Media Informasi di Masa Pandemi: Kawan atau Lawan?

TintaSiyasi.com-- Pandemi Covid-19 masih membersamai kita, sejak pertama kali masuk di Indonesia pada 3 Maret 2020. Artinya telah kurang lebih 18 bulan sudah pandemi berlangsung. Hingga hari ini pemberitaan terkait jumlah kasus Covid-19, tidak semasif dulu diberitakan. Namun di beberapa titik masih ada pemberlakuan PPKM dengan berbagai levelnya. Khusus Jawa dan Bali pemberlakuan PPKM level 4 diperpanjang hingga 4 Oktober 2021. Sedang di 105 kabupaten/kota berada di level 3, lalu 250 kabupaten/kota di level 2, dan 21 kabupaten/kota di level 1 (tempo.co, 20/9/2021).

Selama hampir 18 bulan, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan menjadikan media sebagain tema harian bahkan setiap jam untuk bisa melihat dunia luar. Dengan perkembangan teknologi hari ini, media soal menjadi salah satu jenis media informasi yang lebih mudah di akses kapan dan di mana saja. 

Dilaporkan komunitas online tumbuh subur selama pandemi. Laporan yang dirilis Tren Digital berdasarkan survei yang dilakukan Facebook Bersama YouGov menunjukkan lebih dari 140 juta orang yang tinggal di Indonesia bergabung dengan grup yang aktif selama sebulan terakhir. Jumlah penduduk Indonesia saat ini 267,7 juta jiwa (mediaindonesia.com, 23/2/2021). Artinya setengah dari penduduk Indonesia telah terhubung dengan media sosial. Sayangnya angka yang banyak ini ternyata tidak juga sukses mengkampanyekan bahaya Covid-19 selama pandemi. Terbukti teori konspirasi Covid bisa terbang bebas ke tengah-tengah masyarakat, menari ke sana ke mari. 

Bahkan berdasarkan pernyataan dari Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, banyak masyarakat yang terpapar konten negative akibat masifnya penggunaan teknologi komunikasi digital selam pandemi. Hingga September 2021, Menkominfo menyebut mereka telah menghapus 24.531 konten negatif. Konten ini mencakup 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19 (liputan6.com, 19/9/2021). Begitulah media kadang menjadi kawan saat memberikan informasi positif dan membangun. Tapi dilain pihak bisa menjadi lawan  karena justru berisi konten negatif seperti hoax, misinformasi, disinformasi, serta malinformasi.


Media dalam Sistem Kapitalisme

Untuk mengatasi maraknya konten negatif di internet, Kominfo akan melakukan tiga pendekatan. Mulai dari tingkat hulu, menengah, dan hilir. Di tingkat hulu, Kominfo akan menggandeng 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital ke masyarakat. 

Pendekatan di tingkat menengah, Kominfo juga mengambil langkah preventif dengan menghapus akses konten negatif yang diunggah ke situs web atau platform digital. Sedangkan di tingkat hilir,  Kominfo akan mengambil tindakan demi mencegah penyebaran informasi yang salah dan menyesatkan di ruang digital dengan melibatkan instansi pemerintah, komunitas akar rumput, media konvensional dan sosial, hingga akademisi (viva.co.id, 18/9/2021).

Akankah langkah ini membuahkan hasil? Tidak hendak membangun sikap pesimistis. Tapi bisa kita lihat sebelum pandemi saja, internet sudah banjir dengan konten negatif. Terlebih selama masa pandemi dengan peningkatan pemakain internet maka terjadi tsunami konten negatif. Sampai tulisan ini dibuat video penistaan terhadap Islam oleh M.Kece saja belum di blokir. Foto-foto yang mengumbar aurat dengan pakaian serba mini juga masih sangat mudah dijumpai, bahkan kadang muncul sebagai iklan saat kita berselancar di dunia maya.


Strategi Perbaikan yang Tepat Sasaran

Perlu kita pahami bersama, setiap orang berperilaku sesuai dengan pemahamannya. Saat seseorang memproduksi konten negatif, hal itu terdorong dari pemahamannya yang menganggap hal tersebut sah-sah saja. Terlebih adanya jaminan kebebasan berbicara dan berpendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Maka untuk membendung bahkan menghilangkan konten negatif harus dimulai dengan mengubah pemikiran dan standar seseorang terhadap sesuatu.

Strategi yang harus ditempuh adalah, Pertama: membangun ketakwaan atas dorongan aqidah Islam. Pemikiran yang bertumpu pada sekularisme atau memisahkan agama dari kehidupan tak akan mampu produksi konten negatif. Selama konten itu viral dan bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah, kenapa tidak. Soal Tuhan nanti saat ibadah saja. Kehidupan sehari-harinya dibuat sesuai dengan standar setiap manusia, dengan standar untung dan rugi tentunya.

Hal akan berubah 180 derajat saat pemikiran seseorang dibangun atas dasar akidah Islam. Menyadari kelemahannya sebagai manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah. Manusia menciptakan manusia ke dunia ini dengan satu misi khusus yakni, beribadah hanya kepada-Nya (lihat QS Adz Dzariyat: 56). Ibadah disini bukan berarti shalat saja. Tapi bermakna taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkan-Nya (MR. Kurnia, Menjadi Pembela Islam hal.5).

Selanjutnya seorang Muslim akan menghubungkan kehidupannya di dunia dengan hari penghisaban kelak. Kesadaran bahwa setiap detik kehidupannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, akan membuatnya takut untuk berbuat salah. Apalagi jika membuat konten negatif yang penyebarannya tidak bisa dibendung. Sangat berpotensi menjadi dosa jariyah baginya. Saat dirinya sudah meninggalkan dunia ini tapi jejak digital yang berisi konten negatif terus tersebar mempengaruhi dan merusak jutaan orang. Na’udzubillahi min dzalik.

Kedua, pemerintah juga harus membuat regulasi yang melarang sektor lain menyebarkan aktvitas negatif, misalnya: sektor ijtima’i (pergaulan), ekonomi, hingga politik. Kerusakan sektor pergaulan sudah semakin parah. Tontonan seputar pacaran, ikhtilat, dan khalwat tidak dipandang hal yang negatif tapi bagian dari bumbu-bumbu tontonan yang akan membuat semakin laris manis. Demi mengejar rating apa saja bisa dilabrak, keputusan tak masuk akal juga bisa aja diteken. Sebagaimana keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menobatkan mantan tahanan kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak di bawah umur sebagai ‘duta’ yang akan membeberkan edukasi bahaya pelecehan dan kekerasan seks pada anak di bawah umur (pikiran-rakyat.com, 11/9/2021).

Sedang dalam bidang ekonomi dan politik pun masih toleran terhadap pornografi dan manipulasi. ‘Menjual’ keindahan tubuh perempuan dalam setiap produk dagangan adalah hal yang lumrah. Perempuan pun dilibatkan dalam lobi-lobi politik. Kasus grativikasi seks pun kerap berulang terjadi.

Dalam hal manipulasi data sudah menjadi rahasia umum. Terutama penggelembungan suara saat pemilu tiba. Manipulasi informasi lebih marak lagi dijumpai. Menderaskan berita palsu dan tuduhan tendesius demi menarik opini umum. Dan untuk yang satu ini, Islam selalu menjadi sasaran utamanya. Sebut saja pembentukan opini Islam radikal yang massif belakangan ini. Dibuatlah narasi ciri-ciri radikalisme adalah anak yang good looking, hafidz Qur’an, aktif meramaikan masjid bahkan yang terbaru bahasa Arab yang merupakan Bahasa Al-Qur’an pun dicap sebagai bagian dari ciri radikalisme.

Ketiga, pemerintah perlu menetapkan standar yang baku terhadap makna konten negatif. Tidak adanya standar baku ini membuat setiap orang berakrobat dengan pendapatnya masing-masing dalam mengartikan konten negatif. Atas dasar HAM setiap orang merasa berhak untuk mengekspresikan diri meskipun didalamnya ada unsur pornografi. Dan bebas berpendapat meskipun isinya hoax dan pelecehan terhadap orang lain atau agama lain (baca: Islam). 

Alhasil apapun strateginya selama asas yang membangunnya adalah sekularisme kapitalisme, hanya akan berujung pada jalan buntu.


Media dalam Islam

‘Ayid Asy Sya’rawi dalam kitabnya at-Talwits al-Fikri al-I’lami fi al-‘Alam al-Islami mengatakan media massa bagi negara khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam baik di dalam maupun di luar negeri. 

Dalam kitab Masyru’ Dustur Daulah al-Khilafah pasal 103 dirincikan lebih lanjut. Di dalam negeri media massa berfungsi untuk membangun masyarakat yang Islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. 

Maka telah jelas, Islam telah memiliki standar yang baku dalam pengelolaan media, yakni bersandar pada ideologi Islam. Jika tersebar konten negatif seperti hoaks, misinformasi, disinformasi, serta malinformasi yang telah jelas bertentangan dengan ideologi Islam, akan segera ditindak. Tidak ada yang bisa berlindung dibalik dalih ‘kebebasan berpendapat’. Karena hakikatnya manusia tidaklah bebas sekehendak hatinya tapi harus tunduk pada aturan Allah SWT.

Jika hari ini media media massa yang mengabdi pada ideologi kapitalisme sekuler, telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, dan membejatkan moral. Maka media massa dalam Islam justru menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat.  Tontonan yang sifatnya hiburan tetap diijinkan asal tidak ada pelanggaran hukum syara’ di dalamnya.

Maka, agar media bisa dijadikan sebagai kawan tak cukup menentukan langkah-langkah perbaikan di permukaan saja. Tapi harus diubah dari dasarnya dengan menjadikan ideologi Islam sebagai dasar dalam pengaturan media. Dan tentu saja dalam seluruh lini kehidupan. Karena mustahil media bisa berdiri sendiri tanpa didukung pemerintah dan masyarakat yang juga berideologi Islam. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Atika Rahmah
(Aktivis Muslimah di Papua)

Posting Komentar

0 Komentar