Telat Nikah: Betulkah Alasan Kondisi Ekonomi Lebih Dominan daripada Agama?



TintaSiyasi.com-- Menikah adalah ibadah dan bagian syariat Islam. Hukum menikah adalah sunah. Sebagaimana hadis yang disampaikan Rasulullah SAW: "ada empat perkara yang termasuk sunah para Rasul: rasa-malu, memakai wewangian, bersiwak dan menikah.” (HR. At-Tirmidzi no. 1086)

Menikah tak hanya perintah agama, tetapi menikah adalah sebuah kebutuhan. Menikah adalah salah satu perwujudan pemenuhan gharizah nau' yaitu naluri melestarikan jenis. Gharizah nau' yang bisa menyebabkan gegana (gelisah, galau, merana) dapat diatasi dengan menikah. Sebagaimana hadis berikut. "Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.” (HR. Al-Baihaqi no. VII/78)

Dikatakan dalam sebuah hadis, menikah menyempurnakan agama. Karena setelah orang tersebut menikah banyak syariat Islam yang dapat ditunaikan. Contohnya, hak kewajiban seorang suami, istri, ayah, dan ibu. Hal itu, juga mampu menjadi sarana meraih keridhaan Allah SWT. Hanya saja, masih ada yang menunda menikah dengan banyak hal dan ragam alasan. 

Apakah telat menikah karena kondisi ekonomi lebih dominan daripada agama? Apakah karena alasan lain yang tak seharusnya? Ataukah sudah berjuang jatuh bangun mencari jodoh, ta'aruf sana sini, tak kunjung berjodoh? Sesungguhnya hal tersebut, hanya bisa dijawab kepada mereka yang masih belum atau menunda menikah. Setelah itu memuhasabah, benarkah alasan penundaan itu? Ataukah itu hanya ngeles untuk tidak bersegera menikah?


Menyibak Pertimbangan Orang Menikah dalam Perspektif Agama dan Ekonomi

Menikah adalah pembahasan yang tidak akhirnya. Tidak hanya untuk mereka yang belum menikah, bahkan menikah juga masih hangat diperbincangkan oleh mereka yang sudah menikah. Berbicara soal menikah, Islam memandang menikah hukum asal adalah sunah. Bahkan, bisa terkategori wajib, apabila pernikahan tersebut mampu menyelamatkan kehormatannya. 

Seseorang dapat dikatakan siap menikah, apabila dia sudah baligh (dewasa). Secara biologis, yang telah baligh sudah siap menikah dan dapat dibebani hukum syara. Selain, baligh, berakal, Muslim, dan mampu adalah syarat seseorang dikatakan siap menikah. Kategori mampu tersebut setiap orang tidak bisa dipukul rata. Tetapi kadar mampu sebenarnya di sini ketika dia sanggup mengemban amanah (suami/istri/ibu/bapak), insyaallah dia telah mampu.

Sebagaimana yang pernah diriwayatkan hadis, alasan seseorang (wanita) dinikahi, karena empat hal, kecantikannya, kekayaannya, keturunan, dan agamanya. Boleh saja, menjadikan salah satu alasan tersebut sebagai alasan untuk menikah. Tetapi, jangan melupakan pertimbangan agama sebagai penentu akhir ketika memilih pasangan. Paras atau kekayaan boleh dijadikan pertimbangan tetapi baiknya jangan dijadikan pertimbangan utama. Tetap yang utama dan terpenting adalah faktor kebaikan agama. Rezeki bisa dicari, selain itu, rezeki setiap makhluk yang bernyawa selalu dicukupkan. Terkadang hanya manusianya saja yang belum bisa mensyukuri.

Apalagi, teruntuk mereka yang menikah karena menyelamatkan kehormatan. Maka, Allah SWT akan menolongnya dengan mencukupkan rezekinya. Tugas sebagai seorang hamba senantiasa mensyukuri nikmat yang Allah beri, agar dari rasa syukur tersebut, Allah akan menambah kenikmatannya. 

Hanya saja, masih ada yang menunda menikah, baik dari perempuan maupun laki-laki dengan berbagai alasan. Memang ketika akan menikah, tidak boleh terburu-buru, tetapi juga tidak boleh menunda-nunda, seharusnya yang dijadikan pemicu adalah bersegera melaksanakan syariat-Nya. Seyogyanya dorongan ibadah ini menjadi alasan untuk bersegera, bukan untuk menunda. 

Apabila dibahas alasan-alasan yang sering muncul dijadikan belenggu yang memenjara untuk tidak bersegera menikah dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. 

Membahas faktor eksternal yang menjadi alasan menunda menikah adalah sebagai berikut. 

Pertama, ekonomi. Pekerjaan masih serabutan, belum punya pekerjaan, belum punya rumah, belum punya mobil, atau belum punya begini-begitu, terkadang sering dijadikan belenggu yang memenjara dirinya sendiri. Padahal, Allah SWT telah menjamin setiap rezeki makhluk-Nya yang bernyawa. Begitu juga yang menikah demi menjalankan ibadah, pasti Allah SWT akan mencukupkan rezeki untuk keduanya. “Ada tiga golongan, Allah mewajibkan atas Zatnya untuk membantunya: (yaitu) orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah untuk menjaga kehormatan diri dan budak yang berusaha membeli dirinya sendiri hingga menjadi orang merdeka." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)

Sesungguhnya dengan adanya hadis di atas lebih meyakinkan diri untuk bersegera menikah. Selain itu, harus mengingat, Allah SWT senantiasa memenuhi kebutuhan hamba-Nya. Begitu dengan orang yang akan menikah. Ataukah terkadang ada beralasan belum memiliki pekerjaan tetap. Definisi pekerjaan tetap ini seperti apa? Sebenarnya apabila manusia senantiasa bekerja dan berusaha, Allah SWT akan melewatkan rezeki itu dari pintu mana saja. Tidak boleh bersembunyi dengan perkataan belum ada pekerjaan tetap atau penghasilan tetap. Karena sejatinya, apa yang kita hasilkan adalah jerih payah dari usaha kita. 

Apabila hasil yang diharapkan belum terpenuhi, berusaha lagi dan berdoa, semoga dengan itu Allah SWT bukakan rezeki dari pintu mana saja. Selain itu, jangan melalaikan kewajiban syariat yang lainnya. Oleh karena itu, seharusnya, sebagai seorang laki-laki, jika sudah baligh menyiapkan diri untuk menikah dengan mencari nafkah.

Begitu juga perempuan, jangan pernah meremehkan laki-laki yang melamar karena pekerjaan yang masih belum mapan. Selama dia tanggung jawab dan mau bekerja di jalan yang halal, kenapa tidak?

Kedua, keluarga. Salah satunya, masih menjadi tulang punggung keluarga. Ada pula sebagai anak, karena sibuk bekerja dan menafkahi keluarganya, sampai tidak segera menikah. Sebenarnya, secara finansial dan ekonomi sudah teruji dalam mencari nafkah. Oleh karenanya, jangan sampai hal itu membuat untuk menunda nikah.

Ketika sudah menikah, keluarga yang menjadi tanggung jawabnya harus diurus dengan baik. Begitu pula keluarga barunya juga dipenuhi sesuai porsinya. Semoga dengan itu rezekinya akan ditambah.

Ketiga, pendidikan. Alasan karena ingin fokus menuntut ilmu. Benar, memang ada beberapa ulama karena saking sibuk mendalami Islam dan menulis karya-karyanya untuk agama mereka sampai tidak menikah hingga akhir hayatnya. Apakah yang menunda menikah karena alasan pendidikan sudah mampu berkarya sebagaimana ulama-ulama terdahulu untuk memberi sumbangan terhadap peradaban Islam? Ataukah alasan pendidikan yang ingin dikejar hanya memenuhi tuntutan karier semata?

Apabila dia seorang Muslimah, selain mengejar pendidikan, perlu mengingat, peran sebagai perempuan yang utama adalah mendidik generasi. Oleh karena itu, jangan sampai lupa menikah. Begitu pula untuk kaum Adam, jangan sampai sibuk meraih karier, hingga lupa dengan tuntutan Rasulullah SAW, yaitu menikah.

Keempat, lingkungan. Lingkungan di sini dapat diartikan keluarga, sahabat, atau komunitas yang diikuti mendukung untuk bersegera menikah. Lingkungan kerja atau lingkungan dia bergaul. Tidak memotivasi untuk menikah, justru malah ada yang nyaman dengan pacaran, tetapi tak kunjung nikah. Padahal, ketika pacaran, hal itu bisa menjebak ke dalam kemaksiatan. Berbeda dengan menikah, segala aktivitasnya berbuah pahala, pacaran justru memupuk dosa. Astaghfirullahal'adzim, na'uzubillah.

Selain pemaparan di atas, faktor internal yang menjadi belenggu menikah adalah sebagai berikut. Pertama, karena belum siap. Terkadang banyak orang yang menunda menikah karena terpenjara oleh perkataannya sendiri, yaitu, belum siap menikah. Padahal, menikah adalah ibadah dan untuk melaksanakannya senantiasa dipersiapkan. Hal itu dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu, meluruskan niat, menikah hanya karena Allah SWT dan memperkaya diri dengan ilmu dan tsaqafah terkait pernikahan.

Kedua, belum ada yang cocok. Menikah memang tidak bisa dipaksakan. Terkadang ada pula yang menikah itu karena kecocokan, ada pula yang menikah karena qanaah dengan pilihan orang ia percayai. Entah itu orang tua, guru ngaji, atau sahabatnya.

Membahas alasan menikah, memang ada yang menikah karena parasnya (cantik/tampan), hartanya (kaya/miskin), keturunannya, atau karena pertimbangan agamanya. Cocok atau tidaknya bisa jadi didapat dari alasan menikah di atas. Atau kalau tidak begitu, cocok atau tidak karena interaksi yang pernah terjalin. Tetapi, perlu disadari, ketika akan menikah, harus sabar dan lapang dada. Karena kita menikah dengan manusia bukan malaikat. Tentunya akan ditemui banyak kekurangan di sana sini.

Hal itu, seharusnya menjadi muhasabah kita. Begitu juga diri kita, tentunya bukan manusia sempurna, melainkan memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya, perlu dikondisikan hati yang siap saling menerima. Jika, kita masih kekeh dengan keakuan diri dan tidak mau menerima kekurangan, akhirnya tak kunjung menemui kecocokan.

Ketiga, takut. Terkadang ketika seseorang baru akan proses untuk menikah sudah timbul banyak ketakutan. Ketakutan yang muncul biasanya, takut ditolak, takut enggak cocok, takut tidak bisa menjalani amanah sebagai istri/ibu, takut punya anak, takut konflik dengan pasangan, takut kecewa setelah menikah, dan banyak ketakutan-ketakutan yang sebenarnya ini adalah bisikan setan untuk menghambat pelaksanaan ibadah nikah.

Seharusnya, jika muncul ketakutan tersebut dikembalikan kepada visi menikah itu karena Allah SWT, yaitu mendapat ridha-Nya atau bagaimana? Selain itu, segala yang muncul dari faktor tersebut seharusnya dihadapi dengan tetap berpegang teguh pada Islam, bukan terjebak dengan ketakutan-ketakutan yang tak berarti. Karena, waspada dan khawatir itu beda dengan takut. Mereka yang takut, pasti tidak mau melangkah sejak awal. Tetapi, mereka yang waspada tetap melangkah dan terus berhati-hati.

Sejatinya generasi dalam lingkup sistem kapitalisme sekuler memang tidak dicetak menjadi generasi-generasi siap nikah dan berani bertanggung jawab. Melainkan sebaliknya, yaitu, dicetak jadi generasi bermental rendah dan budak cinta. Sebenarnya peran negara penting untuk memudahkan rakyatnya menikah. Dari membantu dalam sektor ekonomi dan dalam segi ilmu, pemerintah wajib memberikan edukasi kepada generasi Muslim.

Dampak Telat Nikah karena Mengutamakan Kondisi Ekonomi daripada Agama

Terburu-buru menikah ataupun menunda-nunda menikah tentulah akan memiliki dampak. Begitu juga dengan menikah itu sendiri, tentu akan memberi dampak atau pengaruh dalam kehidupan kita. Sebenarnya ketika kita yakin atas rizkiminallah (rezeki dari Allah), seharusnya ini yang memotivasi kita untuk menikah, bukan malah menjadi momok takut menikah. 

Oleh karenanya, menjadikan agama sebagai penentu akhir menikah adalah penting. Masalah rezeki tetap berusaha dan yakin Allah SWT akan bukakan pintu rezeki bagi kaum yang beriman dan bertakwa. Kalau soal ini saja tidak yakin, wajar saja ketakutan dalam faktor ekonomi sering dijadikan faktor penunda pernikahan.

Menyoal dampak yang timbul akibat menunda menikah tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, menyia-nyiakan pahala. Ketika menikah bertambahlah amanahnya. Begitu pula, banyak pahala yang bisa diraih saat menjadi suami/istri dan ayah/ibu. Oleh karenanya, dalam sebuah hadis diriwayatkan, "jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karena, bertakwalah kepada Allah dalam separuh yang lainnya." (HR. Al-Baihaqi)

Dalam hadis itu menunjukkan keutamaan menikah, karena sebagian syariat atau hampir separuh syariat dalam Islam dapat ditemui dalam biduk rumah tangga.

Kedua, menabung dosa. Mereka yang menunda menikah dengan alasan pacaran dulu, ini adalah contoh menabung dosa. Karena, pacaran lebih dekat dengan maksiat daripada ibadah. Jika memang serius menjalin hubungan, seharusnya segera menikah, bukan malah menunda menikah dengan alasan pacaran dulu. Kalau pun ingin saling mengenal, hal itu bisa dilakukan dengan ta'aruf sesuai syariat, bukan malah dengan pacaran.

Ketiga, umur yang semakin menua. Menikah sarana ibadah untuk mendapat ridha Allah SWT. Begitu juga menikah adalah kebutuhan. Tujuannya adalah untuk melestarikan keturunan. Oleh karena itu, menikahlah di usia produktif, harapannya bisa melahirkan generasi-generasi Muslim. Sekalipun rezeki tetap berada di tangan-Nya. Selain itu, jangan terlalu banyak pertimbangan, sehingga lupa memikirkan umur, yang semakin lama semakin bertambah. Secara faktual, semakin bertambahnya umur, pilihannya semakin sedikit.

Keempat, rentan terjadi fitnah. Entah laki-laki ataupun perempuan yang sudah berumur tetapi belum segera menikah, memang rentan terjadi fitnah. Apalagi hidup di tengah sistem kapitalisme, yang sudah menikah saja rentan terjadi fitnah, apalagi yang belum menikah.

Kelima, salah satu indikasi diganggu jin (setan). Salah satu ciri orang yang tak kunjung menikah, bisa jadi karena pengaruh atau godaan setan agar senantiasa menjomblo (dalam kesendirian). Padahal, tidak ada alasan syari yang membuat dia terus menjomblo. Memang ada beberapa contoh, ulama salaf yang sibuk dengan ilmu dan karyanya, hingga sampai di sisa umurnya dia tidak menikah. Lalu, yang tidak ada alasan sedemikian, karena apakah menunda menikah? Oleh karenanya, perlu muhasabah diri, mengapa rezeki jodoh tak kunjung tiba? Perlu juga menambah amalan-amalan sunah agar rezeki jodoh tiba dan terhindar dari sihir setan. 

Keenam, murung dan putus asa. Ada pula karena sering gagal proses, berdampak kepada berputus asa menggapai rahmat Allah SWT. Jadi, sudah tidak ada gairah untuk menikah, selain hanya putus asa dan terima keadaan. Sikap seperti ini tidak sepantasnya. Karena, hidup itu ujian, begitu juga dengan jodoh. Ketika jodoh tak kunjung datang, seharusnya terus berusaha, ikhtiar, doa, dan tawakal. Dan tidak boleh membuat putus asa dan pasrah dengan keadaan. Mungkin, dengan kondisi yang ada, Allah SWT ingin mengetahui ketulusan kita, ketika ingin menikah benar karenanya, atau karena yang selain-Nya. Jika, memang menikah karena Allah SWT, tentunya perkara-perkara agama lebih diutamakan dijadikan pertimbangan, daripada yang lainnya.

Demikian dampak atau pengaruh buruk ketika menunda menikah. Sekalipun jodoh itu adalah bagian dari kuasa Allah SWT, tetapi jangan lupa hal-hal yang berada dalam kuasa manusia. Yaitu, manusia seyogyanya, tetap terus ikhtiar mencari jodohnya disertai doa dan tawakal atas hasilnya. Selain itu, sembari terus muhasabah dan memperbaiki diri di hadapan Allah SWT, agar Allah SWT memudahkan dan mendekatkan rezeki jodoh.

Strategi Islam Mempersiapkan Seorang Muslim agar Siap Menikah

Menikah adalah perkara penting dalam Islam, sampai-sampai dalam keseharian kita sering mendengar "menggenapkan separuh agama". Sebuah ungkapan yang ternyata berasal dari sunah Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, "apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya " (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).

Menikah adalah ibadah yang paling panjang waktunya, bisa bertahun-tahun lamanya. Ibadah sholat, dimungkinkan hanya 5-10 menit saja. Ibadah puasa hanya 12-14 jam dalam sehari, sesuai keumuman di Indonesia. Ibadah yang lain juga tidak jauh beda lama waktunya. Maka ibadah pernikahan yang waktunya paling lama butuh effort yang lebih dan tentunya butuh persiapan yang matang meliputi:

1. Menjaga dan meluruskan niat

Menikah adalah ibadah. Setiap ibadah bernilai pahala tatkala niatnya tepat sesuai anjuaran as syari' (Allah SWT). Lantas apa saja niat yang diperbolehkan dalam pernikahan? 

a) Niatan untuk beribadah kepada Allah SWT sebagaimana yang disebutkan dalam hadis menggenakan separoh agama; 

b) Niatan untuk terhindar dari kemaksiatan akibat tidak/belum menikah sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).; 

c) Niatan untuk melestarikan keturunan sebagaimana dalam Al-Qur'an disebutkan, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon ayat 74).

Di dalam kitab al-Minhaj as-Sawi disampaikan: “Para ulama fiqih rahimahullah berkata, ‘Sesungguhnya bagi orang yang menikah hendaknya pernikahannya diniati menegakkan sunah, memejamkan pandangan dari perkara yang haram dan sesamanya dari tujuan-tujuan syariat. Karena sesungguhnya pernikahan akan menjadi ibadah jika disertai niat-niat ini dan niat sesamanya, sehingga pernikahan tersebut diberi pahala ibadah. Jika tidak, maka pernikahan tersebut termasuk dari perkara-perkara mubah yang tidak berpahala seperti pernikahan dengan tujuan sekadar main-main, mencari kesenangan, mendapatkan harta atau sesamanya.” (al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumith, al-Minhaj as-Sawi, Yaman, Dar al-‘Ilmi wa ad-Da’wah, cetakan pertama, 2008, halaman 683-684).

2. Persiapan ilmu

Menikah adalah ibadah yang bisa menghadirkan pahala bagi yang menjalankannya. Dengan menikah bisa menjadi terbukanya pintu-pintu surga ketika menikah dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT. Lantas bagaimana agar menikah tidak sia-sia padahal sudah tepat niatnya lillahita'ala terhindar dari kemaksiatan (perzinaan) dan melahirkan keturunan yang shalih? Maka tidak lain dan tidak bukan, jalanilah pernikahan dengan ilmu. Apa saja ilmu pernikahan yang harus dipahami? 

a) Hak dan kewajiban suami/istri. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan sebaik mungkin. Jika seorang yang menjalani pernikahan tidak memahami apa kewajibannya, bagaimana bisa dia akan menghadirkan nuansa ibadah fastabiqul khairat dalam pernikahannya? Yang ada, dosa-dosalah yang banyak dia petik karena kelalaiannya dalam menjalankan kewajiban. Contohnya: suami yang tidak mau menafkahi istri atau mendidik istri atau istri yang tidak mau taat pada suaminya. Bagaimana mungkin pahalanya bisa teraih tatkala berlaku demikian? Oleh karenanya, butuh ilmu dan niat yang lurus semata-mata menikah berharap ridha-Nya.

b) Memahami apa yang membatalkan pernikahan. Tidak kalah penting bagi orang yang akan menikah memahami apa saja yang membatalkan pernikahan. Menikah adalah mengubah dari yang haram menjadi halal, jika pernikahannya batal, maka yang halal bisa jadi haram, padahal hanya sekadar ucapan dalam beberapa saat saja.

Perihal ini, maka mau tidak mau seorang yang akan menikah harus paham betul ilmu tentang talaq atau perceraian. Jangan sampai seseorang melakukan perzinaan dalam bingkai pernikahan, padahal telah jatuh padanya talak yang lebih dari dua kali sehingga talaknya sudah tidak raj'i. Sebuah kebaikan yang jatuh pada menjadi kemaksiatan. 

c) Ilmu mendidik anak. Karena menikah salah satu tujuannya adalah hadirnya keturunan, maka perlu agar keturunan yang diharapkan menjadi keturunan yang shalih dan shalihah. Hadirnya anak yang shalih/shalihah tentu tidak dilakukan tanpa usaha. Harus ada usaha. Bahkan usaha itu bisa dilakukan sejak si jabang bayi masih dalam ikhtiar kedua orang tuanya. Misalnya dimulai membaca basmalah, surat Al-Ikhlas dan berdo'a agar diberi anak yang shalih yang jauh dari gangguan setan dan seterusnya.

3. Persiapan materi

Persiapan ini penting tetapi bukan yang paling penting. Pernikahan butuh materi itu benar, tetapi bukan berarti orang yang tidak punya materi sama sekali akan gagal dalam pernikahannya. Sudah banyak hukum alam yang membuktikan bahwa orang yang sebelumnya tidak memiliki materi duniawi, dengan menikah maka Allahoh SWT cukupkan. Maka kita pernah mendengar, "menikahlah maka engkau akan kaya".

Di balik itu semua, Allah SWT berfirman, "dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32). 

Ragukah kita dengan kalam Allah SWT? Materi yang berkecukupan memang mampu memperlancar awal proses menuju pernikahan. Selanjutnya, menikah bukan sekadar tercukupinya materi, tetapi ada hak dan kewajiban yang harus terpenuhi, ada rasa ketenangan (sakinah) yang hadir, ada rasa saling mengasihi (rahmah), ada rasa cinta yang menghiasinya (mawaddah). Berapa banyak materi yang bergelimang tetapi pernikahannya menjadi neraka dan bencana karena niat yang salah dan tidak paham ilmunya.

Persiapan menikah di atas, selain diupayakan sendiri, seharusnya juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyiapkannya. Supaya yang menikah, benar-benar siap lahir batin, siap bekal dan semuanya. Harapannya, keluarga yang dibina mampu mencetak generasi Muslim penerus estafet kepemimpinan Islam. Oleh karena itu, penting negara berperan pula. Sebagaimana dalam kehidupan yang ditemui, ketika menikah bukan ketulusan dan lillah, banyak sekali angka perceraian, pertengkaran dalam dan antar keluarga.


Menyimak pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Pertimbangan menikah dalam perspektif agama adalah ketika baligh (dewasa) seharusnya dia telah siap menikah. Tak sepatutnya, menunda menikah, apalagi yang dianggap mampu untuk menikah. Selain dia sudah baligh, dapat dikatakan siap menikah karena berakal, Muslim, dan mampu. Menyibak alasan penundaan menikah ada dua faktor. Faktor eksternal, yaitu, karena ekonomi, keluarga, lingkungan, dan pendidikan. Selain itu, karena faktor internal, belum siap, belum cocok, takut, dan hal-hal lain yang memunculkan kekhawatiran sehingga menunda menikah.

Kedua. Seharusnya kondisi ekonomi jangan dijadikan penentu akhir menikah. Tetapi, seharusnya penentu akhir adalah baik buruknya agama. Karena sejatinya, siapa yang menikah karena menyelamatkan kehormatan, Allah akan menolongnya. Mengulik dampak menunda menikah, yaitu, menyia-nyiakan pahala, menabung dosa, umur yang semakin menua, rentan terjadi fitnah, salah satu ciri orang yang diganggu jin (setan), murung dan putus asa. 

Ketiga. Dalam Islam, menyiapkan nikah ada beberapa hal sebagai berikut, meluruskan niat, mempersiapkan ilmu, dan menyiapkan materi. Niat yang lurus itu penting, karena ini bagian dari ketulusan. Banyak yang ingin menikah tapi karena tidak tulus, akhirnya mereka kehilangan arah dan tujuan sebuah pernikahan. Begitu juga dengan ilmu, ilmu penting untuk senantiasa mendewasakan diri, agar menjadi pribadi yang makin baik dan bijaksana dalam setiap kondisi. Yaitu, pribadi yang menjadikan Islam sebagai solusi atas segala aspek kehidupannya. Materi memang perlu dipersiapkan, tetapi hal ini bukanlah yang utama.[]  


Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice, Dosol Uniol 4,0 Diponorogo

Nb: MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO (Rabu, 7 Juli 2021)
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum #Lamrad #LiveOpperresedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar