Hukum Nge-prank


 TintaSiyasi.com-- Tanya:
Ustaz, mohon dijelaskan hukumnya nge-prank dalam Islam?

 
Jawab:

Prank dapat didefinisikan sebagai practical joke (lelucon berupa perbuatan), yaitu komedi atau candaan yang diwujudkan dalam perbuatan. Jadi, jika joke itu biasanya diekspresikan secara verbal (ucapan), misalnya stand up comedy, prank merupakan kebalikannya, yaitu komedi yang diwujudkan dalam perbuatan.

Perbuatan dalam prank biasanya berupa trik-trik nakal atau iseng yang sengaja dilakukan seseorang, yang umumnya menyebabkan korban prank merasa terkejut, malu, takut, bingung, atau tidak nyaman. Pelaku prank disebut “pelawak dalam bentuk perbuatan” (practical joker) atau orang iseng/jahil (prankster).

Misalnya, prankster berpura-pura menjadi patung di suatu tempat umum, misal di kantor. Lalu ada seseorang yang datang mengamatinya, dan mengira prankster itu benar-benar patung. Tiba-tiba prankster itu bergerak dan berkata, ”Hello?”. Sontak orang yang mengamati itu berteriak kaget, ”Oh my God!” karena sangat syok.

Demikian sekilas fakta (manâth) prank. Bagaimanakah hukum nge-prank dalam syariah Islam?

Hukum asal prank menurut kami adalah haram, karena menurut pengamatan kami, dalam prank itu sering ditemukan keharaman, utamanya kebohongan. Ada juga unsur-unsur keharaman lainnya selain kebohongan, misalnya, menakut-nakuti korban prank, mempermalukan korban prank, atau keharaman-keharaman lainnya. Misalnya, prankster laki-laki mengenakan baju perempuan untuk nge-prank orang lain agar dikira perempuan, dan sebagainya. Keharaman lain itu dapat pula berupa dampak-dampak negatif yang dialami korban prank, misal timbulnya perasaan shock, tertipu, malu, atau sakit hati, dan sebagainya.

Prank yang mengandung kebohongan, sangat banyak. Misalnya, prankster berpura-pura memberikan daging kurban kepada warga. Ternyata itu bukan daging kurban, melainkan sampah.

Ada prankster seleb yang pura-pura akan menjual rumah peninggalan kakaknya yang juga seleb yang sudah meninggal, padahal itu bohong.

Ada prankster seorang bule yang fasih berbahasa Jawa dan Indonesia, tapi pura-pura ikut kursus bahasa Inggris untuk ngerjain sang instruktur kursus.

Ada prankster seleb pria dewasa, mempunyai anak kecil balita, yang berbohong kepada anaknya itu bahwa pembantu rumah tangganya akan pulang kampung selamanya, sampai anaknya nangis-nangis, padahal faktanya tidak demikian.

Ada prankster orang Arab yang pura-pura buta, sambil membawa HP, lalu minta orang lewat untuk membaca pesan dalam HP itu yang ternyata isinya kabar ayah orang “buta” itu telah meninggal dunia. Padahal itu bohong.

Ini semua contoh prank yang mengandung kebohongan yang haram hukumnya. Padahal Islam mengharamkan kebohongan, sesuai sabda Rasulullah SAW:

ويلٌ للذي يحدِّثُ بالحديثِ ليُضحكَ بهِ القومَ فيكذِبُ ويلٌ لهُ ويلٌ لهُ

"Sungguh celaka, seseorang yang berbicara sesuatu kebohongan untuk membuat orang-orang tertawa mendengarnya. Sungguh celaka dia, sungguh celaka dia.” (HR Tirmidzi, no 2417; Abu Dawud, no. 4990).

Berbohong itu selain dengan ucapan (yang berbeda dengan kenyataan), dapat juga berupa perbuatan yang membuat orang tertipu, seperti banyak dalam prank. Ahmad Hasan ‘Arâbi dalam kitabnya Ihdzar Al Kadzib hlm.3, mengatakan,”Terkadang kebohongan itu diungkapkan dengan perbuatan.” (qad yakûnu al kadzib bil af’âl).

Contohnya, saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang membawa baju berlumuran darah palsu yang diklaim sebagai bajunya Nabi Yusuf AS yang dimakan serigala, padahal bukan. (Lihat QS Yusuf : 17-18).

Namun, prank hukumnya dapat saja menjadi mubah (dibolehkan) syara’, asalkan sesuai dengan pengertian dan syarat-syarat bercanda (mizâh, mumâzahah) dalam syariah Islam, serta bersih dari unsur-unsur keharaman, seperti kebohongan, dan sebagainya. Imam Mubârakfûrî mensyarah hadis di atas:

ثم المفهوم منه أنه إذا حدث بحديث صدق ليضحك القوم فلا بأس به

Mafhum mukhalafah dari hadis ini, jika seseorang berkata dengan jujur (tidak bohong) dan membuat orang lain tertawa, maka tidak mengapa.” (Mubârakfûrî, Tuhfatul Ahwadzî, VI/497). Wallahu a’lam. []

Yogyakarta, 13 Oktober 2020


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
(Ahli Fiqih Islam)

Posting Komentar

0 Komentar