Dugaan Mengubah Statuta Universitas Demi 'Vested Interest': Inikah Tindakan Hukum yang Cacat Moral?

TintaSiyasi.com-- Heboh, bahkan Rektor UI menjadi trending topic di media sosial Indonesia. Pasca pemanggilan BEM UI oleh Rektor UI terkait dengan penyematan Presiden Jokowi sebagai King of Lip Service, publik terus dihebohkan dengan pemberitaan bahwa Rektor UI merangkap jabatan sebagai pejabat BUMN, yakni sebagai  Wakil Komisaris Utama BRI. Rangkap jabatan rektor itu termasuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Argumentasi hukumnya adalah, karena rangkap jabatan ini rentan terjadi conflict of interest seorang pejabat. Hegemoni kekuasaan akan terjadi sehingga meminggirkan tugas utamanya, bahkan demi kekuasaan yang lebih kuat, ia akan berpotensi bertindak melindunginya seraya melakukan tindakan represi dan anti kebenaran dan keadilan. 

Ada empat jenis pelanggaran hukum rangkap jabatan rektor UI, yaitu meliputi: 

Pertama. Pelanggaran STATUTA UI 

Pasal 35 huruf C Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia. Pasal 35 huruf C PP Statuta Universitas Indonesia menyebut bahwa: 

"Rektor UI dan Wakil Rektor UI dilarang merangkap jabatan sebagai petinggi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun perusahaan swasta."

Kedua. Pelanggaran UU BUMN 

Larangan rangkap jabatan juga tertuang dalam Pasal 33 UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang berbunyi: 

"Anggota Komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai:
a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau
b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." 

Ketiga. Pelanggaran UU Pelayanan Publik 

Aturan yang dilanggar bukan hanya PP tentang Statuta UI dan UU BUMN, melainkan juga Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 

Pasal 17 huruf a UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: 

"Pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah yang menegaskan pelaksana pelayanan publik dilarang rangkap jabatan baik sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha." 

UI termasuk kategori pelayanan publik. Ini tertuang dalam PP tentang statuta Pasal 3 huruf (f) tentang tujuan UI. 

Keempat. Pelanggaran Kode Etik Kebebasan Akademik 

Rangkap jabatan Rektor UI juga melanggar Kode Etik Civitas Akademika UI yang tertuang dalam SK DGB UI No. 001/SK/DGB-UI/2014 yang kemudian diterjemahkan ke dalam Indikator melalui SK Rektor No. 2719/2018 terkait dengan Nilai ke-5, yakni tentang tanggung jawab. Para civitas akademika harus bertanggung jawab atas tugas, fungsi dan jabatannya dan menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest) yang dapat merugikan kepentingan UI dan warga UI lainnya. 

Merujuk ke UU, PP Statuta UI hingga Kode Etik tersebut di atas maka rangkap jabatan rektor UI sebagai Wakil Komisaris Utama di BUMN (Bank BRI) jelas melanggar hukum dan moral. 

Yang patut disayangkan adalah seolah ada semacam pembiaran, tidak ada respons cepat organ kampus yang seharusnya dapat memberikan sanksi atas tindakan rektor merangkap jabatan. Organ itu adalah Majelis Wali Amanat (MWA).
Berdasarkan pemberitaan yang beredar di dunia maya, rangkap jabatan yang dilakukan oleh Ari Kuncoro sebenarnya sudah menjadi perhatian MWA sejak tahun lalu (2020). Namun, Forum MWA UI yang anggotanya terdiri dari perwakilan menteri, senat, karyawan, dan mahasiswa itu tidak kunjung memberikan teguran atau sanksi tegas kepada Ari Kuncoro. 

Rangkap jabatan Ari Kuncoro sebagai wakil komisaris di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkuak ke publik setelah pihak rektorat memanggil pengurus BEM UI. Panggilan dilakukan imbas dari kritik BEM UI terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi The King of Lip Service. Jika tidak ada kasus kritik BEM UI ini, sangat mungkin pelanggaran hukum berupa rangkap jabatan ini tidak terbongkar. 

Lalu apa akibat hukum adanya pelanggaran rangkap jabatan Rektor UI ini? Ada tiga kemungkinan akibat hukumnya, yaitu: 

Pertama. MWA segera mengadilinya dan memberikan "sanksi" pelanggaran statuta (tidak ada). Sanksi Disiplin Pegawai, PP 53 Tahun 2010. Jika melihat akibat pelanggaran hukum rangkap jabatan tersebut tidak hanya bersifat lokal UI, melainkan nasional, maka sanksi yang dapat diterapkan adalah sanksi disiplin berat berupa pemberhentian jabatan, baik rektor atau pun wakomut BRI. 

Kedua. Dapat menjadi alasan untuk memberhentikan yang bersangkutan sebagai rektor jika memilih Wakomut (melalui MWA), atau sebagai Wakomut jika memilih sebagai rektor (melalui Menteri BUMN). 

Apa yang dilakukan Ari merupakan sebuah contoh perilaku cacat moral. Sebagai pertanggung-jawaban publik dan cacat moral, mestinya dia mundur dari jabatan rektor. 

Ketiga. Ombudsman dapat merekomendasikan kepada pihak terkait utk memberhentikan yang bersangkutan dari salah satu jabatan Ari Kuncoro karena terjadi maladministrasi. 

Respons Jokowi atas kritik terhadap rangkap jabatan Rektor UI yang terang-terangan cacat hukum mencengangkan. Alih-alih memberikan sanksi kepada Rektor UI, Presiden Jokowi justru mengubah PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI yang pada prinsipnya melarang Rektor UI merangkap jabatan sebagai pejabat BUMN dengan PP No. 75 Tahun 2021 tentang Perubahan Statuta UI 2013 yang pada prinsipnya mengizinkan Rektor UI merangkap jabatan pada BUMN, selain sebagai DIREKSI. Sehingga jika Rektor UI menjabat pula sebagai komisaris atau wakil komisaris bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum atas Statuta UI. 

Atas respons Presiden Joko Widodo dengan PP 75 Tahun 2021, saya merasa prihatin atas pembuatan dan penegakan hukum di negeri ini. Patut diduga Presiden telah sengaja mengubah secara paksa (bifurkasi) prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945) menjadi negara kekuasaan. Dalam negara kekuasaan, hukum hanya dipakai oleh pemerintah untuk menjadi alat legitimasi status quonya yang oleh Brian Z. Tamanaha (On The Rule of Law 2012) disebut sebagai The Thinnest Rule of Law. Istilah sadisnya adalah kekuasaan pemerintah dijalankan secara otoriter.
Perilaku pejabat pemerintah negara yang suka mengubah hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) oleh Levitsky dan Ziblatt (How Democracies Die: 2018) sebagai karakter pemerintahan negara yang otoriter dan akan membunuh demokrasi itu sendiri (suicide). Levitsky dan Ziblatt menyebut perilaku otoriter itu dengan kalimat "rejection of (or weak commitment to) democratic rules of the game" dengan menanyakan satu indikator "do they reject the constitution or express a willingness to violate it?" Perilaku otoriter ini dilakukan dengan cara suka mengubah-ubah peraturan yang dinilai tidak menguntungkan rezim kekuasaan sekarang tanpa pertimbangan aspek kebenaran dan keadilan. Jika perilaku ini diteruskan, maka tidak potensi matinya demokrasi sangat besar sekali. 

Lebih parah lagi, perilaku yang suka mengubah peraturan demi kepentingan diri atau kelompoknya apalagi disertai pemberlakuan aturan baru itu secara retroaktif, maka perilaku tersebut jelas bisa disebut sebagai perilaku tidak bermoral dalam pembentukan dan penegakan hukum.  Adalah  Lon L Fuller (Cavendish Law Card: 1997) yang memperkenalkan tentang moralitas hukum dengan memerinci ada 8 prinsip moralitas prosedural dalam legislasi, yaitu: 

(1) There must be rules;
(2) The rules must be prospective and not retrospective;
(3) The rules must be published;
(4) The rules must be intelligible;
(5) The rules must not be contradictory;
(6) Compliance with the rules must be possible;
(7) The rules must not be constantly changing; and
(8) There must be a congruency between the rules as declared and published and the actions of officials respinsible for the application and enforcement of such rules. 

Oleh Lon L Fuller, ketika suatu aturan baru yang dikeluarkan tidak memenuhi 8 prinsip itu, maka peraturan hukum itu dikatakan tidak bermoral. Apakah PP 75 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas PP No. 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI itu bermoral? Jika kita perhatikan maka, PP ini tidak menenuhi prinsip ke-2 jika PP diberlakukan secara retrospektof atau retroaktif, artinya PP ini melegalkan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Rektor UI yang merangkap jabatan sebagai wakil Komisaris Utama BRI bahkan melanjutkan pelegalan tersebut. PP ini juga dapat dinilai tidak memenuhi prinsip moralitas hukum yang ke-7, yakni seharusnya peraturan tidak mudah diubah sesuai dengan kemauan penguasa karena akan menimbulkan ketidakpastian. Ternyata PP Statuta UI yang lama mudah diubah hanya untuk kepentingan sesaat dan vested interest. Tidak ada legal reasoning yang menjadi dasar hukum perubahannya bahkan semakin menunjukkan tidak terpenuhinya prinsip ke-8 yakni adanya inkonsistensi antara aturan baik bermoral dengan aplikasi atau perilaku  penegakan aturannya. 

Atas pelanggaran ini, semestinya Rektor UI bukan saja dapat dituntut mundur dan diberikan sanksi disiplin pegawai sesuai dengan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS melainkan juga harus mengembalikan seluruh fasilitas keuangan yang diterima selama merangkap jabatan bahkan dapat ditelisik apakah Rektor UI juga telah melakukan tindak pidana korupsi karena perangkapan jabatan illegal sehingga berpotensi merugikan keuangan negara. 

Oleh karena itu,  kiranya layak bahwa PP 75 Tahun 2021 dinilai sebagai peraturan hukum yang tidak bermoral dan seharusnya dibatalkan oleh MA atau dicabut sendiri oleh Presiden Joko Widodo dengan prinsip contrarius actus. Sebagai religious nation state, bangsa ini harus kembali pada dalil "No law without moral, and no moral without religion". Tabik.! []


Oleh: prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Kota Semarang, Rabu, 21 Juli 2021
Masa PPKM Level 4

Posting Komentar

0 Komentar