Tetap Takwa



TintaSiyasi.com-- Ramadhan memang telah berakhir. Puasanya juga telah lewat. Namun, sejatinya puasa Ramadhan membekas dalam jiwa setiap Muslim. Meninggalkan takwa dalam dirinya. Takwa yang sebenar-benarnya. Sebabnya, itulah hikmah dari pelaksanaan kewajiban puasa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Takwa sejatinya simbol kecerdasan seorang Muslim. Sebaliknya, banyak berbuat dosa adalah simbol kebodohannya. Demikian sebagaimana kata Abu Bakar ash-Shiddiq ra., “Ketahuilah bahwa cerdas yang paling cerdas adalah takwa. Bodoh yang paling bodoh adalah melakukan banyak dosa.” (Ibn Sa'ad, Thabaqat al-Kubra, 3/182).

Di antara tanda orang bertakwa adalah sebagai berikut:

Pertama, makin zuhud terhadap dunia. Saat dia mempraktikkan hidup zuhud, hatinya akan makin tenang. Demikian sebagaimana kata Imam al-Hasan al-Bashri rahimahulLah, “Zuhud itu menenangkan kalbu dan badan. Sungguh, Allah SWT pasti menanyai kita tentang perkara halal yang kita nikmati. Lalu bagaimana dengan perkara haram yang kita nikmati?” (Dikutip oleh Abu Bakr al-Baihaqi, Kitâb az-Zuhd al-Kabîr, 1/68).

Pertanyaannya: Apa itu zuhud? Imam Hanbali rahimahulLah berkata, “Zuhud itu ada tiga jenis. Pertama: Meninggalkan keharaman. Ini adalah zuhud orang awam. Kedua: Meninggalkan perkara mubah/halal yang tak bermanfaat. Ini adalah zuhud orang istimewa. Ketiga: Meninggalkan segala perkara yang menyibukkan dari upaya mengingat Allah SWT. Ini adalah zuhud orang arif (yang makrifat kepada Allah SWT, pen.).” (Ibnu al-Qayyim, Madârik as-Sâlikîn,_ II/14).

Kedua, senantiasa bersemangat untuk bersaing dengan orang lain dalam perkara akhirat. Bukan dalam perkara dunia. Ini sebagaimana juga kata Imam Hasan al-Bashri rahimahulLah, "Jika engkau menyaksikan orang-orang berlomba/bersaing dalam urusan dunia, maka berlombalah/bersainglah dengan mereka dalam urusan akhirat. Sebabnya, dunia mereka itu bakal pergi, sementara akhirat itu kekal abadi.”(Imam Ahmad, Az-Zuhd, hlm. 1634).

Berlomba atau bersaing dengan orang lain dalam meraih dunia (harta, jabatan, kekuasaan dll) tentu boleh-boleh saja selama halal dan ditempuh dengan cara-cara yang juga halal. Namun demikian, seorang Mukmin yang cerdas (alias yang bertakwa) akan jauh lebih antusias dan bersemangat bersaing dengan orang lain dalam memperbanyak amal shalih untuk bekal di kehidupan akhirat. Sebabnya, dunia—sebanyak apapun bisa diraih—akan ditinggalkan atau meninggalkan manusia. Sebaliknya, amal shalih, itulah satu-satunya yang akan dibawa dan bermanfaat bagi manusia saat dia menghadap Allah SWT di akhirat nanti.

Ketiga, tetap istiqamah dalam beribadah kepada Allah SWT. Seorang yang bertakwa, misalnya, tak hanya rajin dan ber-mujahadah pada saat Ramadhan saja. Apalagi hanya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan karena berharap keutamaan Lailatul Qadar. Sebaliknya, ia akan terus istiqamah beribadah dan ber-mujahadah meski di luar Ramadhan, sepanjang tahun. Terkait ini, seorang ulama berkata, “Bagi seorang arif (orang yang mengenal Allah SWT), setiap malam kedudukannya sama dengan Lailatul Qadar.” (Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb, 1/119).

Maknanya, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abu al-'Abbas rahimahulLah, “Seluruh waktu kami adalah Lailatul Qadar. Artinya, ibadah kami setiap waktu senantiasa berlipat ganda.” (Abul Abbas, Iqâzh al-Himam Syarh Matan al-Hikam, 1/62).

Lailatul Qadar memang malam istimewa. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun demikian, seluruh malam, bagi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, adalah juga istimewa. Bagaimana tidak? Setiap malam, sebagaimana sabda Rasulullah saw., Allah SWT, Pemilik jagat raya ini, "turun" ke bumi untuk mengampuni orang-orang yang memohon ampunan kepada-Nya dan mengabulkan doa-doa siapa saja yang berdoa kepada-Nya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itulah, shalat malam sesungguhnya merupakan salah satu tradisi generasi salafush-shalih yang biasa mereka lakukan setiap malam. Mereka senantiasa melipatgandakan ibadah mereka setiap malam. 

Keempat, semakin besar rasa takutnya kepada Allah SWT. Inilah orang yang paham agama (faqih) yang sebenarnya. Sebabnya, sebagaimana kata Mujahid bin Jabar rahimahulLah, “Orang faqih (ahli agama) yang sebenarnya adalah yang senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah SWT meski ilmunya sedikit. Orang bodoh yang sebenarnya adalah yang banyak bermaksiat kepada Allah SWT meski ilmunya banyak.(Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, 9/255).

Menjadi orang faqih (menguasai banyak ilmu agama Islam) tentu amat penting. Sebab, itulah tanda kebaikan yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya.

Namun, standar kefaqihan seseorang bukanlah semata-mata penguasaannya atas ilmu-ilmu agama, tetapi yang paling penting adalah rasa takutnya yang besar kepada Allah SWT. Bukti rasa takutnya yang besar kepada Allah SWT adalah dengan selalu berusaha taat kepada-Nya dan tidak banyak bermaksiat kepada-Nya.

Kelima, tidak menunda-nunda untuk melakukan amal shalih. Sebabnya, orang yang bertakwa sadar, bahwa menunda-nunda untuk melakukan amal shalih datang dari setan. Dalam hal ini Sufyan ats-Syauri rahimahulLah pernah berkata, “Jika engkau berkeinginan untuk bersedekah, atau melakukan suatu kebajikan, atau beramal shalih maka segerakanlah untuk ditunaikan pada waktunya sebelum engkau dipisahkan dengan keinginan tersebut oleh setan." (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliya', 7/62).

Keenam, makin peduli terhadap urusan Islam dan kaum Muslim. Sebabnya, dia sangat memahami Hadis Nabi saw. yang menyatakan, “Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, dia tidak termasuk golongan mereka.” (HR ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Awsath, 7/270; Al-Mundziri, At-Targhib wa at-Tarhib, 3/35).

Karena itu penting kita meneladani generasi salafush-shalih yang begitu tinggi kepeduliannya terhadap Islam dan kaum Muslim. Salah satunya Imam al-Muhasibi rahimahulLah. Kepeduliannya yang tinggi terhadap Islam dan kaum Muslim tercermin antara lain dalam kata-katanya, “Demi Allah. Andai waktu bisa dibeli dengan uang, aku akan membelanjakan semua hartaku—tanpa merasa rugi—untuk membeli waktu agar aku bisa lebih leluasa melayani Islam dan kaum Muslim." (Ali bin Nayf asy-Syuhud, Al-Waqt wa Ahammiayatuhu fi Hayah al-Muslimin, 1/160).

Semoga semua poin di atas ada pada diri kita sehingga kita layak menyandang gelar muttaqin.

Wa ma tawfiqi illa bilLah.[]

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

Posting Komentar

0 Komentar