Kampus dan Sikap Kritis terhadap Kekuasaan


TintaSiyasi.com-- Mahasiswa termasuk manusia yang memiliki kebebasan untuk freedom of speech, freedom of expression dalam segala bidang termasuk dalam hal politik. Mereka itu zoon politicon dalam the open society. Kritik pada the open society tidak boleh dianggap sebagai enemy, termasuk kritik oleh mahasiswa kepada presiden sekalipun karena di perguruan tinggi, seluruh civitas akademika dijamin memiliki kebebasan akademik yang bertanggung jawab. 

Sejak Minggu (27/6/2021), BEM UI masuk dalam deretan trending di Twitter bahkan "telah menimbulkan keonaran" jika mengacu penafsiran hukum pada kasus H4eR5. Setelah dilakukan penelusuran, BEM UI menjadi trending topic pasca mengunggah sebuah status yang dinilai provokatif terhadap Presiden Jokowi. Dalam unggahannya di Twitter, BEM UI melabeli Jokowi dengan "The King of Lip Service". 

Selanjutnya pertanyaan yang perlu diajukan adalah: atas kritik terhadap presiden, apakah ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh BEM UI? Ada 2 perspektif jawabannya, tergantung dari perspektif mana. 

a. Perspektif rezim (otoriter/demokratis) 

KUHP (310-315), UU No. 1 Tahun. 1946, Pasal Penyebaran Berita Bohong, UU ITE. Penguasa dalam hal ini karena Rektor UI juga merangkap jabatan sebagai WAKOMUT BRI sejak 2020 (pasca dilantik menjadi rektor 2019). Jelas ada konflik of interest

b. Perspektif ilmuwan 

Sah jika diterapkan ke dalam the open society, kritik bukan lawan. Kritik dijawab dengan argumentasi sanggahan. Seharusnya kritik kepada penguasa dilihat sebagai sesuatu yang normal. Namun, akan dinilai tidak normal bahkan mengancam status quo jika rezim diktator, represif. 

Apakah unggahan tersebut dapat disebut sebagai sebagai kritik? Jika sebagai kritik maka seharusnya rezim penguasa juga tidak boleh antikritik mengingat mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika kampus juga mempunyai tugas sebagai the agent of change. Berapa banyak peristiwa hukum dan politik di negeri ini berubah karena kiprah para mahasiswa yang peduli dengan berbagai ketimpangan sosial di hadapannya. 

Ada dugaan bahwa pemanggilan darurat BEM UI oleh Rektorat UI sebagai bentuk tekanan atas Kebebasan Akademik kampus. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) dipanggil pihak  rektorat UI pada Minggu (27/6/2021) terkait poster berbunyi "The King of Lip Service" yang mereka unggah di internet. Di poster tersebut terpampang gambar Presiden Joko Widodo. Apabila pemanggilan tersebut akan berakhir dengan pemberian sanksi terhadap BEM UI dan atau para mahasiswa terkait, maka sulit untuk dikatakan bahwa perguruan tinggi masih memiliki otonomi.  

Dalam Penjelasan UMUM Statuta UI disebutkan bahwa: 

"Misi utama pendidikan tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Agar misi tersebut dapat diwujudkan, maka perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apa pun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi, sehingga Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dapat dilaksanakan berdasarkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan." 

Selanjutnya ditegaskan bahwa: 

"Tridharma Perguruan Tinggi di Universitas Indonesia dijalankan berdasarkan otonomi perguruan tinggi. Universitas Indonesia menjalankan pengelolaan perguruan tinggi yang otonom sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum dengan berlandaskan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas dan efisiensi, meritokrasi akademik, layanan prima, akses berkeadilan, dan keberagaman. Dengan kemandirian yang dimiliki, Universitas Indonesia sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum perlu tetap berperan sebagai kekuatan moral yang memiliki kredibilitas untuk mendukung pembangunan nasional". 

Kita sering mendengar slogan tentang otonomi perguruan tinggi, yang meliputi: Otonomi Keilmuan; Kebebasan Akademik; Kebebasan Mimbar Akademik Profesor.

Pertanyaan kita, mungkinkah ada otonomi perguruan tinggi ketika para "petinggi" tertawan oleh hegemoni kekuasaan? Ketika perguruan tinggi sudah terhegemoni oleh kekuasaan, maka sangat sulit untuk mengharap tugasnya dalam merohanikan ilmu, yakni pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth. 

Jadi, dapat dikatakan bahwa pemanggilan rektor kepada BEM UI merupakan kepanikan yang terukur mengingat rektor juga Wakomut BRI yang lekat dengan conflict of interest dengan status quo. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan akademik. 

Rektor UI rangkap jabatan dapat dituntut mundur. 

Rangkap jabatan rektor itu termasuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Argumentasi hukumnya adalah, karena rangkap jabatan ini rentan terjadi conflict of interest seorang pejabat. Hegemoni kekuasaan akan terjadi sehingga meminggirkan tugas utamanya, bahkan demi kekuasaan yang lebih kuat, ia akan berpotensi bertindak melindunginya seraya melakukan tindakan represi dan anti kebenaran dan keadilan. 

Ada empat jenis pelanggaran hukum rangkap jabatan rektor UI, yaitu meliputi: 

(1) Pelanggaran STATUTA UI 

Pasal 35 huruf C Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia. Pasal 35 huruf C PP Statuta Universitas Indonesia menyebut bahwa: 

"Rektor UI dan Wakil Rektor UI dilarang merangkap jabatan sebagai petinggi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun perusahaan swasta."

(2) Pelanggaran UU BUMN 

Larangan rangkap jabatan juga tertuang dalam Pasal 33 UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang berbunyi: 

"Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:
a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." 

(3) Pelanggaran UU Pelayanan Publik

Aturan yang dilanggar bukan hanya PP tentang Statuta UI dan UU BUMN, melainkan juga Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 

Pasal 17 huruf a UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: 

"Pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah yang menegaskan pelaksana PELAYANAN PUBLIK dilarang rangkap jabatan baik sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha." 

UI termasuk kategori pelayanan publik. Ini tertuang dalam PP tentang statuta Pasal 3 huruf (f) tentang tujuan UI. 

(4) Pelanggaran Kode Etik Kebebasan Akademik 

Rangkap jabatan Rektor UI juga melanggar Kode Etik Civitas Akademika UI yang tertuang dalam SK DGB UI No. 001/SK/DGB-UI/2014 yang kemudian diterjemahkan ke dalam Indikator melalui SK Rektor No. 2719/2018 terkait dengan Nilai ke-5, yakni tentang tanggung jawab. Para civitas akademika harus bertanggung jawab atas tugas, fungsi dan jabatannya dan menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest) yang dapat merugikan kepentingan UI dan warga UI lainnya. 

Merujuk ke UU, PP Statuta UI hingga Kode Etik tersebut di atas maka rangkap jabatan rektor UI sebagai Wakil Komisaris Utama di BUMN (Bank BRI) jelas melanggar hukum dan moral. 

Yang patut disayangkan adalah seolah ada semacam pembiaran, tidak ada respons cepat organ kampus yang seharusnya dapat memberikan sanksi atas tindakan rektor merangkap jabatan. Organ itu adalah Majelis Wali Amanat (MWA). Berdasarkan pemberitaan yang beredar di dunia maya, rangkap jabatan yang dilakukan oleh Ari Kuncoro sebenarnya sudah menjadi perhatian MWA sejak tahun lalu (2020). Namun, Forum MWA UI yang anggotanya terdiri dari perwakilan menteri, senat, karyawan, dan mahasiswa itu tidak kunjung memberikan teguran atau sanksi tegas kepada Ari Kuncoro. Rangkap jabatan Ari Kuncoro sebagai wakil komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkuak ke publik setelah pihak rektorat memanggil pengurus BEM UI. Panggilan dilakukan imbas dari kritik BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi The King of Lip Service. Jika tidak ada kasus kritik BEM UI ini, sangat mungkin pelanggaran hukum berupa rangkap jabatan ini tidak terbongkar. 

Atas kedudukan sebagai Wakomut BRI, potensi tekanan kepada rektor sangat besar. Sejumlah kalangan dan warganet di media sosial ramai-ramai mengkritik sikap Rektorat UI yang dinilai mengekang kebebasan berekspresi serta kebebasan akademik. Bahkan, menurut anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika, respons publik tak akan sekencang ini jika Rektor UI Ari Kuncoro tak merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT BRI (Persero) Tbk. 

Apabila Ari tidak merangkap jabatan Komisaris BUMN, pemanggilan itu bisa dianggap sebagai hal lumrah antara rektor dan mahasiswanya dalam rangka pembinaan. Namun, lantaran faktor dobel peran itu, masyarakat menilai pemanggilan tersebut dilakukan karena adanya tekanan dari pihak lain. 

Pihaknya menyatakan ada maladministrasi dalam rangkap jabatan Rektor UI tersebut. Ombudsman menyatakan Ari melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia. 

Lalu apa akibat hukum adanya pelanggaran rangkap jabatan Rektor UI ini? Ada tiga kemungkinan akibat hukumnya, yaitu: 

1. MWA segera mengadilinya dan memberikan "sanksi" pelanggaran statuta (tidak ada). Sanksi Disiplin Pegawai, PP 53 Tahun 2010. Jika melihat akibat pelanggaran hukum rangkap jabatan tersebut tidak hanya bersifat lokal UI, melainkan nasional, maka sanksi yang dapat diterapkan adalah sanksi disiplin berat berupa pemberhentian jabatan, baik rektor atau pun wakomut BRI. 

2. Dapat menjadi alasan untuk memberhentikan yang bersangkutan sebagai rektor jika memilih Wakomut (melalui MWA), atau sebagai Wakomut jika memilih sebagai rektor (melalui Menteri BUMN). 

Apa yang dilakukan Ari merupakan sebuah contoh perilaku CACAT MORAL. Sebagai pertanggungjawaban publik dan cacat moral, mestinya dia mundur dari jabatan rektor. 

3. Ombudsman dapat merekomendasikan kepada pihak terkait utk memberhentikan yang bersangkutan dari salah satu jabatan Ari Kuncoro karena terjadi maladministrasi. 


Respons Jokowi atas Kritik BEM UI 

Merespons kritikan BEM UI terhadap dirinya, Jokowi mengatakan bahwa kritik tersebut sebagai hal lumrah di negara demokrasi. Ia meminta universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa berekspresi dan hendaknya tetap memperhatikan budaya tata krama serta kesopansantunan. Menurutnya, mahasiswa mengkritik kemungkinan sedang belajar mengekspresikan pendapat. Namun hal penting yang perlu diperhatikan saat ini adalah pekerjaan menghadapi Covid-19. 

Soal sopan santun, banyak pihak menilai bahwa pernyataan Jokowi ini juga dianggap sebagai "lip service". Bagaimana tidak? Ke mana sopan santunnya saat unlawfull killing atau extrajudicial killing terhadap 6 anggota laskar EfPiAi? Saat penembakan aksi-aksi mahasiswa? Saat penangkapan peserta aksi 212? Saat penembakan aksi-aksi mahasiswa, buruh dan represi terhadap masyarakat sipil lainnya lainnya, seperti KAMI. Atau kasus-lama saat penangkapan aksi-aksi Bela Islam 212? Kemana kebijakan, sopan santun, presisi pada saat seorang ulama (H4eR5) ditangkap, ditahan dan dijadikan tahanan yang patut diduga dilakukan secara diskriminatif, tanpa adanya kepatuhan terhadap hukum acara dan Putusan MK serta penggunaan pasal yang menjerat dan berlapis-lapis? 

Terkait jaminan kebebasan berekspresi, layak dipertanyakan juga konsistensinya. Di saat melarang universitas menghalangi mahasiswa berekspresi, nyatanya pemanggilan terhadap pengurus BEM UI telah terjadi. Situasi reaksioner ini muncul diduga bukan tanpa sebab. Dugaannya, secara langsung maupun tidak, ada pengaruh politik di dalamnya. Pihak rektorat disalahkan, sementara tindakannya ditengarai berlatar belakang politik. Terlebih, kewenangan untuk menentukan eksistensi rektoe (memilih, mengangkat hingga memberhentikan) ada di tangan pemerintah, yakni khususnya dengan penggunaan hak suara di MWA (PTNBH) atau Senat (BLU) sebesar 35%. Atas fenomena ini, jadilah strategi komunikasi Jokowi dinilai banyak pihak bermain pada pernyataan ambigu dan terbuka untuk ditafsirkan. Inikah gaya kepemimpinan yang menjaga "tangan tetap bersih" sembari menimpakan "barang kotor" pada pihak lain? 


Dua Muka Hadapi Kritik Rakyat 

Diakui atau tidak, dampak dari beberapa kebijakan yang tidak merakyat yang diproduksi penguasa telah memicu penentangan sebagian masyarakat. Wajar jika kalangan mahasiswa sebagai agen perubah pun merasa resah dan menyuarakan curhat kritisnya. 

Namun, sering kali apa yang dilisankan oleh penguasa tak sesuai dengan tindakan. Di satu sisi menyatakan rindu didemo (dikritik), namun realitasnya, berbagai perangkat hukum telah disiapkan untuk memberangus kebebasan berpendapat. 

Lip service seperti ini menunjukkan muka duanya penguasa. Pun sekaligus menguak hipokrisi demokrasi, sebagai sistem politik tumbuh dan berkembangnya rezim. Demokrasi hipokrit melahirkan rezim hipokrit adalah keniscayaan tak terbantahkan. Jargon kedaulatan rakyat hanyalah utopia. Ide kebebasan dan HAM yang diagung-agungkan pun sekadar mimpi. Justru dengan ide kebebasan ala demokrasi inilah yang menjadi titik kritis untuk dimainkan pengembannya sesuka hati. Jadilah kebebasan berstandar ganda. Lahirlah penguasa suka-suka kami (SSK). Pun karakter rezim yang antikritik. Kebebasan terkesan hanya milik penguasa dan orang (kelompok) yang berada di lingkaran tahta, bukan bagi kaum oposan yang berdiri di seberang istana penguasa. 

Inilah wajah asli demokrasi dan rezim yang dibesarkannya. Sama-sama hipokrit. Buruknya karakter sistem dan sikap rezim ini –disadari atau tidak- telah mengantarkannya pada gerbang keterpurukan. Salah satu gejalanya nampak dari hasil survei Indikator Politik pada 1-3 Februari 2021. Di mana tingkat kepuasan publik terhadap presiden hanya 62,59 persen, turun sekitar 5 persen dari 2019. Bahkan merupakan titik terendah sejak 2016. Di survei yang sama, juga terungkap tingkat kepuasan publik terhadap kinerja demokrasi sebagai sistem pemerintahan hanya sebesar 53 persen. 

Jika ‘pengkhianatan’ terhadap hak-hak rakyat terus berlangsung, maka hakikatnya rezim dan demokrasi tengah bunuh diri yang pelan namun pasti akan mengantarkan pada kematiannya yang hakiki. Begitulah kerapuhan sistem hidup buatan manusia. Penuh kelemahan, keraguan dan ketidakjelasan dalam memberikan aturan. Jika telah terbukti keburukannya, akankah rezim dan sistem ini terus dibela dan dipertahankan? 

Menyikapi fenomena reaksi terhadap kritik mahasiswa terhadap kekuasaan, masyarakat kampus harus konsisten pada tugas utamanya. Sekali lagi saya katakan bahwa, tugas kampus adalah merohanikan ilmu pengetahuan. Rohani itu berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Akal inilah yang mendasari mengapa seorang ilmuwan harus berkarakter radikal. Narasi saya tentang radikal adalah: ramah terdidik berakal. Artinya "critical thinking" adalah cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim bahkan kalau perlu berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut. Itu baru bisa disebut kampus yang merohanikan ilmu. Bila tidak, sebenarnya kampus itu tidak ubahnya seperti "kepanjangan tangan" rezim. 

Seorang ilmuwan mesti mengutamakan akal dalam bersikap, berpendapat dan bertindak. Ilmu tanpa praktik hanya menjadi macan kertas. Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan. Sedang praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka tugas utama kampus adalah merohanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk ruhani. Dan, itulah kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading. 

Oleh karena itu, kampus itu harus:pertama. Menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan; kedua. Menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan; ketiga. Mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan. 

Akhirnya perlu perhatikan pula tentang multiflyer effect atas Kritik BEM UI kepada Presiden Jokowi. Peristiwa itu ternyata  berbuntut pada munculnya keberanian para mahasiswa untuk mengkritik dugaan penyimpangan atau inkonsistensi rezim. Sehari selang kritik BEM UI, ada fakta bahwa Firli Bahuri ditolak mahasiswa memberikan kuliah umum di Universitas Mataram, yang selama ini belum pernah terjadi selama KPK ada. Para mahasiswa menolak kuliah umum sembari membentangkan spanduk yang bertuliskan: "Firli Bahuri jangan cemari kampus kami." Yang menarik adalah pihak Universitas Mataram bukan merepresi para mahasiswa, namun  justru mengeluarkan surat edaran yang berisi pembatalan kuliah umum yang sebelumnya dijadwalkan bakal diisi oleh Firli Bahuri dan Wakil Ketua KPK. Kampus seharusnya berani untuk tetap menyuarakan kebenaran dan keadilan sebagaimana tugas utamanya untuk merohanikan ilmu pengetahuan. 

Kampus hendaknya tetaplah berkarakter radikal. Ramah, Terdidik dan Berakal. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berakhir pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut "micek", yakni membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial. Tabik! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Kota Semarang, Sabtu, 3 Juli 2021

Posting Komentar

0 Komentar