang mendasari seorang ilmuwan harus berkarakter ‘radikal’ (ramah, terdidik, berakal). 

2. Akan kehilangan critical thinking, yaitu cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim, sehingga berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut. Hilangnya karakter ini akan membuat kampus tak ubahnya sebagai kepanjangan tangan rezim.

3. Terjadi kelumpuhan intelektualitas. Ketika seorang ilmuwan telah: terinjak kakinya lantaran masalah besarnya, terbujuk dengan janji manis, tidak mampu lagi berargumentasi, maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya, hingga tak lagi dapat diharapkan ada perubahan ilmu yang ideologis apalagi berharap keberkahannya. Selanjutnya akan memandulkan peran mahasiswa sebagai agent of change bahkan leader of change. 

4. Polarisasi di kalangan sivitas akademika. Akan ada kubu yang disebut radikal dan kubu moderat. 
Istilah-istilah ‘asing’ seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan dan saling melontarkan tuduhan satu sama lain. Selanjutnya, kondisi ini akan mudah menyulut terjadinya konflik di antara mereka. 

5. Menjauhkan mahasiswa Muslim dari pemahaman Islam kaffah. Realitasnya, cap radikal disematkan pada orang atau kelompok yang berkehendak menerapkan Islam kaffah dalam bingkai negara. Agar tak dicap radikal, mereka enggan mempelajarinya dan berdekatan dengan pejuangnya. Akibatnya, mereka tak akan mampu mengamalkan akidah dan syariah Islam secara utuh dalam kehidupan. Juga tak memiliki daya juang untuk menegakkan ajaran agama-Nya. Selanjutnya, kondisi ini akan menghambat laju kebangkitan Islam. Sejatinya inilah target utama program anti radikalisme pada generasi muda.

6. Salah memahami hakikat permasalahan. Narasi yang menempatkan radikalisme sebagai biang kerok kegaduhan bangsa akan mengalihkan hakikat permasalahan di masyarakat. Sejatinya, sistem sekularisme kapitalistiklah sumber problematika, bukan syariat Islam yang dituding ajaran radikal. Kini, pemerintah dan kaum sekuler menuding wacana penerapan syariat Islam sebagai tindakan berlebihan, menimbulkan disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dan lain-lain. 

Dengan demikian, berbagai dampak tersebut akan menguatkan hegemoni kekuasaan sekularistik atas perguruan tinggi. Sivitas akademika dipaksa bertindak berdasar kehendak rezim berkuasa. Selanjutnya, perguruan tinggi tak lagi memiliki otonomi/kemandirian dalam membuat kebijakan dan memecahkan permasalahannya. 

Strategi Membina Sivitas Akademika yang Mengembangkan Otonomi Kampus Tanpa Takut Dituduh Terpapar Radikalisme

Keberadaan sivitas akademika yang kehilangan critical thinking hingga kesulitan melaksanakan tugasnya dalam meruhanikan ilmu pengetahuan, yakni pencarian kebenaran, gegara takut dituduh radikal tentu tidak kita inginkan. Situasi ini mencerminkan ilmu tanpa praktik yang hanya akan menjadi ‘macan kertas.’ Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan. 

Sementara praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka tugas utama kampus/universitas adalah meruhanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk ruhani. Dan, itulah kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading. 

Dengan demikian, strategi membina sivitas akademika yang mampu mengembangkan otonomi kampus tanpa takut dituduh terpapar radikalisme adalah:

1. Membina sivitas akademika dengan wawasan keislaman. Melalui kegiatan kajian keislaman sebagai sarana menanamkan akidah, landasan berpikir dan bersikap Muslim. Pun upaya memperluas pengetahuan Islam sebagai filter terhadap serangan pemikiran, khususnya opini negatif yang mengaitkan Islam sebagai ajaran radikal. Aktivitas pembinaan idealnya dilakukan sistematis dan berkesinambungan agar mendapatkan gambaran utuh ajaran Islam. Pun melahirkan sivitas akademika yang berkepribadian Islam tangguh.

2. Menanamkan kesadaran politik.
Banyaknya sivitas akademika yang terpengaruh isu radikalisme dan propaganda sesat lainnya, bahkan terlibat dalam skenario jahat karena rendahnya kesadaran politik. Harus ada upaya untuk mengungkap makar Barat dan pendukungnya agar diketahui secara terbuka oleh seluruh elemen umat Islam. Agar mereka menyadari bahwa isu radikalisme adalah strategi Barat memerangi Islam. Tunjukkan pula pengkhianatan penguasa, kaum elit, intelektual Muslim yang menjadi kaki tangan Barat meluaskan propaganda ini. 

3. Mengokohkan persaudaraan Islam dan menyamakan persepsi tentang common enemy. Mengingatkan bahwa musuh bersama kita adalah negara kapitalis global, bukan sesama umat Islam, apalagi sesama sivitas akademika. Perpecahan hanya akan memperlemah tubuh umat Islam sekaligus memperkuat penjajah. Karenanya, jangan mau diadu domba.
 
4. Menguatkan sivitas akademika sebagai sosok ilmuwan yang bertugas: menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan, menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan, dan mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan. 

5. Mengokohkan karakter kampus agar tetap ‘Radikal,’ Ramah, Terdidik, dan Berakal. Pemberangusan karakter ‘radikal’ hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berujung pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut ‘micek’, yakni membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial.

Menyitir ajakan Prof. Sulistyowati Irianto, beliau menghendaki agar kaum inteletual bangkit melawan ketidakadilan dan penindasan. Namun, para intelektual kampus itu tampaknya lebih suka berada di zona nyaman (comfort zone) sembari menikmati remah-remah dunia yang tidak pernah mengenyangkan. Mereka sulit sekali untuk berani beringsut ke zona ketidaknyamanan/ketakutan (fear zone). 

Ketika kaum intelektual takut ‘sedih, sengsara, sakit’, maka mereka tidak akan pernah sampai pada tahap zona pembelajaran dengan kecerdasannya (learn zone). Akhirnya para ilmuwan itu akan stagnan, garis depan ilmu mandheg dan tidak akan menikmati zona pertumbuhan (growth zone) menuju peradaban baru yang lebih baik. Masihkah kita bisa berharap kepada mereka kaum intelektual yang tengah menikmati ‘tidur panjangnya?’ Bangunlah wahai kaum intelektual! Tulis di dahimu slogan ‘radikal’: "live oppressed or rise up against!’ Will you?

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar