Propaganda Khilafah sebagai Ideologi Transnasional Radikal: Inikah Strategi Pembunuhan Karakter terhadap Ajaran Islam dan Pendakwahnya?



TintaSiyasi.com-- Lagu lama diputar kembali. Saat memimpin upacara peringatan Hari Lahir Pancasila 2021, Selasa (1/6/2021), Presiden Jokowi mewanti-wanti semua pihak agar mewaspadai meningkatnya ideologi transnasional radikal. Menurutnya, dengan kemudahan konektivitas 5G, para ideolog transnasional radikal merambah ke seluruh pelosok negeri, seluruh kalangan dan usia, tidak mengenal lokasi dan waktu. Pun kecepatan ekspansinya melampaui standar normal. Untuk menghadapinya, ia meminta seluruh rakyat untuk memperkokoh nilai-nilai Pancasila (detik.com, 2/6/2021).  

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, menangkap pesan penting di balik wanti-wanti presiden tersebut. Menurut Donny, pesan terangnya: radikalisme no, moderasi yes! Ia mengingatkan, bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai ideologi tengah, moderat dan prokebangsaan. Sementara ideologi transnasional radikal berpotensi memecah-belah bangsa dan membuat ‘Indonesia' berumur pendek. Selain itu, ia menyebut ideologi tersebut menghalalkan kekerasan dan menyebarkan ketakutan, salah satu contohnya ideologi khilafah yang dianut kelompok HTI (detik.com, 1/6/2021).

Senada dengan Donny, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan bahwa ideologi transnasional yang dimaksud Jokowi adalah "ideologi yang anti kebangsaan/nasionalisme.” Saat diminta mencontohkan ideologi transnasional, ia memberi satu contoh yakni HTI atau Hizbut Tahrir Indonesia (CNNIndonesia, 1/6/2021).

Ideologi transnasional, radikalisme dan pemecah-belah, seolah menjadi trilogi isu seksih yang senantiasa didengungkan rezim. Menjadikan antiradikalisme sebagai core of the core program kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama, terlebih kejar tayang Tahun Moderasi 2022, diduga membuat rezim gencar melancarkan berbagai narasi dan strategi. 

Tak salah jika narasi tendensius ini ditengarai sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap khilafah dan pejuangnya. Bagaimana tidak? Khilafah sebagai ajaran Islam disifati dengan beberapa karakter hina seperti menyepakati kekerasan, menebar ketakutan dan memecah-belah. Pun pejuangnya dinisbatkan sebagai sosok radikal nan menyeramkan.


Bantahan terhadap Tuduhan Khilafah sebagai Ideologi Transnasional Radikal dan Pemecah-belah

Merespons pernyataan presiden tentang ideologi transnasional, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun menduga Jokowi asal bicara (tidak menggunakan data, tidak detil maksudnya, keliru menyebutkan contoh) mengenai ideologi transnasional. Pasalnya, pemerintah saat ini sebenarnya juga tengah menjalankan praktik ideologi transnasional.

Ubed menjelaskan, transnasional merupakan ideologi yang menyebar dan dianut oleh warga di banyak negara. Biasanya, ideologi transnasional sangat terbuka untuk diperdebatkan, karena memiliki indikator dan metodologi jelas. Menurutnya, ideologi ini turut memengaruhi sistem ekonomi dan sistem politik suatu negara. Ia menyebut, Jokowi telah menganut salah satu ideologi transnasional melalui kebijakan ekonomi yang berbasis pada liberalisme, neoliberalisme. Contohnya adalah kebijakan yang menghilangkan subsidi BBM dan subsidi pendidikan (CNNIndonesia, 1/6/2021).

Transnasional adalah kosakata yang belakangan kian populer dan diperbincangkan serius. Tak hanya di Indonesia, juga di belahan dunia lain. Secara literal, kata berbahasa Inggris ini berarti lintas nasional atau lintas kebangsaan. Istilah ini identik dengan istilah lain yang populer lebih awal, yakni globalisasi. Secara literal, mestinya istilah ini bermakna netral. Namun faktanya, saat diksi transnasional disematkan terhadap ideologi (Islam), dinilai maknanya menjadi tendensius dan cenderung negatif.

Sebagian kalangan memaknai ideologi transnasional sebagai istilah bagi gerakan politik internasional yang berusaha mengubah tatanan dunia berdasarkan ideologi keagamaan fundamentalistik, radikal dan sangat puritan. Mereka menyebut ideologi ini ingin mendirikan sebuah tatanan dunia baru yang berdasar kekuasaan atas nama Tuhan, bersikap eksklusif, menolak kekuasaan manusia dan menentang negara bangsa (nation state). 

Untuk mewujudkan impian tersebut, menurutnya, ideologi tersebut mengembangkan berbagai cara, termasuk memaksakan kehendak melalui tindakan kekerasan, represi, teror, seraya mengingkari, menafikan keyakinan orang lain dan mengkafirkan selain mereka, baik dari kalangan umat agama lain maupun internal Islam yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. Pun gerakan politik transnasional tak ragu-ragu melakukan klaim kebenaran sepihak atas nama agama atau Tuhan.

Jika ditelisik, stigmatisasi khilafah sebagai ideologi transnasional radikal seperti pendapat di atas, tak sesuai fakta dan hakikat ajaran Islam. Berikut ini realitas Islam, khilafah sebagai salah satu ajarannya dan HTI sebagai kelompok yang konsisten memperjuangkan
 khilafah. Ini sekaligus untuk membantah narasi sesat tentang khilafah.

Pertama, khilafah bukanlah ideologi, melainkan ajaran Islam di bidang pemerintahan. Dalam pembahasan fiqih siyasi, sistem pemerintahan dalam Islam disebut khilafah. Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah keliru dan mengaburkan makna sebenarnya. Adapun yang tepat disebut ideologi adalah Islam itu sendiri. 

Kedua, Islam ideologi berkarakter transnasional, karena diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil alamin. Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutus Engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Agar Islam mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam, menjadi keniscayaan untuk didakwahkan dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, melewati batas/sekat bangsa-bangsa. Demikian pula, eksistensi khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan transnasional. Menyampaikan khilafah sebagai ideologi transnasional yang berkonotasi negatif, berakibat menyisakan citra buruk terhadapnya.

Ketiga, Islam dan khilafah bukan radikalisme. Islam tidak mengajarkan penganutnya melakukan tindak kekerasan, meskipun dengan alasan demi dakwah atau perjuangan. Cukuplah Rasulullah SAW menjadi teladan dalam tahapan dan strategi dakwah. Dakwah Rasulullah hingga berhasil mendirikan masyarakat Islam di Madinah (sebagai cikal bakal kekhilafahan Islam), bersifat: fikriyah (pemikiran), laa madiyah (tanpa kekerasan) dan politis (meraih kekuasaan demi pengaturan umat dengan penerapan hukum Allah). 

Penyematan radikalisme terhadap Islam (khilafah) dinilai merupakan wujud fobia Islam dan strategi musuh Islam untuk memecah-belah kekuatan kaum Muslimin. Serta menimbulkan ketakutan, tak hanya dari pihak luar, bahkan umat Islam sendiri terhadap ajaran agamanya sendiri. Hingga saat ini, nomenklatur hukum radikalisme lentur dan kabur. Yang nampak, radikalisme adalah nomenklatur politik sebagai alat gebuk penguasa terhadap ajaran dan atau kelompok yang berseberangan.  

Keempat, khilafah bukan pemecah-belah. Kebohongan besar menyatakan khilafah sebagai pemecah-belah bangsa. Hakikat khilafah di antaranya adalah persatuan dan ukhuwah. Ia merupakan kepemimpinan umum kaum Muslimin di seluruh dunia. Justru pasca runtuhnya khilafah pada 1924, kaum Muslim terpecah-belah dalam lima puluhan negeri yang tersekat oleh batas-batas imajiner kebangsaan dan tidak peduli satu sama lain.

Kelima, HTI bukan kelompok pejuang radikal dan penyebar ketakutan. Menyematkan stigma radikal pada pejuang khilafah (HTI) merupakan bentuk bualan. Realitasnya, HTI tidak pernah melakukan aksi kekerasan. Bahkan saat  beberapa agenda publik dan kajian dibubarkan serta aktivisnya dipersekusi, namun tak pernah dihadapi/dibalas dengan tindak kekerasan. Pun ketika Badan Hukum Perkumpulan HTI dicabut alias dibubarkan, tak ada satu pun aktivitas kekerasan dilakukan sebagai bentuk luapan kekecewaan. Sebelumnya, dalam beberapa agenda masiroh (demo) yang melibatkan ribuan peserta, juga senantiasa berjalan aman dan damai. Bahkan di beberapa kota meraih penghargaan peserta demo dan konvoi pengendara paling tertib. 

Demikianlah realitas Islam, khilafah dan kelompok pendakwahnya. Dengan karakter kemuliaan yang dimiliki, nampak jelas khilafah bukan ajaran radikal. Sebaliknya, yang menjadi ancaman nyata dan sumber malapetaka di negeri ini diduga kuat justru ideologi transnasional radikal kapitalisme liberalistik. Ajaran impor dari Barat ini memiliki cacat bawaan: tidak sesuai fitrah, tidak memuaskan akal dan menenteramkan hati. 

Akibatnya telah kita saksikan dan rasakan, yaitu kerusakan di seluruh lini kehidupan negeri ini. Jadi, siapakah mereka sesungguhnya? Yang menuduh khilafah sebagai ideologi transnasional radikal, sementara di saat yang sama, mereka menerapkan ideologi transnasional kapitalisme liberalistik yang terbukti rusak dan merusak. 

Pembunuhan Karakter terhadap Khilafah dan Pendakwahnya, Cara Mempertahankan Hegemoni Kapitalisme Liberalistik

Pembunuhan karakter atau perusakan reputasi adalah usaha untuk mencoreng reputasi seseorang. Tindakan ini dapat meliputi pernyataan yang melebih-lebihkan atau manipulasi fakta untuk memberikan citra yang tidak benar tentang orang yang dituju. Pembunuhan karakter merupakan suatu bentuk pencemaran nama baik dan dapat berupa argumen ad hominem. Istilah ini sering digunakan pada peristiwa saat massa atau media massa melakukan pengadilan massa atau pengadilan media massa di mana seseorang diberitakan telah melakukan kejahatan atau pelanggaran norma sosial tanpa melakukan konfirmasi dan bersifat tendensius untuk memojokkan orang itu (wikipedia.org).

Mendalami pola tuduhan yang selama ini ditujukan terhadap khilafah dan pejuangnya, diduga kuat hal itu sebagai bentuk pembunuhan karakter. Yaitu merusak kemuliaan khilafah sebagai ajaran Islam serta menghancurkan reputasi individu/kelompok pejuangmya. Fakta khilafah dimanipulasi, dikaburkan, hingga dikuburkan. Tujuannya tentu agar menimbulkan kesan buruk sehingga masyarakat membenci dan menjauhinya. 

Sebagaimana narasi sejenis, narasi khilafah sebagai ideologi transnasional radikal diduga kuat sebagai bagian dari agenda War on Radicalism. Menelisik keberadaannya, War on Radicalism tidak bisa dilepaskan dari agenda War on Terorism. Proyek ini digulirkan setelah kegagalan Barat menghadang kebangkitan Islam politik dengan isu terorisme. 

Namun Barat terus melakukan pendekatan politis untuk membangun narasi dan interpretasi sesuai tujuan ideologinya. Ia sangat paham bahwa umat Islam memiliki kekuatan politik berupa sistem pemerintahan khilafah yang telah menyatukan umat Islam sedunia dan berpotensi menjadi negara adidaya masa depan. Pun Barat paham jika khilafah tegak, maka peradaban Barat akan hancur lebur.

Dari sinilah, skenario demi skenario direkayasa Barat demi melumpuhkan kebangkitan Islam yang kian kuat. Selanjutnya, Barat mencoba berkonspirasi dengan negara-negara yang mau membebek padanya. Dengan mengucurkan dana besar, negeri-negeri Muslim yang mau dibodohi menerima proyek deradikalisasi Islam. 

Deradikalisasi Islam oleh Barat dimaknai sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari agamanya. Barat menjalankan strategi pembunuhan karakter dengan menyematkan kata radikal kepada Islam dan  Muslimin yang berseberangan dengan ideologinya. Masifnya moderasi beragama saat ini juga diduga kuat sebagai bagian dari program antiradikalisme.

Selain itu, stigmatisasi HTI sebagai kelompok penganut “ideologi khilafah” yang menghalalkan kekerasan dan menyebarkan ketakutan diduga merupakan rentetan dari skenario global tersebut. Terlebih HTI –meski rezim telah membubarkannya beberapa tahun lalu—namun masih konsisten memperjuangkan khilafah. Para pejuangnya tak lelah menyuarakan kebenaran. Senantiasa mengkritik sistem kufur sekularisme kapitalistik sekaligus rezim anti-Islam yang  menyengsarakan rakyat. Konsistensi inilah yang dinilai menakutkan bagi kelompok fobia Islam dan kalangan yang mengkhawatirkan kekuasaannya hilang. 

Sebagaimana Fir’aun, kaum kuffar Barat dan pendukungnya terus menjual ketakutan kepada masyarakat dunia akan bahaya radikalisme Islam hingga saat ini. Meskipun tak laku keras di pasaran, narasi radikalisme terus dijajakan. Ibarat jajanan basi, yang terus direproduksi lalu digoreng ulang dan dijajakan lagi. Maka, kita mengenal berbagai strategi dan narasi  terkaitnya. Seperti wacana Islam Nusantara, Islam Wasathiyah, program moderasi Islam, Perpres RAN PE, larangan pendakwah dari organisasi yang distigma terlarang untuk tampil di lembaga penyiaran, hingga tudingan ideologi transnasional radikal.

Demikiankah, propaganda khilafah sebagai ideologi transnasional radikal dan pemecah-belah diduga kuat tak lebih sebagai pembunuhan karakter terhadap ajaran agama Islam dan pejuangnya. Hal ini dilakukan untuk menghadang kebangkitan Islam yang berpotensi meruntuhkan hegemoni kapitalisme liberalistik.

Strategi Umat Islam Menghadapi Pembunuhan Karakter terhadap Khilafah sebagai Ajaran Islam dan Pendakwahnya

Dampak pembunuhan karakter terhadap khilafah ialah kian jauhnya Islam kafah dari kaum Muslimin. Selain itu, kelompok yang memperjuangkannya berpotensi sulit memperoleh dukungan umat. Efek terburuk ialah umat Islam dijangkiti fobia Islam, yakni kelainan psikologi terhadap Islam. Mereka mengalami halusinasi, ketakutan yang berlebihan kepada Islam yang justru agama paling damai di dunia. Takut pada khilafah yang justru menjadi solusi hakiki bagi problematika umat saat ini. 

Begitu masifnya upaya pembunuhan karakter ini, seharusnya tak membuat umat Islam berdiam diri. Berikut strategi menghadapinya:

Pertama, umat Islam tidak boleh takut menunjukkan jati dirinya. Isyhadu bi anna Muslimun. Sebagai dorongan dari keyakinan akidah terhadap Islam kafah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Termasuk menunjukkan khilafah sebagai ajaran Islam dan berposisi penting sebagai taajul furudh (mahkota kewajiban). Tidak boleh ada keraguan menegakkannya, walau ada celaan dari orang-orang munafik dan jahil.

Kedua, umat Islam harus dapat menunjukkan bahwa khilafah sebagai ideologi transnasional radikal adalah narasi sesat dan menyesatkan. Ini adalah sebuah kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Di sinilah fungsi penting dakwah Islam secara kafah. Islam adalah rahmatan lil alamin. Tidak ada sedikit pun dari Islam yang merupakan wahyu Allah SWT, akan membuat manusia dalam kesengsaraan dan kebinasaan. Justru pemahaman yang keliru terhadap Islamlah yang akan menjauhkan Islam dari sifat rahmat nya.

Ketiga, umat Islam harus memahami bahwa pembunuhan karakter ini merupakan upaya  musuh Islam untuk menjauhkan Islam dari kesejatiannya, yaitu Islam kafah.  Dakwah mesti disertai upaya kasyful khuththath (menyingkap makar di balik sesuatu). Umat Islam juga harus mengetahui bahwa di balik masifnya program anti radikalisme dan variannya, terdapat makar jahat  (hidden agenda) yang dilakukan oleh negara-negara Barat dengan perpanjangan tangan dari kalangan umat Islam sendiri. Sehingga umat Islam tidak terlibat dalam upaya pecah-belah diri sendiri. 

Keempat, menumbuhkan kesadaran akan musuh bersama (common enemy). Kesalahan menetapkan musuh akan menyebabkan kesalahan dalam bersikap. Perlu penegasan bahwa musuh utama umat Islam adalah ideologi transnasional radikal kapitalisme liberalistik berikut ide turunannya maupun sosialisme komunis. Bukan sesama umat Islam meski berbeda kelompok/organisasi.  

Kelima, mengoptimalkan penggunaan seluruh media milik umat Islam untuk membendung opini buruk yang membunuh karakter Islam dan pejuangnya. Individu maupun komunitas Muslim sebagai pemilik maupun pengelola media hendaknya bervisi dakwah dan menjadikan medianya sebagai sarana amar makruf nahi mungkar. Terlebih di masa pandemi saat ini, berdakwah lewat media menjadi “keharusan.”

Keenam, melakukan sinergi dengan berbagai komponen umat Islam: tokoh Islam, aktivis gerakan Islam, ulama, ustaz, penggerak majelis taklim, dan seterusnya, untuk menolak narasi dan program  yang mengarah pada pembunuhan karakter ajaran Islam dan pejuangnya. Pun mendorong untuk menyampaikan juga pada jejaring, massa atau pengikutnya. 

Demikian strategi umat Islam menghadapi pembunuhan karakter terhadap khilafah sebagai ajaran Islam dan pejuangnya. Strategi dijalankan dengan konsepsi dan arah perubahan yang jelas, terarah dan terukur. Tetap dalam kerangka upaya melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan penerapan syariat Islam melalui penegakan institusi khilafah islamiyah. Hanya dengan perubahan demikian, kejayaan dan kebangkitan Islam akan kembali tegak. Pun akan hadir lagi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.[]

Oleh: Puspita Satyawati
Redaktur Topswara.com, Analis Politik Islam, dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Pustaka
H. Budi Mulyana, S.I.P., M.Si.: Radikalisme: Proyek Barat Setelah Terorisme, al-wa'ie, 17/8/2019

Posting Komentar

0 Komentar