Kemelut G30S/TWK: Inikah Babak Akhir Drama Pembunuhan Institusi KPK?


TintaSiyasi.com-- G30S/PKI. Anda tentu mengetahui peristiwa ini. Yaitu saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia dibunuh dalam upaya kudeta pada 30 September 1965. Kalau G30S/TWK? Semoga peristiwa ini tak ada hubungannya sama sekali. Namun, 30 September bisa memberikan alternatif peringatan penting lainnya atas apa yang terjadi di Indonesia. Tanggal itu dipilih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai hari terakhir bagi 56 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk bekerja.

Sebelumnya, batas waktu tersebut adalah 1 November. Itulah mengapa, Giri Suprapdiono, pegawai KPK yang menjadi korban pemecatan, mensinyalir tanggal tersebut sengaja dipilih untuk membentuk persepsi negatif. Hal ini dinilai sangat kejam, sebab pemecatan ini bersamaan dengan hari pemberontakan yang dilakukan PKI 56 tahun silam.

Padahal faktanya, selama belasan tahun mengabdi di KPK, para pegawai yang tak lolos TWK konsisten berjuang memberantas korupsi. Membersihkan negara dari praktik culas yang dilakukan para garong duit rakyat. Mereka mewakafkan hidupnya demi risiko tugas yang tidak main-main. Ada yang diancam dibunuh, ada yang ditabrak hingga mengalami luka-luka, hingga seperti Novel Baswedan, buta satu matanya akibat disiram air keras. Mereka pun tidak mengeluh dan mundur meski berhadapan dengan maut dalam menjalankan tugasnya.

Wajar jika banyak kalangan menilai, apa yang diputuskan Firli Bahuri Cs dengan mendepak Novel Baswedan dan pegawai lainnya per 30 September adalah buru-buru. Sebab, Ombudsman maupun Komnas HAM menemukan berbagai pelanggaran, seperti maladministrasi, hingga adanya sebelas pelanggaran HAM dalam proses TWK.

Lebih jauh, hal ini memunculkan dugaan adanya upaya pihak tertentu membuat skenario drama merontokkan KPK yang dapat diendus sejak babak awal, babak penyisihan hingga babak akhir yaitu pembunuhan KPK, baik pembunuhan karakter independensi maupun dugaan pembubaran institusi. Dan pemecatan 56 pegawai KPK yang dianggap tidak dapat dibina lagi lantaran tidak lulus TWK dan tidak mau mengikuti diklat, ditengarai sebagai upaya "bersih-bersih" agar pembunuhan independensi KPK bisa berjalan mulus. 

G30S/TWK, Sarat Kepentingan Kuasa

Sangat banyak petinggi negeri, dari kepala daerah hingga pejabat setingkat menteri dan DPR (D) silih berganti menjadi pesakitan KPK, tapi korupsi tidak juga surut. Dan ironisnya, upaya mengempiskan fungsi KPK terus berlangsung. Patut diduga, pelakunya adalah kuasa politik, gabungan antara penguasa dan pengusaha yang biasa disebut sebagai oligarki. Mereka bersatu merontokkan KPK yang dapat diendus sejak babak awal, penyisihan hingga akhir. 

Beberapa babak dalam drama merontokkan KPK ialah:

1. Babak Awal (Euforia)

Babak awal terasa berbulan madu dalam euforia reformasi, khususnya tahun 2002. Semua bersuka ria menyambut kelahiran "mahluk baru" bernama KPK. Pihak reformis merasa ada common enemy bernama korupsi. Namun babak ini tak berlangsung lama karena para reformis banyak yang kemudian memegang jabatan negara. Mulai muncul dilema. Keberadaan KPK bak memelihara anak harimau. 

2. Babak Penyisihan (Pelemahan)

Pada babak ini,  para reformis menjadi penguasa dalam sistem demokrasi liberalistik kapitalistik. Demokrasi Pancasila ambyar tidak berbentuk dan kuasa politik menjelma menjadi oligarki yang tidak terkalahkan oleh rakyat pemegang kedaulatan sekalipun. Upaya untuk memperlemah KPK tampak terus dilakukan dengan dalih hukum. 

Adanya pelemahan KPK sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi di negeri ini dapat dijelaskan dengan strategi pelemahan melalui Revisi UU KPK.  Revisi UU KPK dengan UU No. 19 Tahun 2019 disinyalir telah melemahkan KPK dengan alasan: 

a. KPK tak lagi independen
 
Pegawai KPK berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). Dengan demikian, mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN. KPK juga menjadi target dari para pihak yang menggambarkan sebagai "ganjaran". Walhasil, sekitar 75 pegawai terpental. Mereka tidak lolos seleksi, dengan indikator yang masih buram, butuh transparansi. Dan akhirnya ada sekitar 51 pegawai dipecat karena dinilai tidak memiliki wawasan kebangsaan yang dianggap cukup oleh tim seleksi. 

b. Dimonitor dewan pengawas 

Setidaknya, ada tujuh pasal yang khusus mengatur tentang dewan pengawas tersebut, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G. 

c. Izin untuk menyadap
 
KPK harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas. 

d. Terbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) 

SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun." 

Banyak yang menyebut SP3 ini sebagai "karya besar" masa Pemerintahan Presiden Jokowi yang kontroversial dalam usaha pemberantasan tipikor. Di sisi lain, SP3 juga berpotensi diterbitkan atas SSK (Suka Suka Kami) KPK. 

e. Asal penyelidik dan penyidik 

Revisi UU KPK ini juga mengatur soal asal penyelidik dan penyidik. Dalam UU KPK sebelum revisi, tidak ditegaskan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri. Namun, dalam revisi UU Pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari Kepolisian RI. 

3. Babak Akhir (Pembunuhan) 

Pembunuhan KPK dapat diartikan dua hal, yakni pembunuhan karakter independensi, dan yang paling tragis adalah pembubaran institusi. Salah satu ciri dari lembaga negara yang independen adalah kemandirian dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dimilikinya. Sepertinya hal ini tidak ingin dihadirkan oleh pengambil kebijakan politik di KPK. 

Selama ini, kepegawaian KPK dikelola secara profesional dan mandiri dengan ukuran kinerja yang jelas. Namun, Revisi Undang-undang KPK justru mengakibatkan status kepegawaian KPK tunduk pada Undang-undang ASN dan setiap kebijakan mutasi dan rotasi jabatan harus berkiblat ke Kementerian ASN. 

Alih status pegawai KPK dari pegawai KPK independen menjadi ASN merupakan langkah persiapan pembunuhan independensi KPK. Ini bukan lagi langkah pelemahan tetapi pelumpuhan yang diharapkan mampu membunuh independensi KPK tersebut. Dalam rangka alih status ini, KPK mengadakan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) di mana 75 pegawai dinyatakan tak lolos TWK. 

Pembunuhan independensi KPK juga bisa didorong oleh Putusan MK yang menolak JR atas UU Revisi UU KPK. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) . MK berpendapat dalil para pemohon yang menyatakan UU KPK tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum tidak beralasan hukum. MK juga berpendapat UU KPK sudah memenuhi asas kejelasan tujuan. Sementara, isi UU KPK Revisi mengandung unsur-unsur pelemahan KPK sebagaimana telah diuraikan di muka. 

Akhirnya, 56 pegawai diberhentikan dengan hormat pada tanggal 30 September 2021. Mengapa mesti 30 September 2021, padahal seharusnya dapat dilakukan pada tanggal 1 November 2021? Wajar jika hal ini dinilai sebagai stigmatisasi negatif terhadap 56 pegawai tersebut.

Dari mengikuti drama KPK, beberapa kalangan memprediksikan adegan babak akhirnya adalah pembubaran KPK. Meski korupsi meroket, mungkinkah KPK akan dibubarkan? Hal ini sangat mungkin terjadi ketika KPK dinilai makin membahayakan pejabat dan petugas partai yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Apalagi sekarang, patut diduga kolaborasi eksekutif dan legislatif sangat kuat hingga sulit dibedakan dan dipisahkan. Maka, apa susahnya membubarkan KPK dengan UU yang dibuat oleh kedua lembaga tinggi tersebut?

Dengan demikian, aroma kepentingan kuasa sangat menyengat di balik kemelut pemberhentian 56 pegawai KPK pada 30 September 2021 (G30S/TWK). Saat orang-orang berdedikasi tinggi, profesional, dan memiliki rekam jejak baik justru dianggap sebagai ancaman penguasa, maka dengan berbagai cara akan disingkirkan. 

Fenomena ini bukanlah anomali dalam alam demokrasi. Berbasis kebebasan sebebas-bebasnya, demokrasi membuka ruang manusia (terlebih penguasa) bertindak SSK. Pun merupakan keniscayaan dari penerapan sistem buruk tersebut yang kini penerapannya bergeser ke arah oligarki. Tak lagi mengutamakan kepentingan rakyat dengan memberikan perlindungan maksimal terhadap harta mereka dari jarahan koruptor. Namun lebih memprioritaskan langgengnya kekuasaan hasil perselingkuhan penguasa-pengusaha agar bersih dari kontrol para pejuang anti korupsi. 

Dampak G30S/TWK terhadap Upaya Pemberantasan Korupsi di Negeri Ini

Korupsi termasuk kejahatan luar biasa, namun dari sisi hukum sangat lemah. Dakwaan dan putusan pidana terkesan ringan dan tidak menjerakan, bahkan tuntutan perkara H43RS pun lebih tinggi (6 tahun) dibandingkan terdakwa korupsi trilyunan rupiah (tuntutan 4 tahun). Kita juga sudah mafhum dengan kasus  Djoko Chandra, Jaksa Pinangki, Juliari Batubara, Romi, SAT, Anas Makmun, Nursalim dan istrinya yang mendorong kita bertanya, "Seriuskah negara ini memasukkan korupsi sebagai kejahatan besar sekaligus memberantasnya?" 

Melihat berbagai fakta penanganan kasus korupsi selama ini, menunjukkan bahwa negeri ini tidak serius memberantas korupsi. Penerapan sanksi Tipikor di negeri ini berdasar UU Tipikor terkesan lemah dan tidak menjerakan. Masihkah kita berharap rezim sekarang serius memberantas korupsi, jika babak pelemahan hingga babak pembunuhan terjadi secara terstruktur dan sistematis? 

Lantas, bagaimana dengan G30S/TWK? Sejauh mana dampaknya bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini? Sementara Ketua KPK Firli Bahuri merespons pemberhentian 56 pegawai KPK, ia menyatakan KPK akan tetap bersemangat mempertahankan perjuangan untuk pemberantasan korupsi. Berikut ini dampak yang memungkinkan terjadi akibat pemberhentian 56 pegawai KPK (G30S/TKW):

1. Penanganan beberapa kasus korupsi besar terancam terabaikan.

Penyidik senior KPK Harun Al-Rasyid mengungkapkan, pemecatan dirinya dan 50 penyidik KPK lainnya berpotensi berdampak terhadap penanganan perkara korupsi. Setidaknya ada lima kasus korupsi besar yang terancam terabaikan, yaitu: Kasus Korupsi Pengadaan Bansos Covid-19, Kasus Suap Anggota KPU, Kasus Dugaan Suap Pejabat Ditjen Pajak, Kasus Suap Izin Ekspor Benih Lobster, dan Kasus Dugaan Suap Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah. 

2. Melanggengkan pola kebijakan amburadul, tidak berdasarkan mekanisme yang berlaku. 

Banyak pihak menyayangkan pemecatan 56 pegawai KPK dan menilai alasannya tak masuk akal. Bila dasar pemecatan sesusai tuntutan organisasi, seharusnya KPK membutuhkan banyak SDM, bukan malah memberhentikan pegawai. Selain itu, menurut Mantan Penyidik Senior KPK Novel Baswedan, dalam polemik TWK nyata terlihat jika pimpinan KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan pemerintah. Dalam temuan Komnas HAM, setidaknya 11 pelanggaran HAM terjadi selama proses TWK berlangsung. Ombudsman RI juga menyatakan, penyelenggaraan TWK telah menyimpang secara prosedural, menyalahgunakan wewenang antarpejabat instansi negara, serta mengabaikan pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak menjadikan TWK sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK. Jika pola kebijakan buruk ini terus berlangsung, tentu menghambat upaya pemberantasan korupsi. 

3. Pemberantasan korupsi kian tebang pilih.

Kemelut G30S/TWK setidaknya menjadi sinyal keberpihakan KPK kepada rezim berkuasa. Jika model kepemimpinan KPK terus seperti sekarang, bisa dibayangkan bagaimana wajah pemberantasan korupsi di masa depan. Sementara realitasnya, pelaku korupsi besar justru dari pihak yang berkuasa atau dekat dengan sang penguasa. Sangat mungkin terjadi tebang pilih dalam penanganannya. Tak lagi melihat bobot kesalahan kasus per kasus, tapi cenderung menakar tingkat kesalahan dari posisi kekuasaan. Jika seperti ini, justru akan menjauhkan dari semangat membabat habis para koruptor.
 
4. Independensi KPK sebagai institusi pemberantas korupsi kian terkikis.

Fenomena G30S/TWK menjadi bukti tidak independennya lembaga ini dalam mengatasi persoalan korupsi, maupun pengangkatan pegawai KPK. Padahal posisi KPK adalah lembaga negara bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Saat hegemoni kekuasaan juga menerpa institusi ini, bagaimana ia tetap dalam independensinya? Terlebih pegawai KPK sekarang berstatus sebagai ASN yang harus tunduk pada Undang-undang ASN. 

5. Memunculkan kegaduhan di antara institusi negara yang dapat mempengaruhi trust politik hukum pemberantasan korupsi di negeri ini. 

Jika Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan tidak mampu mengambil kebijakan tepat, maka akan memicu kegaduhan politik. Selanjutnya, trust masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK/rezim akan mengendur.

Dengan demikian, beberapa dampak pasca terjadinya G30S/TWK di atas justru akan mengantarkan bangsa ini pada situasi lebih berat dalam pencegahan dan penanganan korupsi. Apalagi menanggapi pemecatan pegawai KPK tersebut, Presiden Jokowi justru memberikan kesan cuci tangan. Dia meminta agar semua urusan tidak dibebankan kepada dirinya, termasuk pemecatan pegawai KPK. Padahal, dalam berbagai kesempatan dia kerap ikut campur pekerjaan remeh-temeh. Seperti bagi-bagi sembako yang menimbulkan kerumunan di tengah pandemi. Bagi-bagi sertifikat kepada warga. Segala sesuatu yang tidak harus dilakukan langsung oleh presiden.

Pernyataan Jokowi tidak cocok dengan ucapan sebelumnya yang meminta agar alih status pegawai KPK menjadi ASN tak merugikan pegawai. Oleh karena itu, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Jokowi wajib memberi contoh yang baik dengan mematuhi aturan Undang-undang. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat Jokowi sebagai kepala negara yang telah membuang anak bangsa pemberantas korupsi. Jokowi juga akan dinilai sebagai satu-satunya presiden dalam sejarah bangsa Indonesia yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Strategi Jitu Pemberantasan Korupsi di Negeri Ini

Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat serta modus beragam. Hasil riset yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. 

Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Kwik Kian Gie menyebut, lebih dari Rp300 triliun dana menguap masuk ke kantong koruptor. Korupsi plus kolusi juga membuat keputusan pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, impor gula dan beras, dan sebagainya, dituding sebagai kebijakan sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. Pun Korupsi juga menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. 

Sesungguhnya telah ada upaya memberantas korupsi. Tapi mengapa tidak kunjung berhasil? Tampak nyata bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif dan setengah hati, tidak adanya teladan dari pemimpin, serta rendahnya pengungkapan kejahatan korupsi, sementara masyarakat mengetahui korupsi terjadi di mana-mana.

Kini, masyarakat tentu sangat menantikan strategi jitu untuk mengatasi salah satu problem besar negara ini. Bagaimana upaya itu harus dilakukan? Secara khusus, jalan apa yang bisa diberikan Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh penduduk negeri ini dan mungkin juga paling banyak dianut oleh para koruptor, agar kerahmatan yang dijanjikan bisa benar-benar terwujud?

Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah strategi jitu pemberantasan korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam berikut ini:

1. Sistem penggajian yang layak

Aparat pemerintah harus bekerja sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup layak.

Prinsip pemberian gaji rendah kepada pegawai dengan membuka kemungkinan perolehan tambahan pemasukan (yang halal dan haram) sudah semestinya ditinjau ulang. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.

2. Larangan menerima suap

Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah biasanya mengandung maksud tertentu. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separo untuk kaum Muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum Muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak.” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).

Suap akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerimanya. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan suap.

3. Perhitungan kekayaan

Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan kekayaannya sumber lain. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Khaththab menjadi cara bagus untuk mencegah korupsi.

Semasa menjadi khalifah, ‘Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara halal. Bila gagal, ‘Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

4. Teladan pemimpin

Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksakan tugasnya dengan penuh amanah. Ia takut melakukan penyimpangan karena Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban.

Di sinilah diperlukan keteladanan pemimpin.

Khalifah ‘Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin ‘Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitulmal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktik busuk ini tentu akan cenderung ditiru bawahannya, hingga semua upaya memberantas korupsi menjadi tidak ada artinya sama sekali.

5. Hukuman setimpal

Pada umumnya orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera melakukan korupsi.

Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

6. Pengawasan masyarakat

Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.

Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang.” 

Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap, pembuktian terbalik, dan gaji mencukupi, insya Allah korupsi tuntas teratasi.

Jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam agar masyarakat mengetahui penanganan masalah korupsi secara komprehensif.

Dari uraian di atas, penulis mengajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 

Pertama. Aroma kepentingan kuasa sangat menyengat di balik kemelut pemberhentian 56 pegawai KPK pada 30 September 2021 (G30S/TWK). Saat orang-orang berdedikasi tinggi, profesional, dan memiliki rekam jejak baik justru dianggap sebagai ancaman penguasa, maka dengan berbagai cara akan disingkirkan. 

Fenomena ini bukanlah anomali dalam alam demokrasi. Berbasis kebebasan sebebas-bebasnya, demokrasi membuka ruang manusia (terlebih penguasa) bertindak SSK. Pun merupakan keniscayaan dari penerapan sistem buruk tersebut yang kini penerapannya bergeser ke arah oligarki. Tak lagi mengutamakan kepentingan rakyat dengan memberikan perlindungan maksimal terhadap harta mereka dari jarahan koruptor. Namun lebih memprioritaskan langgengnya kekuasaan hasil perselingkuhan penguasa-pengusaha agar bersih dari kontrol para pejuang anti korupsi. 

Kedua. Dampak yang memungkinkan terjadi akibat pemberhentian 56 pegawai KPK (G30S/TKW) antara lain: penanganan beberapa kasus korupsi besar terancam terabaikan, melanggengkan pola kebijakan amburadul yang tidak berdasarkan mekanisme berlaku, pemberantasan korupsi kian tebang pilih, independensi KPK sebagai institusi pemberantas korupsi kian terkikis, serta memunculkan kegaduhan di antara institusi negara yang dapat mempengaruhi trust politik hukum pemberantasan korupsi di negeri ini. 

Beberapa dampak pasca terjadinya G30S/TWK di atas justru akan mengantarkan bangsa ini pada situasi lebih berat dalam pencegahan dan penanganan korupsi. Terlebih menanggapi pemecatan pegawai KPK tersebut, Presiden Jokowi justru memberikan kesan cuci tangan. 

Ketiga. Strategi jitu pemberantasan korupsi sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam adalah: sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap, perhitungan kekayaan, teladan pemimpin, hukuman setimpal, dan pengawasan masyarakat. 

Jelas bahwa syariat Islam telah memberikan jalan sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan bersih. Di sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam agar masyarakat mengetahui penanganan masalah korupsi secara komprehensif.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
Pustaka

Yusanto, Ismail, Islam dan Jalan Pemberantasan Korupsi, muslimahnews.com, 17 September 2019
Kuswandi, G30S/TWK, Operasi Penyingkiran Pegawai KPK oleh Negara, jawapos.com, 17 September 2021 
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar