Hukum Meminjamkan Uang dengan Syarat Infak dan Bea Administrasi


Tanya:

Ustaz, apa hukumnya meminjamkan uang dengan syarat ada infak wajib atas pihak peminjam atau ada biaya administasi seperti yang ada di BMT saat ini?

 
Jawab:

Jika pihak pemberi pinjaman (baik individu maupun lembaga keuangan syariah) memberikan pinjaman uang dengan mensyaratkan adanya infak kepadanya dari pihak peminjam, hukumnya haram. Sebab infaq yang disyaratkan itu hakikatnya adalah tambahan (ziyadah) dari pinjaman (qardh). Ini jelas riba yang telah diharamkan dalam Islam.

Para fuqaha dalam masalah ini sepakat dalam akad qardh (pinjaman) haram hukumnya pihak pemberi pinjaman (muqridh) mensyaratkan dari pihak peminjam (muqtaridh) adanya manfaat atau tambahan, baik tambahan jumlah/kuantitas (al ziyadah fi al qadar) maupun tambahan kualitas (al ziyadah fi al shifah). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 33/130; Sa’duddin Al Kibbi, Al Mu’amalat Al Maliyah Al Mu’ashirah, hlm. 227; M. Nur bin Abdul Hafiizh Suwaid, Fiqhul Qardh, hlm. 37-38).

Imam Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika pihak pemberi pinjaman (muslif) mensyaratkan sepersepuluh dari pinjaman sebagai tambahan atau hadiah, lalu dia meminjamkan dengan syarat tersebut, maka tambahan yang diambilnya adalah riba.” (Ibnul Mundzir, Al Ijma’, hlm. 55).  

Imam Ibnu Abdil Bar berkata, ”Setiap tambahan berupa benda (‘ain) ataupun manfaat yang disyaratkan oleh pihak pemberi pinjaman (muslif) kepada pihak peminjam (mustaslif), adalah riba. Tak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 6/156).  

Dalil keharamannya adalah dalil umum yang mengharamkan riba, yaitu firman Allah SWT (yang artinya):

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

”Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah [2] : 275). Imam Ibnu Nujaim dalam kitabnya An Nahrul Fa`iq (3/469) berkata,”Arti ayat ini, Allah telah mengharamkan tambahan atas jumlah yang diberikan pada pinjaman (qardh).” (Lihat Ahmad Hasan, Al Qardh Alladzy Jarra Manfa’ah, hlm. 421).

Selain dalil Al-Qur'an, ada dalil khusus berupa hadits Nabi SAW:

كُلُّ قَرْضِ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

”Setiap pinjaman yang menarik manfaat maka ia adalah riba.” (kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa riba). (Ibnu Hajar Asqalani, Al Mathalib Al ‘Aliyah, 3/413, no 3912; Al Talkhis Al Habir, 3/90, no 1227).

Menurut sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Hajar Asqalani dan Imam Syaukani, hadits ini lemah (dhaif), karena dalam sanadnya ada periwayat bernama Suwaar bin Mush’ab yang dinilai matruk (ditinggalkan haditsnya). Namun yang lebih tepat, hadits itu shahih atau hasan, sebagaimana pendapat sebagian ulama lainnya seperti Imam Haramain, Imam Ghazali, Imam Suyuthi, Imam Tahanawi, dan Imam Shan’ani. Alasannya, hadits itu telah diterima umat dan dijadikan dalil oleh umumnya para fuqaha dan imam mujtahidin. (Imam Tahanawi, I’la`us Sunan, 14/614).

Walhasil, memberikan pinjaman uang dengan mensyaratkan adanya infak, hukumnya haram. Adapun jika infak itu tak disyaratkan, ada khilafiyah di kalangan fuqaha. Sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Shan’ani, dan Syeikh Abdul Aziz bin Baz dari kalangan muta`akhirin, berdalil dengan hadis Nabi SAW:

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

”Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya.” (HR Bukhari no 2306; Muslim no 1600). (Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Islamiyah, 2/414).

Namun yang rajih (kuat), infaq yang tak disyaratkan itu tetap haram, kecuali antara pemberi pinjaman dengan peminjam sudah biasa memberi satu sama lain sebelumnya. Inilah pendapat yang dipilih Imam Taqiyuddin An Nabhani. Dalilnya sabda Nabi SAW,

إذا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرضاَ فَأهْدَى لَهُ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلاَ يَرْكَبْهَا وَلاَ يَقْبَلْهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَ بَيْنَهُ قَبْلَ ذلِكَ

“Jika salah seorang kamu memberikan pinjaman (qardh) lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan di atas kendaraan, janganlah dia menaiki kendaraan itu dan jangan pula menerima hadiah itu, kecuali hal itu sudah pernah terjadi sebelumnya antara dia [pemberi pinjaman] dan dia [peminjam].” (HR Ibnu Majah, no 2432). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/343).

Adapun biaya administrasi, jika besarnya wajar/konkret dan tak dikaitkan dengan besarnya pinjaman, misal untuk bea meterai atau fotokopi, hukumnya boleh. Namun jika besarnya tak wajar, atau dikaitkan dengan besarnya pinjaman, misal 5 persen dari besarnya pinjaman, hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu a’lam.[]


Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
(Ahli Fiqih Islam)

Posting Komentar

0 Komentar