TintaSiyasi.com-- Merespons pemberitaan Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro yang merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama (Komisaris Independen) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. buka suara.
"Ada rektor yang melawan hukum. Eh, hukumnya yang minta maaf karena telah mengganggu rektor? Rangkap jabatan rektor itu termasuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum," tutur Prof. Suteki, sapaan akrabnya, kepada TintaSiyasi.com, Rabu (21/7/2021).
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) ini, argumentasi hukum bahwa rangkap jabatan rektor itu melanggar hukum karena rentan terjadi conflict of interest seorang pejabat.
"Hegemoni kekuasaan akan terjadi sehingga meminggirkan tugas utamanya. Bahkan demi kekuasaan yang lebih kuat, ia akan berpotensi bertindak melindunginya seraya melakukan tindakan represi dan anti kebenaran dan keadilan," ungkapnya.
Prof. Suteki, lantas membeberkan ada empat jenis pelanggaran hukum terkait rangkap jabatan rektor UI, yaitu: pelanggaran statuta UI, UU BUMN, UU Pelayanan Publik serta kode etik kebebasan akademik.
Ia menyayangkan, seolah ada semacam pembiaran dan tidak ada respons cepat organ kampus yang seharusnya dapat memberikan sanksi atas tindakan rektor merangkap jabatan. Di mana organ itu adalah Majelis Wali Amanat (MWA).
"Berdasarkan pemberitaan yang beredar di dunia maya, rangkap jabatan yang dilakukan oleh Ari Kuncoro sebenarnya sudah menjadi perhatian MWA sejak tahun lalu (2020). Namun, Forum MWA UI yang anggotanya terdiri dari perwakilan menteri, senat, karyawan dan mahasiswa itu tidak kunjung memberikan teguran atau sanksi tegas kepada Ari Kuncoro," ujarnya.
Ia pun menilai, respons Jokowi atas kritik terhadap rangkap jabatan Rektor UI yang terang-terangan cacat hukum mencengangkan.
"Alih-alih memberikan sanksi kepada Rektor UI, Presiden Jokowi justru mengubah PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI yang pada prinsipnya melarang Rektor UI merangkap jabatan sebagai pejabat BUMN dengan PP No. 75 Tahun 2021 tentang Perubahan Statuta UI 2013 yang pada prinsipnya mengizinkan Rektor UI merangkap jabatan pada BUMN, selain sebagai direksi. Sehingga jika Rektor UI menjabat pula sebagai komisaris atau wakil komisaris, bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum atas Statuta UI," bebernya.
Bifurkasi
Atas respons presiden tersebut, ia merasa prihatin terhadap pembuatan dan penegakan hukum di negeri ini.
"Patut diduga, presiden telah sengaja mengubah secara paksa (bifurkasi) prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945) menjadi negara kekuasaan. Dalam negara kekuasaan, hukum hanya dipakai oleh pemerintah untuk menjadi alat legitimasi status quonya yang oleh Brian Z. Tamanaha (On The Rule of Law: 2004; 2012) disebut sebagai The Thinnest Rule of Law. Istilah sadisnya adalah kekuasaan pemerintah dijalankan secara otoriter," terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, perilaku pejabat pemerintah negara yang suka mengubah hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest), oleh Levitsky dan Ziblatt (How Democracies Die: 2018), sebagai karakter pemerintahan negara yang otoriter dan akan membunuh demokrasi itu sendiri (suicide).
Lebih parah lagi imbuhnya, perilaku yang suka mengubah peraturan demi kepentingan diri atau kelompoknya apalagi disertai pemberlakuan aturan baru secara retroaktif, jelas bisa disebut sebagai perilaku tidak bermoral dalam pembentukan dan penegakan hukum.
"Atas pelanggaran ini, semestinya Rektor UI bukan saja dapat dituntut mundur dan diberikan sanksi disiplin pegawai sesuai PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, melainkan juga harus mengembalikan seluruh fasilitas keuangan yang diterima selama merangkap jabatan. Bahkan dapat ditelisik apakah Rektor UI juga telah melakukan tindak pidana korupsi karena perangkapan jabatan illegal sehingga berpotensi merugikan keuangan negara," jelasnya.
Ia menyimpulkan, kiranya layak PP 75 Tahun 2021 sebagai peraturan hukum yang tidak bermoral dan seharusnya dibatalkan oleh MA atau dicabut sendiri oleh Presiden Joko Widodo dengan prinsip contrarius actus.
"Jika tidak dibatalkan, selain persoalan conflict of interest akan langgeng, juga tampaknya Presiden Jokowi harus menerbitkan puluhan PP. Mengingat pada umumnya Statuta Universitas (lainnya juga) mencantumkan larangan rangkap jabatan," nilainya.
Maka, jika mau adil, menurutnya, semua Statuta Universitas di Indonesia harus mengizinkan rektor dan wakil rektor untuk rangkap jabatan, khususnya selain sebagai direksi pada suatu badan usaha, termasuk BUMN.
"Namun, sekali lagi, karena potensi conflict of interest yang besar, dan dapat berakibat kontraproduktif dengan otonomi kampus, maka yang lebih bermoral adalah membatalkan PP 75 Tahun 2021. Sebagai religious nation state, bangsa ini harus kembali pada dalil no law without moral, and no moral without religion," pungkasnya.[] Puspita Satyawati
0 Komentar