Riba adalah Riba, Baik di Dar al-Islam atau Dar al-Kufr

TintaSiyasi.com-- Soal:

Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Sudilah Anda menjelaskan kepada kami tentang pendapat Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsawri dan lainnya bahwa tidak ada riba di Dâr al-Kufr dengan berdalil pada hadis “lâ ribâ fî dâr al-kufr -tidak ada riba di Dâr al-Kufr-“ dan berdalil dengan muamalah al-‘Abbas pada riba di Dâr al-Kufr. Juga berdalil dengan bahwa Abu Bakar melakukan taruhan dengan orang-orang musyrik di Makkah dan Rasul SAW ikut serta di dalamnya. Apakah boleh bertaklid dengan pendapat-pendapat semisal ini? Khususnya untuk orang yang baginya dunia telah terasa sempit. Saya berharap Anda kirimkan hal itu kepada Amir dan Anda kirimkan kepada saya secara khusus dan terima kasih.


Jawab:

Pertama: riba adalah haram dalam semua kondisi baik hal itu di Dâr al-Islâm atau Dâr al-Kufr. Dalil-dalilnya telah dinyatakan bersifat umum tanpa dikhususkan dan bersifat mutlak tanpa dibatasi. Hal itu sebagaimana di dalam nash-nash syar’iy dari Kitabullah SWT dan Sunnah Rasul-Nya SAW:

- Allah SWT berfirman:

﴿الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ * يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ﴾

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (TQS al-Baqarah [2]: 275-276).

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ* فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ﴾

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (TQS al-Baqarah [2]: 278-279).

- Rasul SAW bersabda dalam apa yang dikeluarkan oleh imam Muslim dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ» 

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus semisal, sama dan serah terima kontan. Dan jika berbeda di antara jenis-jenis ini maka juallah sesuka kalian jika serah terima kontan.

Imam Muslim juga telah mengeluarkan dair Abu Sa’id al-Khudzri, Rasulullah SAW bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَداً بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ»

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus semisal dan serah terima kontan, dan siapa yang menambah atau meminta tambah maka dia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi sama saja.”

- Abu Dawud telah mengeluarkan di Sunan-nya dari Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ تِبْرُهَا وَعَيْنُهَا وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ تِبْرُهَا وَعَيْنُهَا وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ مُدْيٌ بِمُدْيٍ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ مُدْيٌ بِمُدْيٍ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ مُدْيٌ بِمُدْيٍ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مُدْيٌ بِمُدْيٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى وَلَا بَأْسَ بِبَيْعِ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا يَداً بِيَدٍ وَأَمَّا نَسِيئَةً فَلَا وَلَا بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرُ أَكْثَرُهُمَا يَداً بِيَدٍ وَأَمَّا نَسِيئَةً فَلَا»

Emas dengan emas yang belum dicetak dan yang telah dicetak jadi mata uang, perak dengan perak yang belum dicetak dan yang telah dicetak jadi mata uang, gandum dengan gandum dengan takaran mud yang sama, barley dengan barley dengan takaran mud yang sama, kurma dengan kurma dengan takaran mud yang sama, garam dengan garam dengan takaran mud yang sama, siapa yang menambah atau meminta tambah maka dia telah melakukan riba. Dan tidak apa-apa jual beli emas dengan perak dan perak lebih banyak, secara serah terima kontan. Adapun yang dengan tempo maka tidak (tidak boleh). Dan tidak apa-apa jual beli gandum dengan barley dan barley yang lebih banyak, secara serah terima kontan. Adapun yang dengan tempo maka tidak boleh.”

- Telah dinyatakan di buku kami tentang masalah riba yang ada kecukupan di dalamnya. Dinyatakan di an-Nizhâm al-Iqtishâdiy halaman 250-254 file word

[Riba dan Sharf. Riba adalah mengambil harta dengan harta dari jenis yang sama secara saling berlebih. Sedangkan sharf adalah mengambil harta dengan harta berupa emas dan perak dari jenis yang sama secara sama, atau dari jenis yang berbeda secara sama atau saling berlebih. Sharf tidak terjadi kecuali dalam jual beli. Adapun riba maka tidak terjadi kecuali pada jual beli, qardhun atau as-salam.
Riba tidak terjadi dalam jual beli dan as-salam kecuali pada enam barang saja: kurma, gandum, barley, garam, emas dan perak. Sedangkan al-qardhu terjadi pada semua barang. Tidak boleh mengutangkan (qardh) sesuatu untuk dikembalikan kepada Anda lebih sedikit atau lebih banyak, dan secara hukum asal tidak boleh (dikembalikan) dari jenis yang lain. Tetapi harus semisal dengan apa yang Anda utangkan pada jenis dan kadarnya. Perbedaan antara jual beli dan as-salam dengan al-qardhu, bahwa jual beli dan as-salam terjadi pada suatu jenis dengan jenis yang lain, sedanglan al-qardhu hanya terjadi dan harus dalam satu jenis dengan jenis yang sama. Adapun keberadaan riba pada enam jenis saja, hal itu karena ijmak shahabat telah terakadkan atasnya. Dan karena Rasulullah SAW bersabda:

«الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ» 

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus semisal, sama dan serah terima kontan. Dan jika berbeda di antara jenis-jenis ini maka juallah sesuka kalian jika serah terima kontan.” (HR Muslim dari Ubadah bin ash-Shamit).

Ijmak dan hadis menyatakan atas jenis-jenis tertentu yang di dalamnya ada riba sehingga tidak ditetapkan kecuali padanya. Dan tidak ada dinyatakan dalil atas pengharaman pada selain enam jenis itu. Maka riba tidak ada pada selainnya. Termasuk di dalam jenis itu apa saja yang termasuk di dalam jenisnya dan yang sifatnya berlaku atasnya. Adapun selainnya maka tidak masuk. Adapun peng-’illat-an pengharaman pada jenis-jenis ini maka tidak dinyatakan di dalam nas, sehingga tidak disertai ‘illat. Sebab ‘illat itu harus ‘illat syar’iyah, tidak boleh ‘illat ‘aqliyah. Maka selama tidak dipahami ‘illat dari nash maka tidak dinilai (sebagai ‘illat). Adapun pengqiyasan ‘illat maka tidak ada di sini. Sebab dalam pengqiyasan ‘illat disyaratkan sesuatu yang dinilai sebagai ‘illat harus berupa washfun mufhimun, sehingga qiyas sah atasnya. Jika bukan washfun mufhimun, dengan berupa isim jamid atau sifat yang bukan mufhimun, maka tidak layak menjadi ‘illat dan tidak bisa diqiyaskan terhadapnya ...] selesai kutipan dari an-Nizhâm al-Iqtishâdiy. Rincian hal itu telah dinyatakan di bab yang sama, jadi bisa dirujuk kepadanya.

Semua ini menunjukkan bahwa riba adalah haram bagaimanapun dia. Tidak ada perbedaan antara Dâr al-Islam dan Dâr al-Harb. Hal itu karena nash-nash pengharaman riba bersifat umum, tidak dikhususkan dan bersifat mutlak tidak dibatasi. Dan jumhur fukaha mengatakan yang demikian.

Kedua: adapun yang dinukilkan dari ulama hanafi bahwa riba boleh di Dâr al-Harb dan itu merupakan madzhab Abu Hanifah dan muridnya Muhammad bin al-Hasan (dan Abu Yusuf berbeda dengan keduanya). Adapun dalil-dalil yang Anda sebutkan di pertanyaan Anda bahwa mereka mengatakan itu dari al’Abbas dan Abu Bakar maka di dalamnya perlu dikaji:

Pertama- Masalah al-‘Abbas ra: Abu Ja’far ath-Thahawiy (w. 321 H) di dalam bukunya Bayân Musykal al-Atsâr pada judul (bab penjelasan kesamaran apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dalam apa yang digunakan istidlal oleh Muhammad bin al-Hasan dalam pendapat Abu Hanifah tentang kebolehan riba antara kaum Muslim dan kaum musyrik di Dâr al-Harb) pada bab ini, ath-Thahawi mengatakan:

[ ... Di dalam atsar ini bahwa riba saat itu di Dâr al-Islâm adalah haram di antara pemeluk Islam, kemudian kita temukan Rasulullah SAW telah diriwayatkan dari beliau dalam khutbah pada Haji Wada’ apa yang telah diceritakan kepada kami oleh ar-Rubayi’ al-Muradi, ia berkata: 

(dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam khutbah beliau pada hari ‘Arafah pada Haji Wada’:

«وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِباً أَضَعُهُ رِبَا العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ»

Riba jahiliyah itu batal dan riba pertama yang aku batalkan adalah riba al-‘Abbas bin Abdu al-Muthallib maka semuanya itu batal”.)

Ath-Thahawi menambahkan: 
(dari Amru bin al-Ahwash, ia berkata: aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

«أَلَا إِنَّ كُلَّ رِباً مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ»

Ketahuilah, sesungguhnya semua riba dari riba jahiliyah itu batal, untuk kalian pokok harta kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi”.)

Di dalam yang demikian itu ada yang menunjukkan bahwa riba sebelumnya terjadi di Makkah, karena Makkah merupakan dâr harb sampai dibebaskan (Futuh Makkah) sebab hilangnya jahiliyah tidak lain dengan pembebasannya, dan di dalam sabda Rasulullah SAW “riba pertama yang aku batalkan adalah riba al-‘Abbas bin Abdu al-Muthallib” maka hal itu menunjukkan bahwa riba al-‘Abbas masih ada sampai Rasulullah SAW membatalkannya sebab beliau tidak membatalkan kecuali apa yang masih ada, bukan apa yang telah gugur sebelum pembatalan beliau itu.

Di dalam yang demikian itu ada apa yang menunjukkan bahwa al-‘Abbas punya riba sampai ketika Futuh Makkah, dan dia telah menjadi Muslim sebelum itu dan di dalam yang demikian itu ada apa yang menunjukkan bahwa riba adalah halal di antara kaum Muslim dan di antara kaum musyrik di Makkah karena Makkah adalah dâr harb, dan ketika itu riba adalah haram di antara kaum Muslim di Dâr al-Islâm.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hanifah dan ats-Tsawri) selesai.

Jawaban yang rajih dalam hal itu:

Pertama- Ini tidak sah berdalil dengannya bahwa al-‘Abbas bermuamalah dengan penduduk Makkah dengan riba dikarenakan Makkah adalah dâr harb. Sebab Makkah menjadi Dâr al-Islâm sejak dibebaskan (Futuh Makkah). Dan futuh Makkah itu terjadi lebih dari dua tahun sebelum dinyatakannya hadis ini:

«وَأَوَّلُ رِباً أَضَعُهُ رِبَا العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ »

dan riba pertama yang aku batalkan adalah riba al-‘Abbas bin Abdu al-Muthallib”.

Seandainya Rasul SAW mengatakan ucapan ini ketika Futuh Makkah niscaya memiliki sisi (istidlal). Adapun hadis itu dinyatakan dua tahun setelahnya maka aspek istidlal tersebut berarti tidak shahih.

Kedua- Kemudian, penyandaran (idhâfah) riba kepada lafal al-jâhiliyyah di dalam hadis:

«أَلَا إِنَّ كُلَّ رِباً مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ ...»

“Ketahuilah, sesungguhnya semua riba dari riba jahiliyah adalah batal ...”.

Hal itu memberi faedah pemahaman bahwa riba ini terjadi sebelum keislaman al-‘Abbas. Sebab al-jâhiliyyah itu adalah apa yang sebelum Islam. Berdasarkan hal ini maka yang rajih dalam makna hadis tersebut adalah bahwa al-‘Abbas dahulu bermuamalah dengan riba sebelum Islam, dan dia masih memiliki tagihan bunga pada para debitur, lalu Nabi SAW melarangnya dari mengambil bunga itu.

﴿وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ﴾

"Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu." (TQS al-Baqarah [2]: 279).

Dan Rasul memberitahukan bahwa riba ini batal.

Kedua- Adapun istidlal mereka dengan apa yang mereka katakan: (“dan karena Abu Bakar ash-Shidiq ra bertaruh dengan orang musyrik Quraisy sebelum hijrah ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya:

﴿الم . غُلِبَتِ الرُّومُ...﴾

"Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi." (TQS ar-Rum [30]: 1-2).

Lalu orang Quraisy berkata kepadanya: “engkau berpandangan bahwa Romawi akan menang?!” Abu Bakar berkata: “benar”. Maka mereka berkata: “apakah engkau mau bertaruh dengan kami?” Abu Bakar berkata: “ya benar”. Maka Abu Bakar bertaruh dengan mereka. Lalu ia memberitahu Nabi SAW, Nabi SAW pun bersabda:

«اذْهَبْ إِلَيْهِمْ فَزِدْ فِي الْخَطَرِ»

Pergilah kepada mereka dan tambah taruhannya”.

Abu Bakar pun melakukannya. Dan Romawi pun mengalahkan Persia dan Abu Bakar mengambil taruhannya dan Nabi SAW memperbolehkannya. Dan taruhan itu adalah judi itu sendiri antara Abu Bakar dengan orang musyrik Makkah, dan Makkah ketika itu adalah dâr syirk...). Khâtara yakni qâmara (berjudi) atau melakukan al-maysir (judi).

Jawaban terhadap ini dari dua sisi: Pertama, bahwa jumhur ulama berpandangan bahwa ini dinasakh. Ini terjadi sebelum turunnya pengharaman judi (al-maysir). Kedua, sebagian ulama berpandangan bolehnya taruhan ini dan bahwa itu tidak dinasakh, sebab maksud darinya adalah untuk menolong Islam. Dan ini adalah pilihan syaikh al-Islâm Ibnu Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim. Dan di dalam dua sisi tersebut, istidlal dengannya atas bolehnya riba di Dâr al-Harb adalah perkara yang marjuh.

Ketiga- Berdasarkan hal itu maka yang lebih rajih dalam masalah ini adalah bahwa riba itu diharamkan di antara Muslim dan muslim dan antara Muslim dan kafir di Dâr al-Islâm atau Dâr al-Kufr atau Dâr al-Harb. Ini yang menjadi pendapat mayoritas fukaha dari malikiyah, syafi’iyah dan hanabilah. Dan untuk pengetahuan, berikut pendapat sebagian fukaha dalam masalah ini:

Pertama- Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata di al-Mughniy: (riba diharamkan di Dâr al-Harb, seperti pengharamannya di Dâr al-Islâm. Malik, al-Awza’iy, Abu Yusuf, asy-Syafi’iy dan Ishaq mengatakan hal itu karena firman Allah SWT:

﴿وَحَرَّمَ الرِّبا﴾

"Dan Allah telah mengharamkan riba." (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Dan firman Allah SWT:

﴿الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ﴾

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila." (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Dan Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا﴾

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)." (TQS al-Baqarah [2]: 278).

Keumuman berita mengharuskan pengharaman saling berlebih. Dan sabda Rasul SAW:

«فمَن زادَ أوِ اسْتَزادَ فقَدْ أرْبَى»

Siapa yang menambah atau meminta tambah maka dia telah melakukan riba.

Sabda Rasul itu adalah bersifat umum. Demikian juga semua hadis (tentang riba). Dan karena apa yang diharamkan di Dâr al-Islâm maka juga diharamkan di Dâr al-Harb, seperti riba di antara kaum Muslim”). Ibnu Qudamah juga mengatakan, (siapa yang masuk ke wilayah musuh dengan aman: dia tidak boleh mengkhianati mereka dalam hal harta mereka dan tidak boleh bermuamalah riba dengan mereka”). Ia juga berkata, (“adapun pengharaman riba di Dâr al-Harb: maka kami telah menyebutkan di (bab) ar-ribâ, dan firman Allah SWT:

﴿وَحَرَّمَ الرِّبا﴾

"Dan Allah telah mengharamkan riba." (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Dan seluruh ayat-ayat riba dan hadits-hadits yang menunjukkan pengharaman riba; adalah bersifat umum, mencakup riba di semua tempat dan waktu”), selesai ucapan beliau.

Kedua- Imam an-Nawawi rahimahullah berkata di al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzdzab; (“riba terjadi di Dâr al-Harb seperti terjadi di Dâr al-Islâm. Malik, Ahmad dan Abu Yusuf berpendapat dengannya. Dalil kami: keumuman dalil-dalil yang mengharamkan riba. Dan karena semua yang haram di Dâr al-Islâm maka juga haram di Dâr asy-Syirk seperti semua kekejian dan kemaksiyatan. Dan karena itu merupakan akad yang fasid sehingga tidak boleh diakadkan seperti akad nikah”).

Ketiga- Imam asy-Syafi’iy rahimahullah berkata: (“jika sekelompok dari kaum Muslim masuk ke negeri har (bilâd al-harb) dengan jaminan keamanan, maka musuh aman dari mereka sampai mereka meninggalkan musuh itu atau telah mencapai batas jaminan keamanan mereka, mereka tidak boleh menzalimi musuh dan tidak boleh mengkhianati mereka” selesai kutipan dari al-Umm (iv/263). Beliau juga mengatakan di al-Umm (iv/284): “seandainya seorang laki-laki masuk ke Dâr al-Harb dengan jaminan keamanan ... lalu dia mampu menguasai sesuatu dari harta mereka maka tidak halal untuknya mengambil sesuatu pun darinya baik sedikit ataupun banyak, sebab jika dia aman dari mereka maka mereka pun aman dari dia pada semisalnya. Dan karena untuknya tidak boleh dari jaminan keamanan mereka kecuali apa yang halal untuknya dari harta kaum Muslim dan ahlu adz-dzimmah, sebab harta tersebut terlarang karena beberapa sisi: pertama, keislaman pemiliknya; kedua, harta milik orang yang memiliki dzimmah; dan ketiga, harta orang yang memiliki jaminan keamanan sampai batas waktunya”, selesai.

Dan akhirnya, saya memohon kepada Allah SWT agar meluaskan rizki yang bersih lagi halal untuk Anda dan mengkaruniai Anda kehidupan yang baik yang akan Anda habiskan di dalam ketaatan kepada Allah sehingga Anda meraih keberuntungan di dunia dan akhirat dan itu merupakan keberuntungan yang agung. []


Oleh: Syekh ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah
08 Muharram 1443 H
16 Agustus 2021 M

Posting Komentar

0 Komentar